Skip ke Konten

Kurikulum Berbasis Cinta: Bekal Membangun Keluarga Bahagia

Hj. Sunuwati, Lc., M.H.I. (Ketua Prodi Hukum Keluarga Islam)
30 Juli 2025 oleh
Kurikulum Berbasis Cinta: Bekal Membangun Keluarga Bahagia
Suhartina

Saat mendengar kata pendidikan, pikiran kita biasanya langsung melayang ke sekolah, kampus, atau pelajaran matematika yang bikin pening kepala. Padahal, ada satu bentuk pendidikan penting yang seharusnya kita pelajari sejak kecil, bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di rumah, masjid, bahkan tongkrongan. Namanya: kurikulum berbasis cinta.

Tenang, ini bukan soal cinta-cintaan ala drama Korea. Kurikulum berbasis cinta adalah pola pendidikan yang menanamkan nilai kasih sayang, empati, kejujuran, tanggung jawab, serta komunikasi yang sehat. Nilai-nilai ini justru merupakan inti dari ajaran Islam, terutama dalam konteks keluarga.

Dalam Islam, keluarga bukan sekadar tempat tinggal. Keluarga adalah madrasah pertama tempat anak belajar nilai-nilai kehidupan. Di sanalah mereka mengenal cinta, belajar mengelola emosi, dan menyelesaikan konflik dengan kelembutan, bukan kemarahan.

Allah Swt. menegaskan dalam Surah Ar-Rum ayat 21 bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bayangkan jika sebuah keluarga dibangun tanpa cinta dan kasih sayang. Yang hadir bukan ketenangan, tapi pertengkaran, kecurigaan, bahkan perpisahan.

Faktanya, banyak rumah tangga hancur bukan karena krisis ekonomi, tetapi karena kekeringan kasih sayang. Suami sibuk bekerja, istri lelah mengurus rumah, anak-anak menjadi korban emosi. Komunikasi memburuk, kepercayaan runtuh. Di sinilah pentingnya kurikulum cinta diterapkan sejak dini.

Islam tidak tinggal diam. Ajaran mu’asyarah bil ma’ruf mengajarkan hubungan suami istri yang saling menghormati dan membangun. Nabi Muhammad saw, pun memberikan teladan indah. Beliau memanggil Aisyah dengan panggilan penuh kasih, membantu pekerjaan rumah, dan menjaga komunikasi yang sehat. Bukan hanya romantis, tapi juga edukatif!

Sayangnya, pelajaran seperti ini nyaris absen dari kurikulum sekolah. Kita diajarkan rumus-rumus fisika, tapi tidak diajarkan bagaimana mengelola perasaan, menyampaikan pendapat tanpa melukai, atau meminta maaf dengan tulus. Padahal, keterampilan ini jauh lebih dibutuhkan dalam kehidupan berumah tangga.

Bayangkan jika sejak sekolah kita belajar berempati, berdamai dengan diri sendiri, dan mengelola konflik secara Islami. Ketika dewasa dan berkeluarga, kita akan lebih siap secara mental dan spiritual. Kita tidak hanya menjadi pasangan yang baik, tapi juga orang tua yang hangat dan hadir.

Love language dalam Islam pun sangat jelas. Nabi saw. pernah mencium cucunya, lalu berkata: “Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Cinta dalam Islam bukan hanya kata-kata, tetapi tindakan nyata yang harus terus dilatih.

Sayangnya, sebagian orang tua merasa cukup jika telah memberi makan, uang jajan, dan menyekolahkan anak. Padahal, anak juga butuh pelukan, ucapan sayang, dan kehadiran penuh perhatian. Anak yang tumbuh dalam cinta akan lebih kuat secara emosi dan lebih siap menghadapi dunia.

Sudah saatnya kita menempatkan cinta sebagai bagian dari kurikulum hidup. Bukan sekadar pelengkap, tapi sebagai fondasi membangun keluarga sakinah. Ijazah dan gelar boleh jadi penting, tapi tak akan cukup jika rumah tangga rapuh karena miskin kasih sayang.

Pendidikan Islam masa kini harus mampu memperluas cakrawalanya. Tidak cukup hanya berhenti pada hafalan atau fikih semata, tetapi juga harus mampu menanamkan cinta yang hidup dalam keseharian. Sebab keluarga yang dibangun di atas pondasi cinta akan melahirkan generasi yang penuh kasih, berempati, dan berintegritas. Dari generasi inilah akan tumbuh peradaban Islam yang kokoh, yang tidak hanya kuat secara ilmu, tetapi juga menyinari dunia dengan akhlak dan kemanusiaan

Kurikulum Berbasis Cinta: Bekal Membangun Keluarga Bahagia
Suhartina 30 Juli 2025
Share post ini
Arsip