Skip ke Konten

Indonesia Tidak Gelap, Indonesia Sekarang Menyala! Slip of the Tongue Dibalas People Power

Dr. Muh. Taufiq Syam, M.Sos. (Kaprodi Manajemen Dakwah IAIN Parepare)
1 September 2025 oleh
Indonesia Tidak Gelap, Indonesia Sekarang Menyala! Slip of the Tongue Dibalas People Power
Suhartina

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”(QS. Al-Anbiya/ 21:35)

Ayat di atas menjadi sebuah refleksi akan segala bentuk kefanaan yang terdapat dalam kehidupan duniawi berakhir dengan suatu momentum yang pasti bernama kematian. Dalam sudut pandang primordialisme agama, kematian telah menjadi keharusan personal manusia yang azali atas konsekuensinya sebagai makhluk hidup yang memiliki jiwa dan nafsu. Sedangkan apabila ditarik pada ranah kolektif, maka kematian juga dapat disandarkan pada hilangnya rasa kemanusian sekelompok orang untuk menghargai kepemilikan jiwa dan nafsu manusia lainnya melalui tindakan dehumanisasi.

Herbert G. Kelman menjelaskan dehumanisasi sebagai tindakan pelanggaran terhadap dua kualitas yang harus melekat pada diri setiap individu agar orang lain dapat memandangnya sebagai manusia seutuhnya, yaitu kualitas identitas dan kualiatas komunitas (Kelman, 1973) . Pemberian kualitas identitas bertujuan untuk mempertegas kuasa subjektiv individu yang mandiri, mampu membuat pilihan, dan dapat dibedakan dari orang lain, sehingga setiap tindakan yang dilakukan secara personal akan direpresentasikan sebagai citra diri. Ketika seorang individu melakukan kesalahan, maka akan menjadi tanggung jawab personal. Di sisi lain, kualitas komunitas terbentuk melalui jaringan antar individu yang terbentuk melalui ikatan moral, ikatan sosial, atau ikatan fungsional, sehingga setiap tindakan yang dilakukan secara personal akan direpresentasikan sebagai citra komunitas. Ketika seorang individu melakukan kesalahan, maka akan menjadi tanggung jawab komunitas (Kaufmann, 2011). Tindakan dehumanisasi menjadi potret dari segala bentuk aksi yang terjadi berbagai wilayah Indonesia selama sepekan ini.

INDONESIA TIDAK GELAP, INDONESIA SEKARANG MENYALA!

Pada tanggal 29—30 Agustus 2025 terjadi aksi perusakan dan pembakaran terhadap sejumlah fasilitas milik negara. Stasiun kereta api, halte bus, kantor kepolisian dan yang terbanyak adalah gedung-gedung DPRD Provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia menjadi sasaran amuk massa gabungan dari berbagai aliansi masyarakat dengan memunculkan anekdot di media sosial, Indonesia Tidak Gelap, Indonesia Sekarang Menyala!

 Nyala api di berbagai wilayah Indonesia disulut oleh peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan tewas terlindas kendaran taktis (rantis) barracuda Brimob Polda Metro Jaya pada aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran DPR dan berakhir rusuh pada tanggal 28 Agustus 2025. Kabar tewasnya Affan Kurniawan seketika bergema di lini masa digital, nasional maupun internasional. Berbagai simpati, doa dan ucapan belasungkawa mengalir untuk Almarhum Affan Kurniawan. Sebaliknya, umpatan dan hujatan juga silih berganti datang menyerang ketujuh anggota Brimob yang berada di atas kendaraan taktis tersebut. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban personal atas pilihan tindakan aparat kepolisian yang menewaskan seorang massa aksi. Masyarakat juga menuntut pertanggungjawaban kolektif dari dua intitusi negara, Polri dan DPR RI yang diklaim sebagai akar permasalahan dari peristiwa meninggalnya Affan Kurniawan. Kedua tuntutan yang lahir dari peristiwa tersebut terekspresikan melalui aksi anarkis sehari setelahnya.

Luapan ekspresi dari para demonstran yang anarkis dan tidak terkendali dipengaruhi oleh tekanan psikologis radikal individu atau kelompok yang membutuhkan keadilan atas tewasnya Affan Kurniawan, dapat ditinjau dari sudut pandang teori ekuiti J. Stacey Adams. Menurut Adams, ekuiti hadir dalam diri manusia dengan tujuan untuk merubah perasaan tidak adil menjadi adil (Adams, 1965) melalui tiga cara. Pertama, meminta tambahan input kepada pihak yang berlaku tidak adil, sehingga terjadi kesimbangan. Dalam kasus Affan Kurniawan, masyarakat menggalang dukungan di lini masa digital menuntut kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menghukum seberat-beratnya anggota Brimob yang terlibat, mengganti pimpinan Polri dan membubarkan DPR RI. Maka ketika permintaan ini tidak segera dipenuhi, terjadilah eskalasi tindakan lanjutan yang bertujuan untuk merubah pola pikir masyarakat.

