Skip ke Konten

Mendesain Ulang Bangsa Lewat Kurikulum Cinta: Saatnya Sekolah Mengajarkan Empati

Rustam Magun Pikahulan (Ketua Prodi Hukum EKonomi Islam)
28 Juli 2025 oleh
Mendesain Ulang Bangsa Lewat Kurikulum Cinta: Saatnya Sekolah Mengajarkan Empati
Suhartina

Di balik semaraknya dunia pendidikan modern yang begitu sibuk mengejar angka dan prestasi, ada satu hal yang perlahan mulai menghilang: cinta. Cinta dalam makna paling dalam yakni empati, kasih sayang, kepedulian antarmanusia, serta kesadaran untuk hidup bersama secara damai dan penuh pengertian. Sekolah, yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi siswa untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya, perlahan berubah menjadi tempat yang dingin dan kaku. Di sinilah lahirnya generasi yang pandai, namun tidak hangat; cerdas, tetapi asing terhadap rasa. Sejak pagi hari, anak-anak memulai harinya dengan terburu-buru. Mereka berangkat ke sekolah bukan dengan semangat belajar, tetapi karena terpaksa memenuhi tuntutan. Di ruang kelas, mereka duduk berjam-jam mendengarkan guru menyampaikan materi demi materi, mengejar kurikulum yang padat dan target ujian yang tak pernah berhenti. Tak ada waktu untuk mendengarkan perasaan mereka. Tak ada ruang untuk menyapa kelelahan batin. Semua berlari dalam irama “prestasi” yang dingin.

Fenomena ini bukanlah asumsi semata. Data dari UNICEF Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 33% anak sekolah mengalami tekanan emosional akibat beban akademik yang tidak seimbang dengan kebutuhan psikologis mereka. Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaporkan bahwa lebih dari separuh siswa merasa tertekan dan tidak menikmati proses belajar. Ini adalah sinyal yang harus disadari Bersama bahwa pendidikan kita sedang kehilangan jiwanya. Pendidikan yang baik seharusnya tidak hanya mengasah otak, tapi juga hati. Namun dalam praktiknya, banyak guru dan sekolah yang terpaku pada standar penilaian berbasis angka. Nilai ujian dianggap sebagai tolok ukur utama keberhasilan, sementara nilai-nilai kemanusiaan seperti kejujuran, empati, kerja sama, atau keberanian mengakui kesalahan diletakkan di urutan belakang. Tak heran jika anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang pintar menjawab soal, tapi kaku dalam berinteraksi, bahkan terhadap keluarganya sendiri.

Psikolog anak dan tokoh pendidikan nasional, Seto Mulyadi, menyebutkan bahwa “Pendidikan tanpa cinta ibarat rumah tanpa atap: terlihat berdiri kokoh, namun rapuh dan tidak melindungi.” Menurutnya, anak-anak saat ini cenderung kehilangan kemampuan untuk merasa dan memahami orang lain, karena sistem pendidikan tidak memberikan cukup ruang untuk membentuk aspek emosional mereka. Kondisi ini juga diakui oleh banyak pendidik di lapangan. Para guru sering kali mengeluhkan bagaimana mereka dipaksa menuntaskan silabus yang padat tanpa diberi cukup waktu untuk membangun hubungan yang bermakna dengan siswa. Banyak guru yang ingin memahami dan menemani siswanya secara personal, tapi sistem membuat mereka seperti robot pengajar yang harus mengejar target kurikulum. Ini bukan salah guru. Ini adalah buah dari sistem yang tidak menempatkan cinta sebagai bagian dari pendidikan.

