Problematika pembelajaran bahasa Arab di perguruan tinggi keagamaan tidak dapat dilepaskan dari akar persoalan yang lebih dalam. Banyak mahasiswa datang dengan kemampuan dasar yang lemah, akibat sistem pendidikan sebelumnya yang kurang komprehensif di jenjang ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah. Kondisi ini memaksa perkuliahan bahasa Arab dimulai kembali dari titik dasar, alih-alih menjadi kelanjutan dari proses belajar yang berjenjang. Hal ini tentu menghambat perkembangan kompetensi mahasiswa dan menjauhkan bahasa Arab dari kedalaman makna yang seharusnya dibawa.
Selain itu, metode pembelajaran yang digunakan sering kali bersifat teknis dan kognitif, berfokus pada hafalan kosakata serta analisis gramatikal yang kaku. Bahasa Arab kemudian dipandang sekadar sebagai mata kuliah wajib, bukan sebagai jembatan menuju pemahaman spiritual. Di sinilah bahasa Arab kehilangan ruhnya. Padahal, bahasa Arab bukan hanya media komunikasi atau kumpulan kaidah linguistik. Ia adalah bahasa wahyu, wasilah yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, dan mengangkat proses belajar menjadi pengalaman ruhani yang menyentuh hati dan jiwa.
Kurikulum berbasis cinta dapat menjadi jawaban atas kekosongan ini. Dengan mengedepankan nilai-nilai spiritual, cinta kasih, empati, dan toleransi, pembelajaran bahasa Arab akan menjelma menjadi ruang transformasi jiwa dan pembentukan karakter. Bahasa Arab bukanlah bahasa biasa yang kebetulan diturunkan di Jazirah Arab. Ia adalah bahasa pilihan untuk menyampaikan pesan ilahi, sehingga tak layak jika diperlakukan hanya sebagai ilmu teknis semata.
Implementasi kurikulum cinta dalam pembelajaran bahasa Arab dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Pertama, mengaitkan materi bahasa dengan kandungan nilai-nilai Al-Qur’an dan hadis. Misalnya, Surah Ali-Imran ayat 133–134 mengajarkan tentang empati, pengendalian diri, dan pemaafan—nilai-nilai yang bisa menguatkan karakter mahasiswa. Demikian pula dengan hadis Nabi Muhammad saw., “Khayru al-nāsi anfā‘uhum li al-nās”—sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Pesan ini menyadarkan mahasiswa bahwa belajar bahasa Arab bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Kedua, menghadirkan kembali teks-teks klasik (turats) seperti al-Hikam karya Ibnu Ataillah, Dalail al-Khairat karya Imam al-Jazuli, dan Ihya Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali. Karya-karya tersebut bukan hanya memperkaya perbendaharaan bahasa, tetapi juga menyentuh sisi batin dan membentuk kepekaan ruhani. Dalam al-Hikam disebutkan, “Min ‘alāmāti mauti al-qalbi ‘adamu al-ḥuzni ‘alā mā fātaka mina al-muwāfaqāti wa tarku an-nadmi ‘alā mā fa‘altahu min wujūdi az-zallāt.” Artinya, “Di antara tanda matinya hati adalah tidak merasa sedih kehilangan kesempatan taat kepada Allah dan tidak menyesali perbuatan dosa yang dilakukan.” Kutipan ini dapat menjadi bahan renungan mendalam sekaligus pengayaan dalam pembelajaran bahasa.
Ketiga, menciptakan suasana belajar yang hangat, bermakna, dan menyenangkan. Mahasiswa harus merasa terlibat secara emosional dan spiritual. Lingkungan kelas yang penuh kasih sayang dan keterbukaan akan menumbuhkan semangat belajar yang lebih tinggi. Dosen tidak cukup hanya menjadi pengajar, tetapi juga teladan dan pembimbing ruhani. Ketika mahasiswa merasa dihargai dan dipahami, proses belajar menjadi lebih hidup, responsif, dan membekas dalam jangka panjang. Mahasiswa yang belajar dengan hati yang gembira akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas secara sosial, moral, dan emosional.
Belajar bahasa Arab sejatinya adalah ibadah. Setiap kata adalah zikir, dan setiap makna adalah jalan menuju kedekatan dengan Allah dan Rasul-Nya. Dosen bahasa Arab berperan sebagai warasatul anbiya—pewaris para nabi—yang tugasnya bukan hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai, membentuk akhlak, dan menyuburkan cinta kepada Tuhan dan sesama. Dalam kerangka ini, bahasa Arab menjadi ruang pengabdian, ruang ketulusan, dan ruang cinta.
Sudah waktunya pembelajaran bahasa Arab melampaui pendekatan teknis dan kognitif. Sudah saatnya ia menyentuh hati dan jiwa. Dengan menghadirkan cinta sebagai fondasi utama, bahasa Arab tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi taman ruhani yang membahagiakan dan menyelamatkan. Inilah saatnya kita menghidupkan kembali bahasa wahyu sebagai jalan mendekat kepada Sang Maha Cinta.