Kedua, merubah pola pikir (kognisi) pihak yang tidak diperlakukan adil, bahwa ketika tambahan input tidak diperoleh maka langkah selanjutnya dilakukan dengan jalan memaksa dan memberikan tekanan kepada pihak yang berbuat tidak adil. Peristiwa demonstrasi besar-besaran yang dilakukan secara massif di berbagai daerah bertujuan untuk memberikan tekanan kepada pemerintah agar segera merealisasikan tuntutan para demonstran. Serangkaian tekanan kepada pemerintah melalui aksi demonstrasi nyatanya  masih dirasakan kurang maksimal, maka langkah terakhir ditempuh dengan jalan anarkis.

Ketiga, tindakan anarkis merupakan cerminan individu yang telah mematikan sisi moralitas dalam diri dengan tujuan untuk membalaskan ketidakdilan yang diperoleh dengan melakukan tindakan serupa kepada pihak yang telah berlaku tidak adil. Dalam peristiwa penyerangan yang dilakukan terhadap aparat kepolisian, perusakan dan pembakaran sejumlah aset milik negara pada aksi demonstrasi 29—30 Agustus 2025 merupakan serangkaian luapan emosional para demontran yang bersifat radikal desktruktif atas akumulasi kekecawaan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia.

Media asing, Al Jazeera dalam laporannya yang berjudul Why Are Antigovernment Protests Taking Place in Indonesia? (aljazeera.com) melihat kerusuhan di Indonesia merupakan hasil dari akumulasi kemarahan masyarakat kepada pemerintah Indonesia. Al Jazeera menulis bahwa tuntutan demonstran bukan hanya soal kematian Affan Kurniawan, tetapi juga keberatan terhadap kebijakan ekonomi dan politik yang dianggap tak berpihak kepada rakyat. Tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan untuk anggota DPR yang hampir sepuluh kali lipat dari UMP Jakarta dirasakan tidak adil oleh masyarakat karena telah membuktikan kesenjangan jarak finansial antara elite politik dan rakyat. Selain itu, soal tuntutan terkait pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor, kenaikan upah, beban pajak, ketersediaan lapangan kerja hingga inflasi yang makin menekan menjadi pemicu aksi anarkis.

Aksi anarkis melalui tindakan penyerangan aparat kepolisian, perusakan dan pembakaran sejumlah aset milik negara merupakan cerminan atas tindakan dehumanisasi komunitas. Penyerangan aparat, perusakan dan pembakaran aset kepolisian sebagai bentuk pertanggungjawaban institusi kepolisian secara kolektif atas tindakan repsif dari para personilnya yang menyebabkan tewasnya Affan Kurniawan. Sedangkan pada aksi pembakaran gedung DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten di berbagai daerah di Indonesia,  sebagai simbol kekecawaan rakyat atas sikap mayoritas anggota parlemen yang dianggap tidak memiliki rasa empati atas kondisi sosial dan ekonomi terjadi di masyarakat. Aksi tersebut telah menelan korban jiwa sebanyak 7 orang serta ratusan korban lainnya mengalami luka berat dan ringan (tempo.com). Di samping itu, total estimasi kerugian materil negara ditaksir mencapai Rp 196,57 triliun (kompasiana.com).

Di sisi lain, aksi anarkis dalam tidakan dehumanisasi identitas terjadi pada kasus perusakan dan penjarahan kediaman pribadi milik anggota DPR RI Ahmad Syahroni, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya), dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada tanggal 30-31 Agustus 2025 (detik.com). Tindakan tersebut terjadi atas konsekuensi pertanggungjawaban personal sebagai pejabat publik yang dianggap telah gagal menjalankan mandat konstitusi dan melukai kepercayaan rakyat melalui tindakan, ucapan ataupun kebijakan yang tidak pro kepada rakyat. Lalu muncul pertanyaan, sudah hilangkah moralitas dan sisi kemanusian dalam diri para demonstran? Maka, pertanyaan ini dapat dijawab menggunakan konstruksi teori perenggangan moral Albert Bandura.