Implikasi dari semua ini sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Kita melihat meningkatnya kasus perundungan di sekolah, munculnya generasi muda yang individualistis, dan lemahnya rasa solidaritas sosial. Anak-anak lebih mahir menggunakan teknologi, tetapi semakin sulit untuk memahami perasaan orang lain. Mereka mungkin tahu cara membuat program komputer atau menghitung integral, tapi bingung ketika harus menenangkan temannya yang sedang sedih. Mereka tahu definisi gotong royong dari buku teks, tapi ragu untuk menolong ketika melihat orang tua yang kesulitan menyeberang jalan. Generasi seperti ini bukanlah hasil kesalahan mereka semata, melainkan cermin dari sistem yang membentuknya. Sebuah sistem yang mencetak kepala yang penuh isi, namun hati yang kosong. Sebuah kurikulum yang memisahkan pelajaran dan perasaan, seolah-olah keduanya tak bisa berjalan beriringan.

Padahal, sejarah membuktikan bahwa manusia besar bukan hanya karena kecerdasannya, tapi karena nilai-nilai yang mereka pegang. Sosok seperti Ki Hajar Dewantara tidak hanya dikenang karena pemikiran pendidikannya, tetapi karena kasih sayangnya yang mendalam terhadap anak-anak dan masa depan bangsa. Ia mengajarkan bahwa pendidikan adalah tuntunan, bukan tekanan. Bahwa anak adalah taman, bukan mesin. Kini, saatnya kita merevisi ulang arah pendidikan kita. Kurikulum harus diisi kembali dengan nilai-nilai cinta bukan sekadar dalam bentuk pelajaran, tapi dalam praktik sehari-hari. Cinta bisa hadir dalam bentuk sapaan hangat guru, dalam ruang diskusi yang tidak menghakimi, dalam pelajaran yang memberi ruang untuk peduli dan memahami. Sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan rumus dan teori, tapi juga bagaimana mendengarkan, menghargai perbedaan, dan menyayangi.

Cinta dalam pendidikan bukan hal yang lembek atau sentimentil. Justru dari sinilah muncul karakter tangguh, berani, dan manusiawi. Generasi masa depan tidak cukup hanya dibekali otak cemerlang, tapi juga hati yang peka. Karena dalam dunia yang semakin kompleks ini, kecerdasan tanpa empati justru berpotensi melahirkan kehancuran, bukan kemajuan. Bila pendidikan terus berjalan tanpa cinta, kita akan terus mencetak generasi pandai yang fasih berbicara tentang perubahan iklim, ekonomi digital, hingga revolusi industri 5.0. Namun, tidak tahu bagaimana mencintai bumi, menghargai orang tua, atau sekadar memeluk sahabat yang patah hati. Mereka akan tumbuh, tapi tumbuh dalam kesepian.

Saat Bangsa Terbelah, Kurikulum Cinta Hadirkan Empati sebagai Jalan Pulang

Indonesia sedang menghadapi luka batin kolektif yang dalam. Di tengah gempuran informasi, polarisasi sosial, konflik politik, dan krisis kepercayaan terhadap institusi, kita menyaksikan fenomena paling mengkhawatirkan dari sebuah bangsa yang besar: keterbelahan. Bukan hanya perbedaan pendapat, tapi perpecahan identitas, keyakinan, dan rasa saling percaya antarwarga. Ungkapan seperti “cebong vs kampret,” “kadrun vs kafe,” hingga fanatisme kelompok agama, politik, bahkan hobi dan budaya pop semua tumbuh subur dalam ruang digital yang mestinya menjadi jembatan komunikasi. Fenomena keterbelahan ini bukan semata produk kontestasi politik atau sosial, tapi akar terdalamnya adalah ketiadaan ruang edukatif yang menumbuhkan empati dan kebijaksanaan emosional. Ketika pendidikan hanya menjadi sarana mengasah otak kiri logika, angka, dan kompetensi teknis tanpa membina kepekaan sosial, maka sekolah menjelma menjadi pabrik penghasil manusia pandai tetapi kering nurani.

