Di sela-sela kesibbukan mengajar, seorang dosen Ilmu Hukum dan Kewarganegaraan di kampus kami kerap terlihat jongkok di taman, menata pot, atau sekadar membersihkan kelopak bunga yang gugur. Ia tahu betul kapan mawar perlu dipangkas, kapan tanah perlu digemburkan, dan kapan bibit baru bisa mulai dipindahkan. Bang Yasin, begitu biasa kami memanggilnya, hobinya merawat tanaman selalu mengingatkan: bahwa hukum dan cinta tidak perlu saling berjauhan.
Di tangan dosen ini, bunga bukan sekadar hiasan, melainkan perpanjangan dari tanggung jawab akademik. Ia percaya bahwa mendidik mahasiswa tidak cukup hanya lewat pasal dan logika, tapi juga lewat kesabaran dan kasih. Bahwa memahami keadilan bukan cuma soal membedah undang-undang, tetapi juga menyelami rasa kemanusiaan. Dan cinta adalah jalan pintas terbaik menuju hal itu.
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) mungkin belum tertera secara formal dalam dokumen akademik atau borang akreditasi. Tapi pada dasarnya, kurikulum ini telah hadir dalam praktik-praktik kecil yang kadang luput dari perhatian: dalam cara dosen menyapa mahasiswa dengan sabar, dalam cara ia mendengar, dan dalam ketekunannya merawat bunga seakan itulah simbol tanggung jawab terhadap tumbuhnya peradaban. Bukankah pendidikan adalah proses menumbuhkan, bukan sekadar mengisi?
Ilmu hukum sering kali dicitrakan kaku, dingin, penuh teks. Tapi di tangan orang-orang yang mencintai, hukum menjadi lentur, ramah, dan membumi. Ia menjadi alat untuk membela yang lemah, bukan menindas. Ia menjadi ruang untuk mediasi dan pengampunan, bukan sekadar vonis. Dan semua ini hanya mungkin jika pendidikan hukum dilandasi cinta.
Kurikulum cinta tidak mengingkari struktur, tapi ia menyusup ke dalamnya. Ia tidak menolak sistem, tapi menanamkan kehangatan dalam setiap prosedur. Ia menjadikan pembelajaran sebagai ruang untuk bertumbuh bersama, bukan hanya mengejar nilai. Dan para mahasiswa merasakannya, bahwa ruang kelas adalah tempat aman untuk keliru, untuk bertanya, untuk mengungkapkan kegelisahan. Bahwa dosen bukan menara gading, tapi sesama pembelajar.
Merawat bunga, bagi Bang Yasin, bukan sekadar hobi. Itu cara ia menjaga keseimbangan antara kerasnya kehidupan dan lembutnya jiwa manusia. Ia mengajari kita bahwa pendidikan harus menjangkau akar, bukan hanya daun. Harus sabar seperti merawat benih, bukan memaksa panen dalam semalam.
Di kampus-kampus yang terlalu sibuk mengejar akreditasi dan ranking, sering kali kita lupa bahwa cinta adalah energi paling otentik dalam belajar. Ia tidak bisa diukur dengan rubrik, tapi bisa dirasakan. Ia tidak terdokumentasi dalam borang, tapi tumbuh dalam kesadaran kolektif. Dan kadang, untuk menemukannya kembali, kita cukup duduk di taman, melihat seorang dosen sedang menyiram bunga.
Saat menulis catatan ini, saya meminta pandangan Pak Yasin tentang bagaimana memaknai kehidupan dalam sudut pandang menanam bunga. Jawaban beliau:
"Tanamkanlah dalam diri Anda untuk selalu membuat "Makhluk Lain" di sekitar kita MENETESKAN AIR MATA bahkan MENANAGIS, karena bentuk KASIH dan SAYANGMU. Janganlah Membuat "Mereka" MENETESKAN AIR MATA, bahkan MENANGIS karena Bentuk KEZALIMANMU. Jika ini yang anda lakukan, maka tunggulah SELEKSI-NYA, yang lebih KERAS daripada Seleksi manusia." Wallahu Alam bi Al Shawwab
Moh. Yasin Soumena