Albert Bandura menegasikan perenggangan moral sebagai tindakan destruktif yang dibuat sedemikan rupa agar dapat diterima oleh perorangan atau masyarakat. Ttindakan destruktif tersebut dilakukan dalam rangka mencapai dan menata ulang tujuan-tujan moral yang seharusnya berlaku di masyarakat (Bandura, 2005). Teori perenggangan moral mampu menjelaskan dinamika anarkis yang dilakukan oleh para demontran yang bersikap radikal destruktif dan bersedia melakukan hal-hal yang merusak dan melanggar hukum. Masyarakat memandang bahwa tindakan repsif dari aparat kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi dan ketidakpekaan dewan rakyat yang berada di DPR mencitrakan amoralitas kolektif yang perlu dihadapi dengan tindakan amoralitas kolektif yang lain, maka perusakan, pembakaran dan penjarahan menjadi hal yang dianggap wajar ketika perenggangan moral menemui puncaknya. Hal yang menarik yang dapat ditemukan teori ini, bahwa proses perenggangan moral cenderung dipengaruhi oleh faktor kesalahan seseorang dalam berbahasa atau beretorika.

SLIP OF THE TONGUE DIBALAS PEOPLE POWER

Every word has consequences. Every silence too (Sartre, 1960)

Frasa dalam buku drama karangan Jean Paul Satre yang berjudul The Devil and the Good Lord dapat dimaknai bahwa setiap kata yang beresonansi dari mulut seseorang akan melahirkan konsekuensi. Begitupun bagi mereka yang memilih untuk diam, akan tetap dihadapkan pada konsekuensi etis dan praktis. Dalam filsafat eksistensialisme Sartre, terdapat cerminan bahwa manusia sama sekali tidak pernah memiliki pilihan ketika dihadapkan oleh moralitas sosial yang berlaku di masyarakat. Frasa tersebut juga dapat dijadikan landasan atas terjadinya ledakan aksi demonstrasi anarkis selama sepekan ini di berbagai wilayah Indonesia sebagai konsekuensi atas pernyataan dari beberapa anggota DPR RI dan pejabat publik yang menyakiti telah hati rakyat Indonesia.

Salah satu ucapan yang viral di media sosial bersumber dari Anggota DPR RI yang per tanggal 1 September 2025 telah dinonaktifkan, Ahmad Syahroni yang menyatakan bahwa hanya orang ‘tolol sedunia’ yang menginginkan agar DPR dibibubarkan (jejakrekam.com). Pernyataan ini lalu menuai beragam kecaman dari para pengguna media sosial di Indonesia sebagai suatu bentuk tindakan amoral dan kegagalan komunikasi publik yang dipertontonkan seorang anggota parlemen yang notabene telah diberikan mandat kehormatan oleh rakyat, akan tetapi sebaliknya justru dibalas dengan kalimat yang melukai perasan rakyat.

Senada dengan hal tersebut, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati juga beberapa kali pernah membuat pernyataan yang membuat rakyat menjadi tersusik. Contoh misalnya, ketika Sri Mulyani menyatakan bahwa guru adalah beban negara. Meskipun belakangan pernyataan tersebut dikonfirmasi sebagai hoax hasil rekayasa deepfake dan potongan tidak utuh dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus lalu (tempo.com), akan tetapi tetap disandarkan sebagai bentuk kegagalan komunikasi seorang pejabat publik yang selama ini telah menyebabkan lahirnya berbagai tekanan beban fiskal (pajak) bagi masyarakat. Lalu, mengapa seorang Ahmad Syahroni atau Sri Mulyani dianggap telah gagal melakukan komunikasi publik dalam menyikapi kondisi sosial terjadi? Hal tersebut terjadi karena mereka mengalami slip of the tongue dalam berkomunikasi.

Slip of the tongue (salah ucap) merupakan istilah awam dari Freudian Slip atau parapraxis untuk menunjukkan kondisi seseorang yang mengalami kesalahan verbal atau ingatan yang dianggap terkait dengan ungkapan pikiran, keinginan, atau perasaan yang tersembunyi di alam bawah sadarnya (Baars et al., 1992). Fenomena tokoh publik yang mengalami slip of the tongue tidak sesederhana memaknai peribahasa “Mulutmu, Harimaumu”, akan tetapi dapat disebabkan oleh faktor psikoliguistik, kognitif dan kondisi sosiokultulral.

