Ada satu permainan yang sederhana, tapi kaya makna: domino. Beberapa menyebutnya sebagai hiburan bapak-bapak, sebagian lain menyebutnya pengisi waktu luang yang penuh strategi. Tapi siapa sangka, di balik tumpukan kartu domino yang saling bertemu ujung itu, tersembunyi filosofi hidup—bahkan kurikulum cinta.
Mari kita bayangkan sejenak: sebuah meja bundar, empat orang duduk mengelilinginya, dengan kartu domino tersusun di tangan. Di sinilah perkenalan pertama terjadi—satu kartu diletakkan di tengah sebagai permulaan. Selebihnya, bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling bisa “cocok.” Sebagaimana cinta, bukan kekuasaan yang menentukan arah, tapi kesesuaian.
Dalam permainan domino, Anda tidak bisa sembarangan meletakkan kartu. Harus ada angka yang sama, ujung yang nyambung. Jika tidak cocok, Anda harus “pass.” Cinta pun demikian. Kurikulum cinta yang sehat menempatkan kesalingan sebagai poros utama. Saling memahami, bukan menuntut. Saling mendengar, bukan hanya bicara. Dan jika belum waktunya “meletakkan kartu,” ya bersabar dulu. Ambil napas, lihat ulang kartu di tangan.
Betapa banyak relasi tumbang karena ingin menang sendiri, padahal hidup, seperti domino, adalah tentang menunggu giliran dan merespons dengan tepat.
Kartu domino yang tampak remeh—misalnya yang hanya punya satu titik, kadang justru jadi penentu kemenangan. Ia kecil, tapi bisa masuk di mana-mana. Sementara kartu ganda enam (yang punya dua sisi angka enam) bisa jadi bumerang jika tak pandai dipakai. Analogi ini mengajarkan kita bahwa dalam cinta dan pendidikan, tidak ada manusia yang remeh. Semua punya titik, punya sisi, punya ruang kontribusi.
Jika kurikulum cinta kita hanya mengejar prestasi besar dan gelar yang tinggi, kita bisa lupa bahwa kasih sayang pun perlu latihan. Perlu kepekaan membaca ‘kartu’ lawan bicara: adakah ia sedang letih, sedang ingin dimengerti, atau cukup ingin ditemani?
Pernahkah Anda melihat dua orang bermain domino sambil tertawa-tawa karena salah meletakkan kartu? Atau karena kartu terakhirnya ternyata salah ambil? Nah, di sinilah humor dalam cinta berperan. Kurikulum cinta yang kaku akan cepat membosankan. Cinta perlu jeda. Perlu tertawa karena hal-hal kecil. Karena sejatinya, hidup bukan hanya tentang ketepatan, tapi juga keberanian untuk keliru dan belajar.
Jika pasangan Anda salah masukkan garam ke dalam kopi pagi, jangan buru-buru marah. Ingatlah, mungkin itu “kartu salah” yang membuat permainan makin hidup.
Dalam permainan domino, kita hanya pegang beberapa kartu. Kita tidak tahu kartu apa yang dimiliki lawan, dan tidak bisa mengatur semuanya. Begitu pula dalam relasi. Kita tidak bisa mengontrol perasaan orang lain, apalagi memaksanya untuk selalu paham diri kita. Maka, kurikulum cinta mengajarkan tentang menerima keterbatasan. Dan justru di situlah letak keindahannya—di ruang yang tidak pasti itu, kita belajar percaya.
Bayangkan hidup sebagai meja domino yang besar. Kita bermain bersama orang-orang yang kita cintai—pasangan, anak, sahabat, tetangga. Kita tidak harus selalu menang. Tapi yang penting, kita hadir, menyusun kartu demi kartu dengan kesungguhan dan cinta.
Jadi, barangkali sudah saatnya pendidikan kita mulai mengadopsi pendekatan ini. Kurikulum cinta yang tidak hanya berbasis rumus, tapi pengalaman. Yang tidak sekadar mengukur kemampuan akademik, tapi juga kedalaman perasaan dan ketulusan. Kurikulum yang memberi ruang untuk tertawa karena kartu salah, untuk belajar dari angka kecil, dan merayakan kesalingan dalam setiap giliran.
Karena pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang menang paling cepat. Tapi siapa yang bisa tetap duduk di meja, dengan hati yang penuh cinta, dan tangan yang selalu siap meletakkan kartu dengan senyuman.
“Giliranmu, partner. Lihat, kartuku nyambung sama punyamu.”
Salam ACT..