"Angka akreditasi bisa dipoles, tapi kompetensi tak bisa dipalsukan".
Tahun demi tahun kampus memproduksi sarjana bak pabrik, tapi antrean pengangguran terdidik tak pernah surut. Persoalannya jauh lebih dalam ketimbang alasan klise “kerja susah didapat.” Masalahnya ada pada sistem yang membentuk mereka. Mereka terobsesi pada angka, bukan kompetensi. Dosen lebih sibuk mengisi laporan kinerja, BKD, dan setumpuk dokumen akreditasi ketimbang menyiapkan kuliah yang relevan. Kesenjangan antara dunia kampus dan dunia kerja makin lebar. Kurikulum dari zaman purba dipaksakan di era digital. Akibatnya, lulusan seakan-akan dipaksa berperang dengan “bambu runcing” menghadapi “rudal” teknologi mutakhir.
Di banyak kampus, disiplin di ruang kelas sering longgar. Dosen masuk terlambat dianggap wajar. Tugas mahasiswa menumpuk di meja, berdebu, kadang tak pernah diperiksa. Nilai EDOM (Evaluasi Dosen oleh Mahasiswa) yang seharusnya menjadi sarana perbaikan, malah kerap menjelma sekadar formalitas bahkan ada yang “dipesan” dosennya sendiri untuk dipenuhi pujian manis.
Mahasiswa juga tak kalah santainya: presentasi hanya baca slide, diskusi dari hanya membaca dari Artificial Intelligence (AI), tugas hanya copy paste, skripsi asal selesai dan plagiarisme yang kini bisa dipoles rapi oleh AI.
Mahasiswa cukup membayar biaya kuliah setiap semester, lalu menunggu giliran mengenakan toga. Proses belajar pun bergeser menjadi rutinitas formal: masuk kelas, catat, hafal, dan lupakan. Berpikir kritis tak lagi dianggap perlu. Mahasiswa hukum misalnya, mereka disuapi pasal demi pasal KUHP, namun lidah mereka kelu saat diminta menafsirkan penerapannya pada perkara sederhana di kampung sendiri. Ilmu berhenti sebagai deretan kata-kata di buku, tak pernah menjelma menjadi kemampuan membaca realitas dan menegakkan keadilan.
Yang lebih ironis, kemerdekaan kampus hari ini diukur dari sertifikat akreditasi. Nilai A atau Unggul dianggap prestasi tertinggi, meski kadang dibangun dari tumpukan laporan dan bukti foto kegiatan. Padahal, akreditasi seharusnya menjadi cermin kualitas, bukan topeng yang menutupi rapuhnya fondasi. Kemerdekaan yang sejati bukan hanya bebas membuat slogan, tapi berani membangun integritas meski itu artinya melawan arus.
Dulu, kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan dengan darah, air mata, dan keberanian menolak tunduk. Sekarang, kemerdekaan akademik seharusnya diperjuangkan dengan keberanian berpikir kritis, menolak budaya instan, dan memangkas kesenjangan antara teori dan kenyataan.
Kalau tidak, “Kampus Merdeka” hanya akan jadi papan nama, sementara isinya adalah mahasiswa dan dosen yang tetap terjajah bukan oleh penjajah asing, tapi oleh sistem yang mereka pelihara sendiri.
Merdeka bukan berarti bebas dari tugas atau bebas dari kritik. Merdeka justru berarti punya keberanian untuk menegakkan standar meski itu membuat kita tidak populer. Kalau mahasiswa dimanjakan dengan nilai tinggi tanpa usaha, dan dosen dimanjakan dengan tunjangan tanpa inovasi, maka yang kita hasilkan bukan sarjana merdeka, tapi generasi bermental upahan selalu menunggu perintah, takut mengambil risiko.
Kita suka memuja lulusan dengan toga, tapi jarang bertanya: apa yang ada di kepalanya? Kita bangga dengan jumlah doktor di kampus, tapi jarang memeriksa: apa dampak ilmunya? Kita berfoto di depan gedung baru, tapi lupa mengecek: apa yang diajarkan di dalamnya masih relevan? Semua sibuk membangun simbol, tapi lupa membangun substansi.
Kalau tradisi ini terus dibiarkan, kita sedang mencetak “pejuang kemerdekaan” yang hanya pandai upacara tapi tak pernah berperang. Gelar hanya jadi hiasan, akreditasi jadi selimut nyaman, dan kemerdekaan jadi slogan kosong. Dan ketika bangsa ini kehilangan makna kemerdekaannya, semua yang tersisa hanyalah upacara tiap 17 Agustus dengan pidato yang diulang-ulang, dan realitas yang tak pernah berubah.