Skip ke Konten

Menempatkan Akreditasi dalam Perspektif yang Proporsional

Anonim
8 Agustus 2025 oleh
Menempatkan Akreditasi dalam Perspektif yang Proporsional
Hamzah Aziz

Tulisan “Akreditasi dan Daya Rusaknya terhadap Mahasiswa” mengangkat kritik yang tajam terhadap praktik akreditasi di perguruan tinggi. Sebagian kritik tersebut memang relevan sebagai bahan refleksi bersama. Namun, penting untuk diingat bahwa akreditasi sejatinya bukan semata-mata persoalan “angka” atau “pencitraan,” melainkan sebuah mekanisme untuk memastikan mutu pendidikan tinggi secara berkesinambungan.

Akreditasi tidak lahir dari ruang hampa. Ia hadir sebagai bentuk akuntabilitas publik agar perguruan tinggi tidak hanya mengklaim mutu, tetapi membuktikannya melalui standar yang terukur. Proses ini memang memerlukan data, dokumen, dan indikator kinerja, namun semua itu adalah instrumen, bukan tujuan akhir. Tujuan utamanya tetap pada peningkatan mutu pembelajaran, kualitas lulusan, dan kontribusi institusi bagi masyarakat.

Memang benar, dalam implementasi terdapat risiko penyimpangan, misalnya orientasi berlebihan pada skor atau kecenderungan formalisme administratif. Tetapi kelemahan praktik ini tidak semestinya menghapus manfaat akreditasi itu sendiri. Sama seperti penelitian ilmiah yang tetap bernilai meski sebagian peneliti kadang tidak jujur dalam pelaporan, akreditasi pun harus dipandang sebagai alat yang terus disempurnakan, bukan “biang kerusakan” pendidikan tinggi.

Justru, di banyak kampus, akreditasi telah mendorong perbaikan nyata: kurikulum ditinjau ulang agar lebih relevan, fasilitas belajar diperbarui, layanan mahasiswa diperkuat, dan dosen diberi pelatihan pedagogis. Jika ada tekanan untuk mempercepat kelulusan atau menjaga IPK lulusan, semestinya kita membedakan antara aturan standar dengan cara pelaksanaannya. Masalahnya bukan pada konsep akreditasi, melainkan pada praktik yang tidak bijak.

Kritik terhadap fenomena seperti “Zero Semester 9” atau penyalahgunaan program MBKM memang perlu diangkat. Namun, menyudutkan akreditasi sebagai sumber utama masalah berisiko menyederhanakan persoalan yang kompleks. Budaya akademik, integritas dosen, kedisiplinan mahasiswa, dan kebijakan internal kampus juga berperan besar dalam menentukan kualitas pendidikan.

Kita mesti melihat juga sisi kemanfaatan dari program Zero Semester 9. Berapa banyak alumni yang tertolong karena adanya program mentoring. Alumni yang sudah seharusnya DO, justeru terbantu lulus sebagai alumni. Mungkin ini terlihat sepele tapi sangat bermakna bagi keluarganya. Saya amat yakin orang tua alumni bangga melihat anaknya telah lulus dari IAIN Parepare. Begitu pula MBKM, berapa banyak alumni yang kemudian, ditawari oleh instansi tempat ia magang untuk bekerja karena melihat kompetensi dan integritas akademik mahasiswa kita. Bukankan ini menjadi fakta bahwa MBKM dapat membuka peluang jejaring karier bagi mahasiswa bahkan terserap di dunia kerja?

Oleh karena itu, diskursus tentang akreditasi sebaiknya diarahkan pada bagaimana memastikan instrumen ini dijalankan secara sehat (melindungi otonomi akademik, dan mendorong pembelajaran yang bermakna) tanpa kehilangan prinsip akuntabilitas dan integritas akademik semua civitas akademika. Kritik memang penting, tetapi harus disertai tawaran solusi dan apresiasi terhadap fungsi akreditasi yang benar-benar menjaga mutu pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi bukan hanya tentang gelar atau skor asesmen, tetapi juga tentang pembentukan manusia seutuhnya. Akreditasi adalah salah satu alat untuk menuju ke sana. Maka, yang kita perlukan adalah pembenahan praktik, bukan penghapusan atau pengaburan makna dari instrumen tersebut. Sudah sepatutnya kita berbangga dengan raihan 11 program studi  unggul di IAIN Parepare, hehe


Menempatkan Akreditasi dalam Perspektif yang Proporsional
Hamzah Aziz 8 Agustus 2025
Share post ini
Arsip