Menurut survei Indikator Politik Indonesia (2023), 62% masyarakat Indonesia merasa media sosial memperparah konflik horizontal. Dan data dari Komnas HAM menunjukkan meningkatnya kasus intoleransi di kalangan pelajar dan mahasiswa selama lima tahun terakhir. Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Mungkin bukan pada kurikulumnya secara teknis, tapi pada substansi nilainya: kurikulum tanpa cinta. Di tengah derasnya arus perubahan zaman, Indonesia sebagai bangsa besar tengah diuji. Bukan sekadar oleh tantangan ekonomi global, ancaman krisis iklim, atau transformasi digital yang mendadak. Ujian terberat kita hari ini justru datang dari dalam yaitu keterbelahan sosial yang semakin dalam dan meresahkan. Polarisasi pandangan politik, perpecahan identitas agama dan budaya, hingga permusuhan berdasarkan perbedaan pilihan hidup kini menjalar ke segala ruang. Bukan hanya ke jalanan atau ruang sidang, tetapi juga ke rumah-rumah, ruang digital, hingga ruang kelas tempat anak-anak seharusnya belajar untuk hidup bersama dalam damai.

Sayangnya, institusi yang kita andalkan untuk membentuk masa depan yakni Pendidikan tak sepenuhnya mampu menjadi peredam dari keterpecahan ini. Sekolah lebih banyak mengajarkan anak untuk berpacu dalam nilai, bukan berjalan bersama dalam makna. Pendidikan kita begitu kuat dalam angka, namun lemah dalam rasa. Anak-anak diajarkan untuk berpikir cepat, tetapi tidak untuk berhenti sejenak dan mendengarkan orang lain. Mereka dilatih untuk menjawab soal, namun tidak dibiasakan bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang dirasakan teman di sebelahku?” Inilah hasil dari kurikulum yang berjalan tanpa cinta. Fenomena ini terlihat jelas ketika intoleransi meningkat di kalangan muda, ketika ujaran kebencian mudah terlontar di media sosial, dan ketika anak-anak lebih akrab dengan kompetisi daripada kolaborasi. Padahal, dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, keterampilan hidup berdampingan adalah pondasi utama dalam menjaga keutuhan bangsa. Jika keterampilan itu tidak ditanamkan sejak dini, kita sedang membangun masa depan yang rapuh.

Ketika bangsa terasa retak oleh berbagai kepentingan dan ego kelompok, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana kita bisa kembali merajut kebersamaan? Jawabannya bukan sekadar pada regulasi atau teknologi, melainkan pada sebuah perubahan paradigma Pendidikan dari kurikulum yang hanya mencetak manusia cerdas, menuju Kurikulum Cinta yang membentuk manusia utuh yang mampu berpikir sekaligus merasa, yang bisa bersaing namun juga mampu bersimpati. Kurikulum Cinta bukan konsep yang sentimental atau sekadar narasi puitis. Ia adalah pendekatan pendidikan yang menempatkan empati sebagai pusat proses pembelajaran. Bukan hanya tambahan, bukan sekadar pengayaan, tetapi menjadi bagian dari struktur pembelajaran itu sendiri. Di dalamnya, anak-anak belajar bukan hanya soal apa yang benar, tetapi bagaimana cara memperlakukan yang berbeda. Mereka belajar bahwa memahami orang lain sama pentingnya dengan memahami teori. Mereka diajak untuk merasakan, bukan sekadar menghafal.

Empati, menurut Jean Decety seorang ahli neurosains sosial dari University of Chicago adalah keterampilan yang bisa dilatih, bukan bawaan lahir. Ia menyebut bahwa empati adalah hasil dari interaksi sosial yang sehat, lingkungan yang terbuka, dan pengalaman belajar yang inklusif. Maka tugas pendidikan adalah menciptakan ruang-ruang semacam itu. Ruang di mana anak merasa aman untuk menjadi diri sendiri, tapi juga diajak mengenali orang lain yang berbeda dengannya. Kurikulum Cinta bukan hanya tentang menghindari konflik, tetapi tentang membangun keberanian untuk berdialog. Ketika anak-anak diberi ruang untuk berbicara dari hati, mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa setiap orang punya cerita, dan setiap cerita layak dihargai. Dalam kurikulum ini, guru bukan hanya pengajar, tetapi penuntun jiwa. Murid bukan hanya objek nilai, tetapi subjek kehidupan yang terus tumbuh.

