Skip ke Konten

Indonesia Merdeka, tapi Lulusan Tak Siap Hidup: Di Mana Letak Gagalnya?

Prof. Dr. Hannani, M.Ag. (Rektor IAIN Parepare)
8 Agustus 2025 oleh
Indonesia Merdeka, tapi Lulusan Tak Siap Hidup: Di Mana Letak Gagalnya?
Suhartina

Agustus selalu membawa semangat merah putih. Namun, setelah 80 tahun merdeka, kita harus jujur: kemerdekaan itu belum lengkap jika generasi muda belum dibekali keterampilan yang mampu menjaga dan mengisi kemerdekaan tersebut.

Kemerdekaan tidak hanya tentang bebas dari penjajahan, tetapi tentang mampu hidup dengan bermartabat dalam dunia yang berubah cepat dan kompleks.


Tantangan Abad 21: Dunia yang Tidak Sama Lagi

Di era globalisasi dan disrupsi teknologi, dunia kerja, sosial, dan budaya telah berubah secara drastis. Kompetensi akademik semata tidak lagi cukup. Keterampilan kognitif, sosial-emosional, dan literasi digital menjadi prasyarat dasar untuk berdaya.


Dalam laporan World Economic Forum berjudul New Vision for Education: Fostering Social and Emotional Learning through Technology (WEF, 2015), dirumuskan 16 keterampilan inti abad ke-21, yang dikelompokkan ke dalam tiga ranah utama:


  1. Literasi Dasar (6 keterampilan): Literasi (kemampuan membaca dan menulis), numerasi (kemampuan berhitung dan memahami angka), literasi sains (pemahaman tentang konsep dan metode ilmiah), literasi TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), literasi finansial (pemahaman tentang keuangan pribadi dan ekonomi), dan literasi budaya dan kewargaan (pemahaman tentang budaya, masyarakat, dan peran sebagai warga negara)
  2. Kompetensi (4 keterampilan): berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi (kemampuan bekerja sama)
  3. Kualitas Karakter (6 keterampilan): rasa ingin tahu, inisiatif, ketekunan, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, dan kesadaran sosial dan budaya


Kerangka ini memperkuat pemikiran Howard Gardner dalam Five Minds for the Future (2007), yang menyatakan bahwa untuk menghadapi dunia yang penuh perubahan, individu membutuhkan lima cara berpikir utama: disciplined mind, synthesizing mind, creating mind, respectful mind, dan ethical mind.


Pendidikan Kita: Antara Hafalan dan Kemandekan

Ironisnya, sistem pendidikan kita, baik di sekolah, madrasah, maupun perguruan tinggi, masih lebih menekankan penguasaan materi daripada pengembangan karakter dan keterampilan berpikir. Pembelajaran masih berfokus pada hafalan, bukan pada kemampuan yang dibutuhkan untuk hidup dan berkarya.


Padahal, menurut Tony Wagner dalam bukunya The Global Achievement Gap (2010), perbedaan antara lulusan yang berhasil dan yang gagal bukan karena nilai ujian, tapi karena absennya “7 keterampilan bertahan hidup”, yakni:

1. Berpikir kritis dan pemecahan masalah

2. Kolaborasi lintas jaringan

3. Kelincahan dan kemampuan beradaptasi

4. Inisiatif dan jiwa kewirausahaan

5. Komunikasi lisan dan tulisan yang efektif

6. Mengakses dan menganalisis informasi

7. Rasa ingin tahu dan imajinasi

Hal ini sejalan dengan temuan McKinsey Global Institute (2012) yang mencatat bahwa lebih dari 40% lulusan universitas di negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.


Mengapa Keterampilan Abad 21 Penting untuk Diintegrasikan?

Kurikulum hari ini menentukan nasib bangsa esok hari.


Di tengah arus deras informasi, pendidikan yang tidak mengajarkan literasi digital dan literasi emosional hanya akan melahirkan generasi yang gagap zaman. Di saat kolaborasi lintas budaya dan problem solving menjadi prasyarat kerja, pendidikan yang hanya menekankan hafalan akan membuat lulusan tertinggal.


Urgensi integrasi 16 keterampilan ini bukan hanya relevan untuk sekolah umum dan kampus, tetapi juga untuk madrasah dan pesantren karena pendidikan Islam sejatinya adalah pendidikan yang menyeluruh mendidik akal, ruh, dan keterampilan hidup. Pesan ini diperkuat oleh Al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim, bahwa ilmu harus diamalkan, dan amal harus berbasis pada kemampuan dan konteks zaman.


Merdeka Itu Butuh Keterampilan

Pada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 ini (1945–2025), kita perlu bertanya:

Sudahkah anak-anak kita merdeka secara keterampilan?

Sudahkah santri kita bisa berdakwah lewat media digital?

Sudahkah mahasiswa kita mampu menciptakan solusi, bukan sekadar menyelesaikan soal?


Jika belum, maka kita belum sepenuhnya merdeka.


Pesan Moral untuk Bangsa yang Beradab

Kemerdekaan adalah anugerah. Namun, mempertahankannya adalah perjuangan. Perjuangan zaman ini bukan lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat mutu pendidikan dan keterampilan generasi muda.


Wahai para Pendidik, Guru, Ustaz, Dosen, dan Pengambil Kebijakan,

mari kita isi kemerdekaan ini dengan menanamkan kompetensi hidup, bukan hanya kompetensi kognitif!

Mari kita ajarkan etika kolaborasi, bukan hanya kejar juara kelas!

Mari kita siapkan anak-anak bangsa untuk berdiri, berjalan, dan berlari dalam dunia yang tidak sama lagi!

Karena bangsa yang cakap keterampilan dan kuat karakter adalah bangsa yang benar-benar merdeka!

Jika kita gagal hari ini, maka kita telah mengkhianati darah para pejuang yang tumpah demi tanah air.


Referensi

Al-Zarnuji. (2003). Ta’lim al-Muta’allim. Beirut: Dar al-Fikr.

Gardner, H. (2007). Five Minds for the Future. Boston: Harvard Business School Press.

McKinsey Global Institute. (2012). Education to Employment: Designing a System that Works.

Wagner, T. (2010). The Global Achievement Gap. New York: Basic Books.

World Economic Forum. (2015). New Vision for Education: Unlocking the Potential of Technology. Geneva: WEF.


Indonesia Merdeka, tapi Lulusan Tak Siap Hidup: Di Mana Letak Gagalnya?
Suhartina 8 Agustus 2025
Share post ini
Arsip