Slip of the tongue dalam perspektif psikoliguistik terjadi akibat adanya tekanan keinginan atau pikiran di alam bawah sadar yang membuat seseorang tanpa sengaja mengutarakan niat atau motif yang tersembunyi dalam alam bawah sadarnya (Parlak. et. al, 2025). Selain itu, beban kecemasan yang berlebihan atas suatu kondisi yang sedang terjadi menyebabkan seseorang tidak mampu lagi untuk memendam kekhawatirannya, maka keluarlah kata atau kalimat yang dapat memicu reaksi orang lain. Dalam kasus slip of the tongue yang menjadi salah satu pemicu aksi anarkis yang terjadi belakangan ini, mungkin saja para pejabat publik sedang mengalami tekanan psikologis dari berbabagi sisi. Hasrat memiliki tunjangan jabatan yang tinggi, kecemasan atas tuntutan pembubaran DPR RI atau kekhawatiran penolakan beban fiskal dari masyarakat,  secara asumsitif dapat menjadi penyebab psikologis terjadinya kasus slip of the tongue tersebut.

Slip of the tongue dalam perspektif kognitif terjadi akibat kesalahan dalam memilih diksi kata-kata yang tepat untuk diucapkan (Azamat, 2014). Kesalahan ini dapat dilatarbelakangi oleh keterlembatan otak untuk mencari kata yang tepat saat pembicaraan berlangsung atau karena kepemilikan kosakata yang masih kurang.  Keterbatasan waktu atau kurangnya keinginan dari para pejabat publik untuk meningkatkaan kemampuan kognitif dalam melakukan komunikasi publik dapat mengakibatkan terjadinya kondisi slip of the tongue.

Slip of the tongue dalam perspektif  kondisi sosiokultural terjadi akibat posisi seseorang yang berbicara berada pada lingkungan sosiokultural yang sering menggunakan kata-kata berkonotasi negatif dalam berkomunikasi (Yang, 2002). Slip of the tongue dengan sengaja juga dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan kuasa dan posisinya yang lebih tinggi dalam hirarki sosial masyarakat. Terakhir slip of the tongue merupakan upaya yang dilakukan untuk menghangatkan suasana dan membangun keintiman dengan orang lain melalui kata atau kalimat yang bersifat humoris. Salah satu atau mungkin semua faktor sosiokultural di atas menjadi penyebab terjadinya kondisi slip of the tongue yang dialami para pejabat publik.

Akan tetapi, terlepas dari penjabaran faktor penyebab  slip of the tongue yang telah dideskripsikan di atas, nyatanya mayoritas rakyat Indonesia sudah tidak mampu lagi membendung kekecawaan dan rasa sakit hatinya terhadap ucapan-ucapan yang berkonotasi negatif dari para pejabat publik, sehingga lahirlah aksi balasan dalam wujud people power.

Vox pupuli, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan) menjadi semboyan yang mewakili  kekuatan populis rakyat (people power) untuk mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah taktis untuk segera mewujudkan tuntuntan rakyat. Dalam skema gerakan people power, demontrasi dalam skala besar serta tindakan anarkis dekstruktif dipilih sebagai jalan untuk menunjukkan seberapa besar kedaulatan rakyat dalam hirarki negara. Penyerangan aparat kepolisian, perusakan dan pembakaran aset milik negara serta penjarahan yang dilakukan di kediaman para pejabat publik merepsentasikan bahwa rakyat Indonesia sudah tidak mampu lagi membendung kekecawaannya terhadap kinerja para pemangku kepentingan.

Dalam posisi ini, para pejabat publik juga mengalami kesulitan dalam mengambil tindakan. Permintaan maaf dari para anggota DPR RI atas ucapan dan tindakannya yang menyakiti hati rakyat, ternyata tidak mampu meredam konflik yang terjadi karena dianggap sudah terlambat. Begitupun ketika meraka memlih diam, maka  stigma sebagai pejabat publik yang tidak peka dan antipati akan semakin memperkeruh suasana yang terjadi. Setiap kata dan diamnya pejabat publik akan selalu melahirkan konsekuensi di masyarakat. Lalu sudah setimpalkah aksi anarkis selama sepekan ini menjadi balasan atas kegagalan mereka dalam menjalankan amanat rakyat?

 Tentu saja tidak ada harga yang pantas untuk disandingkan atas hilangnya rasa kemanusiaan dan kepercayaan rakyat Indonesia. Para korban yang tewas dalam aksi anarkis 28-30 Agustus 2025 adalah rakyat Indonesia yang tidak memiliki kewenangan apapun dalam menentukan kebijakan negara. Mereka telah gugur sebagai martir demokrasi atas tindakan banalitas aksi demonstrasi yang destruktif anarkis. Pembakaran gedung DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tanpa sengaja juga telah membakar sejarah panjang perjuangan wakil rakyat untuk memberikan kesajahteraan di daerahnya masing-masing. Penjarahan di keadiaman Menteri Keuangan dan beberapa anggota DPR RI merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan, meskipun dalam konteks untuk memberikan efek jera bagi yang lainnya. Penyerangan terhadap aparat kepolisian juga turut mencitrakan sikap represif yang seakan telah membuat kita lupa bahwa mereka juga adalah bagian dari masyarakat.