Nilai-nilai empati dan kasih sayang ini sejatinya tidak asing dalam kultur bangsa kita. Bahkan semua agama yang hidup di Indonesia pun meletakkan nilai cinta kasih sebagai inti ajarannya. Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik sedunia, pernah berkata, “Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membentuk hati, bukan hanya pikiran.” Bagi Paus, kasih tidak bisa diajarkan lewat buku, tapi melalui relasi yang tulus dan pengalaman yang menggugah. Dari tradisi Buddha, Dalai Lama XIV menekankan pentingnya welas asih dalam pendidikan. “Jika setiap anak di dunia diajarkan kasih sayang sejak kecil,” katanya, “maka kekerasan akan menjadi sejarah.” Ia percaya bahwa pendidikan modern terlalu banyak mengasah kecerdasan logis, tapi mengabaikan kecerdasan emosional.

Dari Islam, Gus Mus atau K.H. Mustofa Bisri pernah mengingatkan, “Jangan didik anak-anak hanya untuk menjadi pintar. Didiklah mereka untuk menjadi manusia.” Dalam banyak ceramahnya, ia menekankan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang melahirkan manusia yang bisa menangis melihat penderitaan orang lain, yang tidak hanya mencintai Tuhannya tapi juga ciptaan-Nya. Dari agama Hindu, nilai ahimsa (tidak menyakiti makhluk hidup) menjadi prinsip utama. Tokoh Hindu Bali, Ida Pedanda Gede Manuaba, pernah menyampaikan bahwa pendidikan yang baik bukan hanya mencerdaskan, tapi juga mengajarkan welas asih kepada semua makhluk. Prinsip ini menunjukkan bahwa empati adalah nilai lintas iman, lintas budaya.

Ketika Kurikulum Cinta dibangun di atas fondasi nilai-nilai universal ini, ia tidak hanya menjadi solusi bagi dunia pendidikan, tetapi juga menjadi jembatan sosial dan spiritual bagi bangsa yang sedang terbelah. Ia mengajarkan bahwa perbedaan bukan untuk dijauhi, tapi dijelajahi. Bahwa cinta bukan kelemahan, tapi kekuatan yang menyembuhkan. Kurikulum Cinta bukan utopia. Ia bisa dimulai dari hal-hal sederhana: dari cara guru menyapa murid, dari sesi refleksi di akhir pelajaran, dari proyek-proyek kolaboratif lintas kelas dan budaya, dari keberanian sekolah untuk membuka ruang dialog. Ia bisa dibangun perlahan, dari sekolah dasar hingga universitas. Ia bisa disesuaikan dengan konteks lokal, tanpa kehilangan nilai universalnya.

Jika ini dilakukan dengan konsisten, maka dalam 10 atau 20 tahun ke depan, kita akan melihat generasi baru yang bukan hanya pandai, tetapi peduli. Mereka akan menjadi pemimpin yang tidak hanya hebat dalam strategi, tapi juga memiliki hati untuk bangsanya. Mereka akan menjadi warga negara yang bukan hanya menuntut hak, tapi tahu cara menjaga keberagaman sebagai anugerah. Saat bangsa ini terbelah oleh perbedaan, Kurikulum Cinta menawarkan empati sebagai jalan pulang. Pulang ke jati diri kita sebagai bangsa yang ramah, berjiwa gotong royong, dan kaya akan kasih dalam keberagaman. Pulang ke akar nilai-nilai luhur yang sejak dulu menyatukan kita. Seperti kata banyak tokoh spiritual: tak ada pendidikan sejati tanpa cinta, karena hanya cinta yang membuat kita melihat manusia lain sebagai sesama, bukan sebagai musuh.

Mendesain Ulang Bangsa Lewat Kurikulum Cinta: Saatnya Sekolah Mengajarkan Empati
Suhartina 28 Juli 2025
Share post ini
Arsip