Bagi masyarakat Bugis, maulid Nabi Muhammad saw. bukanlah sekadar acara seremonial tahunan. Ia hadir sebagai ekspresi religiusitas yang menyatu dengan budaya, sebagai ruang syukur sekaligus pengikat sosial. Dalam maulid, Islam tidak hanya hadir sebagai ajaran, tetapi juga sebagai pengalaman hidup yang menyatu dengan simbol-simbol lokal penuh makna.
Eksistensi maulid tetap kokoh meski modernisasi dan globalisasi menggempur tradisi. Ia menjadi bukti bagaimana Islam dan budaya bisa berdialektika, melahirkan kearifan lokal yang memperkuat identitas. Maulid di Bugis adalah ruang ekoreligi: ajaran agama yang berjalan seiring dengan kesadaran budaya dan lingkungan.
Simbol-simbol yang mewarnai perayaan ini mengandung makna yang lebih dalam daripada sekadar tampilan lahiriah. Songkolo’ berwarna hitam, putih, dan kuning, misalnya, bukan hanya makanan, melainkan lambang keteguhan iman, kesucian hati, serta doa akan kemakmuran. Telur warna-warni yang ditancapkan di batang pisang—disebut tafaul—dimaknai sebagai harapan bagi generasi agar tumbuh sehat, berakhlak mulia, dan penuh berkah. Batang pisang yang menopangnya melambangkan kesuburan dan keberlanjutan hidup.
Simbol lain yang tak kalah penting adalah baku, ember berisi makanan yang dihias indah. Di balik fungsinya yang sederhana, tersimpan pesan solidaritas, keikhlasan, dan semangat berbagi. Masyarakat Bugis berlomba-lomba menghias baku, lalu membagikan isinya kepada tamu. Nilai ini sejalan dengan prinsip siri’ na pacce yang menjunjung tinggi kehormatan, kebersamaan, dan kepedulian sosial.
Ritual Barazanji menjadi ruh utama maulid. Syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad saw. dilantunkan dengan intonasi khas Bugis, menyalakan cinta Rasul dan menanamkan nilai moral dalam bingkai budaya. Ia bukan sekadar bacaan, melainkan media dakwah kultural yang membumikan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam maulid, seluruh lapisan masyarakat duduk bersama, makan bersama, dan berdoa bersama. Tidak ada sekat sosial. Semua merasakan kebersamaan dalam satu majelis. Dari sini, maulid menjadi perekat sosial yang menumbuhkan keadilan, persamaan, dan ukhuwah.
Akhirnya, maulid di Bugis adalah cermin Islam yang bersenyawa dengan budaya. Ia meneguhkan wajah Islam yang moderat, ramah, dan inklusif. Simbol-simbol di dalamnya bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan refleksi spiritual yang menjaga iman, memperkuat budaya, sekaligus merawat jati diri orang Bugis yang religius dan humanis.