Skip ke Konten

Kurikulum Berbasis Cinta: Menumbuhkan Empati Menuju Madrasah Tanpa Kekerasan

Emilia Mustary, M.Psi., Psikolog. (Kaprodi BKI)
25 Juli 2025 oleh
Kurikulum Berbasis Cinta: Menumbuhkan Empati Menuju Madrasah Tanpa Kekerasan
Admin

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) kembali digelar sebagai penanda dimulainya tahun ajaran baru. Seharusnya, ini menjadi momentum membangun suasana inklusif dan menyenangkan bagi peserta didik baru. Namun, realitas berkata lain. MPLS tahun ini kembali tercoreng oleh praktik kekerasan. Seperti dilaporkan tirto.id, terjadi penganiayaan oleh sekelompok siswa terhadap siswa baru di SMPN Doko, Blitar, Jawa Timur. Korban mengalami luka fisik dan trauma psikologis.

Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa kekerasan di lingkungan sekolah bukan insiden tunggal. Ia telah menjadi gejala sistemik yang menuntut penanganan serius dan berkelanjutan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat lonjakan kasus perundungan dari 53 kasus pada 2021, menjadi 266 kasus pada 2022, dan melonjak tajam menjadi 1.478 kasus pada 2023. Ini bukan sekadar angka—ini adalah potret krisis yang nyata.

Peneliti Universitas Negeri Yogyakarta, Eva Imania Eliasa, mengungkap bahwa hampir 15% siswa Indonesia pernah mengalami perundungan, dan 9% di antaranya dilakukan oleh kakak tingkat terhadap adik kelas. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan bukan hanya ada—ia tumbuh, diwariskan, bahkan dilembagakan secara tak sadar dalam kultur sekolah kita.

Fenomena ini seharusnya menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan. Pendekatan kurikulum yang silih berganti nyatanya belum menyentuh akar persoalan. Sementara indeks literasi dan numerasi Indonesia masih rendah, kasus kekerasan terus meningkat. Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter belum banyak berbuah, karena karakter masih diajarkan sebatas hafalan slogan. Kurikulum Merdeka dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pun belum optimal, terbentur beban administratif guru, kurangnya integrasi antar pelajaran, dan lemahnya dimensi spiritual-afektif yang seharusnya menjadi ruh pendidikan.

Di tengah kegamangan itu, lahirlah harapan baru: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Diluncurkan pada 24 Juli 2025 oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar di Makassar, kurikulum ini menawarkan arah baru dalam pendidikan—lebih manusiawi, spiritual, dan relasional. Ia menekankan kesadaran diri, relasi sehat, dan penghargaan terhadap sesama sebagai inti pembelajaran.

Kurikulum Berbasis Cinta berusaha menggeser fokus pendidikan dari sekadar capaian akademik menuju pembentukan kepribadian utuh. Di tengah atmosfer sekolah yang kompetitif dan terkadang keras, KBC menawarkan napas baru: menciptakan ruang belajar yang damai, empatik, dan membumi.

Salah satu kunci mencegah kekerasan adalah empati. Daniel Goleman menyebut empati sebagai inti dari kecerdasan emosional. Anak-anak yang mampu memahami dan merasakan perasaan orang lain cenderung menolak kekerasan dan membangun hubungan sosial yang sehat. Namun empati bukan bawaan lahir—ia harus ditanamkan, dipupuk, dan dilatih. Inilah yang menjadi titik tekan Kurikulum Cinta: menanam nilai melalui pembiasaan, bukan paksaan.

KBC juga menekankan pentingnya pembelajaran bermakna. Dalam pelajaran sains misalnya, siswa tidak hanya diajak mengenal hukum alam, tetapi juga merenungi keteraturan ciptaan dan kebesaran Ilahi. Biologi mengajarkan tanggung jawab menjaga tubuh sebagai amanah Allah. Fisika tidak hanya membahas gaya dan gerak, tapi juga harmoni semesta. Ilmu pengetahuan tidak hanya mencerdaskan nalar, tetapi juga menajamkan nurani. Nilai-nilai lahir bukan karena ancaman, melainkan tumbuh dari kesadaran yang mendalam.

Dengan semangat itu, madrasah didorong menjadi lebih dari sekadar tempat belajar, tetapi rumah pendidikan spiritual, sosial, dan intelektual. KBC menekankan praktik nyata, bukan sekadar teori. Keteladanan guru, suasana emosional yang aman, dan ruang untuk refleksi menjadi bagian tak terpisahkan. Ketika siswa marah, ia tidak dihukum tanpa sebab, tetapi diajak memahami emosinya, mengenali pemicunya, dan memikirkan dampaknya terhadap orang lain.

KBC juga mengembalikan marwah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis akhlak. Pembelajaran agama bukan hanya penghafalan ayat, tetapi penghayatan nilai. Akhlakul karimah bukan hanya materi, tetapi karakter yang hidup dalam keseharian.

Di tengah gelombang kekerasan yang terus meningkat, KBC hadir sebagai intervensi preventif. Ia menawarkan fondasi kuat untuk membentuk sekolah sebagai ruang yang aman, inklusif, dan penuh kasih. Generasi yang dibentuk bukan hanya cerdas, tapi juga beradab dan berperikemanusiaan.

Tentu saja, pelaksanaannya tidak mudah. Tantangan terbesar terletak pada transformasi paradigma guru. Selama ini, banyak pendidik masih terjebak dalam pola lama yang lebih fokus pada target kognitif ketimbang pembentukan karakter. Karena itu, implementasi KBC membutuhkan pelatihan berkelanjutan, komitmen kolektif, serta dukungan sistemik agar benar-benar hidup di seluruh satuan pendidikan, dari kota hingga pelosok.

Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar kurikulum baru. Ia adalah ajakan untuk kembali kepada inti pendidikan: menjadikan manusia sebagai manusia. Ketika cinta dan empati menjadi napas dalam ruang-ruang belajar, maka kekerasan akan kehilangan tempat berpijaknya.


Kurikulum Berbasis Cinta: Menumbuhkan Empati Menuju Madrasah Tanpa Kekerasan
Admin 25 Juli 2025
Share post ini
Arsip