Skip ke Konten

Kurikulum Berbasis Cinta dari Perspektif Pemasaran

Darmianti Razak (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, IAIN Parepare)
26 Juli 2025 oleh
Kurikulum Berbasis Cinta dari Perspektif Pemasaran
Hamzah Aziz

Di tengah gempuran era digital yang menderas tanpa jeda, kita sering lupa bahwa baik pendidikan maupun pemasaran sejatinya adalah soal hubungan antar manusia. Keduanya tidak semata dapat diukur dengan nilai yang berupa angka, baik itu nilai akademik atau angka penjualan. Sama seperti beberapa orang yang terdiam sejenak, meraba makna dari frasa ‘kurikulum berbasis cinta’ ini, penulis pun demikian. Merenungi dengan perlahan, akhirnya penulis sampai pada kesan bahwa gagasan ini bukan tentang romantisme belaka, melainkan sebuah wujud kepedulian yang mendasar. Karena cinta menghidupkan ragu menjadi sanggup, cinta mampu merubah pelita jadi realita, dan cinta dapat memberikan kekuatan yang melampaui batas ekspektasi manusia biasa.

Pun demikian, bukan berarti gagasan kurikulum berbasis cinta menjadi landasan untuk bersikap permisif. Di era generative search ini, beberapa kali penulis dapati perilaku tak acuh dari mahasiswa/i yang begitu menguras emosi. Pengaruh paparan teknologi yang excessive-kah dibalik ini? atau ada hal yang lebih mengakar, yang menjadi penyebabnya? Ketika mencoba untuk menelisik, penulis mendapati bahwa kebanyakan diantaranya tidak memiliki motivasi yang cukup dalam belajar. Kebanyakan diantaranya memilih biasa saja tanpa menyadari betapa pentingnya sebuah value yang menyokong proses pengembangan karakter mereka. Hadirnya kurikulum berbasis cinta ini bukan berarti akan membebaskan mahasiswa/i dari tantangan, namun patutnya menjadi sebuah pondasi kokohnya karakter dalam menghadapi tantangan global.

Di situasi yang berbeda, penulis juga mendapati bahwa begitu lekatnya istilah ‘strategi pemasaran’ pada mahasiswa/i tingkat akhir, tanpa memahami betul apa konsekuensi dari pemilihan judul itu. Ketika ditanyai, strategi pemasaran apa yang anda maksud dalam konteks penelitian ini? ragu dan bingung lalu menyelimuti raut ekspresi kebanyakan diantaranya. Apa yang kebanyakan pahami bahwa pemasaran adalah aktivitas jual beli produk. Sayangnya, pemasaran tidak dapat direfleksikan sebatas itu. Bukan tanpa arti, fenomena ini membuat penulis tersadar bahwa ada faktor yang kerap terabaikan dalam dunia akademik kita. Motivasi dalam relung afeksi bisa jadi picu dan pacu untuk lebih serius dalam proses belajar. Jika kurang maka akan memicu kemasabodohan, sebaliknya ketika motivasi itu cukup maka akan memacu kegigihan dalam proses belajar. 

Menjawab fenomena dua kondisi diatas, penulis rasa kurikulum berbasis cinta akan menjadi momentum transformasi yang akan mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Dalam konsep pemasaran, ada istilah value nurturing yang merupakan upaya terus-menerus dalam memberikan nilai tambah pada konsumen dalam orientasi jangka panjang. Pendekatan ini membantu konsumen dalam proses pengambilan keputusan, bukan sekadar berorientasi pada hasil. Hal ini penulis nilai sejalan dengan konsep KBC yang tujuannya berperan dalam menyemai dan menumbuhkan nilai dengan membentuk kesadaran keterhubungan secara berkelanjutan.

Pemasaran lebih dari sekadar strategi. Philip Kotler, bapak pemasaran modern, bukannya tanpa alasan mendefinisikan pemasaran sebagai seni. Dalam pemasaran, perilaku konsumen membutuhkan pemahaman secara holistik tentang kebutuhan, keinginan, dan hasrat target pasar. Hal ini yang mendasari strategi personalisasi dalam pemasaran. Maka dari itu, sangat penting jika semua bentuk aktivitas pemasaran merujuk pada upaya yang dapat menyentuh sisi emosional seorang individu. Pendekatan consumer-centric melihat seorang individu secara utuh sebagai manusia yang unik, kompleks, dan dinamis. Pemasaran jangan dipandang hanya sekadar menawarkan produk, pemasaran pada intinya adalah bagaimana upaya-upaya pemasar berhasil memengaruhi keputusan. Dan bukankah keputusan individu sangat lekat dekat dengan sisi emosionalnya. Jika dunia pemasaran modern bicara tentang brand with purpose, maka pendidikan berbasis cinta pun bicara learning with heart. Keduanya mendorong perubahan melalui pendekatan yang menyentuh sisi terdalam manusia.

Lebih dari itu, pemasaran modern juga berfokus pada konsep kolaborasi. Kurikulum berbasis cinta (KBC) hadir dengan semangat yang sejalan. KBC mendorong kolaborasi antar pendidik dan peserta didik dalam menyusun makna pembelajaran. Hubungan ini bukan hierarkis, melainkan dialogis yang dipenuhi kepercayaan, kepeduliaan, dan rasa hormat (respect). Kolaborasi dalam pemasaran menjadi solusi untuk keberlanjutan. Begitupun KBC, hadirnya akan melahirkan keberlanjutan yang tidak hanya berkesan tapi berdampak. 


“Mimpi KBC untuk Indonesia emas 2045 adalah menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kaya akan empati, kasih sayang, dan kesadaran akan keterhubungan universal, masyarakat yang menjunjung tinggi harmoni dan keseimbangan sesama manusia dan alam semesta.” Oleh karena itu, dari perspektif pemasaran, baik sebagai disiplin ilmu maupun sebagai seni, KBC memiliki pendekatan yang selaras dimana keduanya sama-sama menempatkan manusia sebagai sentris (bukan sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dihargai, dirawat, dan diberdayakan. Juga, keduanya percaya bahwa perubahan besar tak lahir dari paksaan, melainkan dari hubungan yang tulus.


Pemasaran tak sebatas alat dalam menjalankan bisnis, dan pendidikan bukan sekadar alat akademik. Keduanya adalah jalan pengaruh, dan pengaruh yang paling tahan lama adalah yang lahir dari cinta. Maka jika dunia usaha sudah menempatkan emosi sebagai kekuatan strategis, dunia pendidikan pun perlu menyusunnya sebagai kurikulum.

Kurikulum Berbasis Cinta dari Perspektif Pemasaran
Hamzah Aziz 26 Juli 2025
Share post ini
Arsip