Skip ke Konten

Hukum Keluarga Islam dan Kurikulum Berbasis Cinta : Membangun Institusi Keluarga yang Rahmatan Lil ‘Alamin

Dr. Rahmawati, M. Ag. (Dekan Fakshi)
24 Juli 2025 oleh
Hukum Keluarga Islam dan Kurikulum Berbasis Cinta :  Membangun Institusi Keluarga yang Rahmatan Lil ‘Alamin
Suhartina

Dalam dinamika kehidupan umat Islam, institusi keluarga merupakan pilar utama peradaban. Keluarga adalah ruang pertama dan utama dalam membentuk nilai, akhlak, dan orientasi hidup manusia. Di sinilah pentingnya menjadikan hukum keluarga Islam tidak sekadar kumpulan aturan normatif, tetapi juga sebagai media penanaman kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab nilai-nilai yang kini diusung secara nasional oleh Kementerian Agama RI melalui peluncuran Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).

Apa makna cinta dalam hukum keluarga Islam? Apakah mungkin regulasi yang tampak formal dan kaku bisa menjadi jalan menuju kasih sayang dan kedamaian? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab dalam kerangka semangat Pendidikan keluarga yang rahmatan lil alamin.

Hukum keluarga Islam sebenarnya lahir dari prinsip kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Dalam QS. Ar-Rum: 21, Allah menyatakan bahwa pernikahan dibangun atas dasar “mawaddah wa rahmah”, cinta dan kasih sayang. Sayangnya, dalam praktik sosial dan yuridis, substansi ini seringkali dikaburkan oleh pendekatan legalistik semata. Akibatnya, hukum keluarga menjadi kering dari nilai, hanya dilihat sebagai cara menyelesaikan sengketa, bukan merawat cinta.

Kurikulum Berbasis Cinta hadir sebagai koreksi dan penegasan arah baru: bahwa hukum Islam, termasuk hukum keluarga, harus menyentuh sisi emosional, spiritual, dan sosial manusia. Dalam konteks pendidikan tinggi, pendekatan ini mengajak para dosen dan mahasiswa untuk tidak hanya memahami teks hukum, tetapi juga membangun kepekaan batin terhadap relasi manusia yang dilindungi oleh hukum tersebut. Misalnya, dalam pembahasan mengenai perceraian, KBC mendorong mahasiswa dan akademisi untuk tidak hanya melihat proses cerai sebagai jalan keluar hukum, tetapi merenungkan: sudahkah ada mediasi yang penuh empati? Apakah proses islah diupayakan dengan cinta? Bagaimana anak-anak dilindungi agar tidak menjadi korban luka psikologis? Ini bukan lagi soal hukum hitam di atas putih, tapi soal keberpihakan pada keutuhan dan kedamaian keluarga.

Begitu pula dalam isu perwalian anak, hak nafkah, hingga perjanjian pranikah. Kurikulum Berbasis Cinta menuntut agar perspektif keadilan gender, perlindungan anak, dan kesejahteraan keluarga diperkuat. Hukum tidak boleh membiarkan kekerasan dalam rumah tangga tumbuh di balik tameng “kepala keluarga”. Sebaliknya, hukum harus hadir untuk menjaga cinta, bukan membiarkan luka. Tingginya angka perceraian di Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bahwa institusi keluarga dibangun tanpa dilandaskan pada kurikulum yang berbasis cinta, kasih sayang,

Dalam pengajaran hukum keluarga Islam, para dosen harus menjadi teladan dalam mempraktikkan pendekatan berbasis cinta: membuka ruang dialog, mempertemukan fikih klasik dan konteks kekinian, serta menjadikan nilai-nilai rahmat sebagai lensa utama. Ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yaitu membentuk insan kamil manusia paripurna yang berilmu, berakhlak, dan berkasih sayang.

Kurikulum Berbasis Cinta bukanlah slogan. Ia adalah napas baru dalam dunia pendidikan Islam. Ia menuntut kita semua akademisi, praktisi, dan regulator untuk menjadikan ilmu bukan sekadar alat mengadili, tapi jalan menyayangi. Dalam hukum keluarga Islam, ini bukan hanya mungkin, tapi mutlak diperlukan. Akhirnya, semoga Kurikulum Berbasis Cinta menjadi spirit kolektif untuk menjadikan hukum keluarga Islam sebagai instrumen pengokoh cinta dan rahmat dalam kehidupan umat. Karena hukum yang tidak dibalut cinta, hanya akan melahirkan takut, bukan taat.

Hukum Keluarga Islam dan Kurikulum Berbasis Cinta :  Membangun Institusi Keluarga yang Rahmatan Lil ‘Alamin
Suhartina 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip