Awal semester itu seperti membuka pintu kelas yang berdebu. Semua ingin masuk dengan wajah baru, baju baru, niat baru. Tapi di pojok langit akademik, ada yang masih berdiri di menara gading, memandang ke bawah seperti raja memandang budak. Tak mau sejajar dengan yang baru merangkak naik, padahal tangga yang ia injak sudah aus terseret mereka yang tiap hari memanggul buku untuknya.
Lalu datanglah candaan yang lahir dari meja kopi. “Si Kuttu,” sambil melirik ke arah dosen muda. Kasihan, katanya, dosen tua itu rajin sekali, tak seperti yang muda ini. Kalimatnya seperti wayang: bentuknya tersenyum, tapi bayangannya menampar. Sebagian tertawa kecut, sebagian lagi mengangguk serius, tak sadar yang dimaksud justru sebaliknya. Seperti membalik cermin, biar perasaan tak pecah di ruang rapat, seperti memakan durian lengkap dengan kulitnya.
Ketika nalar akhirnya menyambung, semua pun tertawa. Tertawa yang melayang seperti balon helium, lalu meletup di kepala. Di situ saya terpikir: mungkin dunia ini tak maju karena rajin, tapi justru karena si Kuttu yang imajinatif.
Si Kuttu ini paradoks. Ia malas jalan, lalu menemukan sepeda. Malas mencuci, lalu melahirkan mesin cuci. Malas ke pasar, lalu membuat marketplace. Lihat saja Robert Adler di tahun 1956. Ia menatap televisi, bukan untuk menonton acara, tapi menonton masalah: malas bangun hanya untuk memutar knop. Maka lahirlah remote control, ciptaan yang membuat jempol jadi otot terkuat di tubuh, sementara kaki resmi pensiun dari tugas jarak dekat.
Christopher Latham Sholes pun begitu. Tahun 1868, ia bosan tinta berlepotan, tangan pegal menulis. Maka ia susun huruf-huruf jadi papan QWERTY. Tujuannya sederhana: hemat tenaga. Hasilnya luar biasa: orang bisa mengetik cepat, tapi kadang pikirannya malah ketinggalan di belakang jari. Mengetik status 200 kata, lalu bingung sendiri membaca hasilnya.
Lalu ada Jeff Bezos, yang di 1994 meninggalkan gedung tinggi Wall Street demi ide yang dianggap mimpi lucu: toko tanpa pintu, tanpa rak. Ia hanya perlu kursi, komputer, dan alamat web. Lahirlah Amazon, tempat di mana orang bisa belanja tanpa meninggalkan kursi, bahkan tanpa melepas piama. Kini orang bisa menghabiskan gaji sebulan dalam 15 menit, sambil rebahan dan menunda mencuci piring.
Dalam dunia programming pun ada pepatah terkenal dari Larry Wall, pencipta bahasa Perl:
“The three great virtues of a programmer are laziness, impatience, and hubris.”
Laziness di sini bukan sekadar malas bergerak, tapi dorongan untuk menciptakan solusi permanen agar tak perlu mengulang pekerjaan yang sama. Malas yang memaksa otak mencari cara agar kerja berat cukup dilakukan sekali, lalu diulang mesin. Malas yang melahirkan jalan pintas cerdas dan kadang juga jalan buntu yang elegan.
Bukankah kemerdekaan juga lahir dari kemalasan tunduk? Kita malas dijajah, malas menunggu izin, malas terus menerus tunduk, maka kita meracik kegelisahan menjadi keberanian. Dan semester baru pun seharusnya begitu: bukan sekadar rajin mengulang cara lama, tapi malas yang cukup cerdas untuk menciptakan cara baru.
Jadi, kalau mau jadi Kuttu, jadilah Kuttu yang benar: pemalas yang melahirkan akal segar. Jangan jadi rajin yang salah: rajin mengulang kesalahan karena malas berpikir. Karena semester ini, kemerdekaan belajar tak selalu lahir dari duduk manis, kadang justru dari duduk malas yang memaksa kita menemukan jalan yang lebih cepat, lebih pintar, dan sedikit lebih nakal.
Karena ia (si kuttu), aku (inovasi) ada. Hidup si Kuttu!