Negara ini sedang mengalami ujian demokrasi yang berat, oleh karena itu sudah saatnya pemerintah dan anggota parlemen di Indonesia kembali membenahi sistem demokrasi secara transparan dan terbuka. Kepekaan atas kondisi sosial dan ekonomi masyarakat menjadi prioritas utama dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Bagi pemerintah dan pejabat publik perlu menjaga setiap perkataannya, agar tidak ada lagi kasus slip of the tongue yang dapat memberikan kesan luka dan memicu kecaman dari masyarakat. Kalaupun kesalahan slip of the tongue ini terulang kembali, maka segeralah meminta maaf bukan sekedar memberikan klarifisikasi. Bagi rakyat Indonesia sebaiknya terus meningkatkan pemahaman literasi digital, agar tidak mudah terpancing oleh informasi-informasi negatif yang beredar di media sosial. Terakhir, doa dan duka cita mendalam kepada para martir demokrasi. Semoga tidak ada lagi seorang pun rakyat Indonesia yang harus menjadi korban atas tindakan demonstrasi yang anarkis dan destruktif. Mari kita hidupkan kembali rasa kemanusian dan kepercayaan dalam diri kita. LEKAS PULIH INDONESIAKU.           

Rujukan

Adams, J. S. (1965). Inequity in social exchange. Advances in Experimental Social Psychology. New York Academy Press, 2.

Azamat, A. (2014). A Cognitive Process in Second Language Acquisition through Speech Errors Analyses. International Journal of Social and Educational ….

Baars, B. J., Cohen, J. D., Bower, G. H., & Berry, J. W. (1992). Some caveats on testing the Freudian slip hypothesis: Problems in systematic replication. Experimental Slips and Human Error: Exploring the Architecture of Volition. Cognition and Language.

Bandura, A. (2005). The role of selective moral disengagement in terrorism and counterterrorism. In Understanding terrorism: Psychosocial roots, consequences, and interventions. https://doi.org/10.1037/10621-006

Kaufmann, P. et. al. (2011). Humiliation, Degradation, Dehumanization. In Humiliation, Degradation, Dehumanisation: Human Dignity Violated.

Kelman, H. G. (1973). Violence without Moral Restraint: Reflections on the Dehumanization of Victims and Victimizers. Journal of Social Issues, 29(4). https://doi.org/10.1111/j.1540-4560.1973.tb00102.x

Parlak. et. al. (2025). The Effects of Slips of Tongue On Inter-Personal Communication. Electronic Turkish Studies, 20(2).

Sartre, J. P. (1960). The Devil and the Good Lord; And Two Other Plays. Educational Theatre Journal, 12(3). https://doi.org/10.2307/3204501

Yang, W. (2002). Communication slips and their sociocultural implications. Language and Communication, 22(1). https://doi.org/10.1016/S0271-5309(01)00010-6

https://www.aljazeera.com/news/2025/8/29/why-are-antigovernment-protests-taking-place-in-indonesia

https://www.cnbcindonesia.com/news/20250831144029-4-662983/buntut-demo-4-anggota-dpr-resmi-dinonaktifkan-pimpinan-parpol

https://www.detik.com/jateng/berita/d-8089090/daftar-nama-pejabat-yang-rumahnya-dijarah-massa-ada-sahroni-sri-mulyani

https://www.jejakrekam.com/2025/08/30/inilah-ucapan-ahmad-sahroni-politisi-yang-memicu-kemarahan-rakyat-resmi-dicopot-nasdem-dari-wakil-ketua-komisi-iii/

https://www.kompasiana.com/timapriyanto/68b302a4c925c40a155fd654/hitung-cepat-estimasi-kerugian-material-akibat-2-hari-kerusuhan-sipil-di-akhir-agustus-2025?page=1&page_images=1

https://www.tempo.co/ekonomi/kemenkeu-video-sri-mulyani-bilang-guru-beban-negara-merupakan-hoaks-2060796

https://www.tempo.co/politik/tujuh-orang-tewas-dalam-demonstrasi-agustus-2025-siapa-saja-mereka--2065432

 

di dalam Opini
Indonesia Tidak Gelap, Indonesia Sekarang Menyala! Slip of the Tongue Dibalas People Power
Suhartina 1 September 2025
Share post ini
Label
Arsip