Rapat akademik gabungan, Rabu kemarin seharusnya menjadi forum strategis. Para pimpinan; Rektor, Wakil Rektor, dekan, senat, dan dosen berkumpul membahas rencana akademik, evaluasi, dan kebijakan pengembangan kampus. Namun, di ujung acara, suasana berubah. Seorang peserta rapat melontarkan narasi yang segera menyedot perhatian dosen kuttu ( malas).
Nada suaranya mengandung frustrasi. Semua orang tahu siapa yang dimaksud. Semua orang tahu praktiknya, dosen jarang masuk kelas, muncul satu atau dua kali dalam satu bulan, datang sekadar presensi, tapi malas mengajar. Namun, yang mengherankan, setelah lontaran itu, forum diam. Tidak ada rekomendasi. Tidak ada mekanisme evaluasi. Tidak ada rencana pembinaan. Dosen Kuttu seolah hanya menjadi punchline penutup rapat, lalu dibiarkan membusuk di lorong birokrasi.
Fenomena dosen kuttu di perguruan tinggi pada umumnya bukan hal baru. Dalam banyak kasus, kemalasan ini bukan sekadar sifat individu, tetapi sudah menjadi pola yang diinstitusikan. Ada culture of tolerance terhadap pelanggaran etos kerja. Ketika ada dosen yang bolos mengajar, mahasiswa biasanya diam karena sudah terbiasa atau takut bersuara.
Pimpinan fakultas pun enggan mengambil sikap tegas, takut merusak harmoni kolegial atau menciptakan konflik politik internal.
Sementara itu, instrumen penilaian kinerja dosen seperti BKD (Beban Kerja Dosen) dan LKD (Laporan Kinerja Dosen) hanya beroperasi di atas kertas. Data yang dilaporkan bisa dimanipulasi. Jam tatap muka yang tidak pernah terjadi, tetap dilaporkan lengkap. Penelitian yang tidak pernah dilakukan, tetap muncul di tabel kinerja. Mekanisme kontrol yang seharusnya ketat berubah menjadi formalitas administratif.
Kemalasan dosen tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi merusak integritas akademik kampus. Dampaknya langsung terasa kualitas lulusan menurun, mahasiswa kehilangan role model. Mereka belajar bahwa absen mengajar adalah hal lumrah. Pada akhirnya reputasi institusi merosot. Akreditasi bisa tetap tinggi di atas kertas, tetapi kualitas nyata di lapangan runtuh.
Yang menarik dari momen rapat akademik adalah sikap forum yang diam, lalu bubar. Padahal, seharusnya rapat akademik menjadi ruang evaluasi berbasis data, bukan sekadar ruang curhat. Mengkritik tanpa memberikan solusi adalah bentuk pengalihan tanggung jawab. Ini yang di sebut sebagai kemalasan kolektif bukan hanya dosen yang kuttu, tetapi juga sistem yang malas membenahi.
Budaya menghindar dari evaluasi di PTKIN sering kali berakar pada relasi sosial internal, senioritas, solidaritas fakultas, dan politik jabatan. Dosen yang malas mungkin punya posisi strategis di organisasi, atau punya jaringan kuat yang membuatnya kebal sanksi. Kritik kepadanya dianggap sebagai risiko sosial.
Sebagai institusi publik, perguruan tinggi tunduk pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 60 mengatur kewajiban dosen: merencanakan pembelajaran, melaksanakan, menilai hasil belajar, membimbing, dan melakukan penelitian serta pengabdian. Pelanggaran terhadap kewajiban ini bukan sekadar masalah internal, tetapi juga pelanggaran hukum.
Pimpinan PTKIN memiliki mandat moral dan legal untuk memastikan kewajiban itu berjalan. Membiarkan dosen kuttu sama saja dengan melakukan pembiaran pelanggaran. Dalam perspektif manajemen publik, ini adalah kegagalan governance.
Mengubah perilaku dosen malas tidak cukup dengan teguran lisan. Dibutuhkan kombinasi insentif dan sanksi yang nyata. Di beberapa universitas luar negeri, evaluasi dosen dilakukan setiap semester dengan memasukkan penilaian mahasiswa, kolega, dan data kehadiran yang terverifikasi. Hasil evaluasi berdampak langsung pada tunjangan, promosi, dan kontrak.
Di PTKIN, sistem evaluasi seperti ini sering ditolak dengan alasan "tidak sesuai kultur". Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah penolakan terhadap transparansi. Kemalasan dilindungi oleh kenyamanan palsu, suasana kerja harmonis tanpa gesekan, tetapi diam-diam menggerogoti kualitas.
Setidanya Ada tiga langkah konkret yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu regulasi baru, Pertama, Audit BKD dan LKD berbasis bukti. Setiap klaim pertemuan tatap muka harus didukung bukti fisik, seperti presensi digital, rekaman perkuliahan, atau dokumen tugas mahasiswa. Kedua, Evaluasi kinerja berbasis multi sumber. Penilaian tidak hanya dari atasan, tetapi juga mahasiswa dan rekan sejawat.Ketiga, Penerapan sanksi bertahap dari teguran tertulis hingga pembekuan tunjangan, sesuai tingkat pelanggaran.
Narasi “dosen kuttu” di rapat akademik itu adalah alarm. Sayangnya, alarm itu dibiarkan berbunyi sebentar lalu dimatikan tanpa tindak lanjut. Kalau perguruan tinggi ingin tetap relevan dan bermartabat, ia harus berani membongkar kemalasan yang sudah terinstitusikan. Mengkritik dosen kuttu tanpa evaluasi hanyalah bentuk kemunafikan akademik.
Perubahan tidak akan datang dari pembicaraan di ujung rapat, tetapi dari keberanian sistem untuk berkata: cukup sudah, saatnya bekerja.