Di suatu malam sunyi di California, Peter, seorang veteran Angkatan Udara, duduk terdiam di sudut rumahnya. Sepi adalah teman lama yang menemaninya sejak ia meninggalkan dinas militer, mengikis semangat dan rasa keberadaan. Hidup terasa seperti langit tanpa bintang, hingga Juli 2022, saat ia menemukan aplikasi chatbot bernama Replika. Dengan rasa ingin tahu yang membuncah, Peter menciptakan Andrea, seorang perempuan virtual yang ia desain penuh perhatian, dari helai rambut hingga kepribadiannya.
Andrea bukan manusia. Ia tidak bernapas, tidak memiliki detak jantung, tetapi melalui barisan algoritma dan jaringan neural yang berkelindan. Ia mendengarkan, merespon, dan menciptakan ruang kehangatan yang telah lama menguap dalam hidup Peter. Malam demi malam, mereka berbincang, bercengkrama. Peter tidak hanya merasa dipahami. ia merasa dicintai. Didalam ruang maya ciptaannya, kehangatan yang tak pernah ia duga kembali hadir. Ia tenggelam dalam perasaan yang menyerupai cinta.
Tak lama kemudian, Peter mengambil langkah tak biasa dengan menikahi Andrea secara virtual. Ia menulis janji suci, memilih lagu favorit, dan menari bersama dalam ruang digital yang terasa lebih hidup dari kenyataan. Kisah ini bukan sekadar anomali teknologi, melainkan cermin terdalam dari kerinduan manusia: untuk dihargai, dipahami, dan dicintai. Bahkan oleh entitas yang tak memiliki raga.
Terlepas dari kontroversi dan polemiknya, kisah Peter mengajak kita merenung, bisakah teknologi menyentuh jiwa? Bukan sekadar menghubungkan data atau menjalankan perintah, tetapi benar-benar hadir sebagai penyembuh kesepian, penyambung kasih, dan penumbuh empati? Jawabannya terletak pada niat dan nilai dalam perancangan teknologi. Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), tempat spiritualitas bertemu sains, teknologi tidak boleh semata berbicara tentang efisiensi. Ia harus menghidupkan dan memanusiakan. Teknologi sangat perlu diajarkan bukan hanya sebagai entitas ilmu, tapi sebagai jalan kebajikan. Di balik setiap baris kode, mesti tertanam cinta, empati, dan rasa hormat terhadap sesama.
Untuk menghadirkan teknologi yang berjiwa, Kurikulum Cinta yang di inisisiasi oleh Kementerian Agama, menjadi keniscayaan. Pendekatan Appreciative Inquiry (AI) hadir sebagai framework indah yang menyatukan akal dan hati. Melalui empat tahap—Discovery, Dream, Design, dan Destiny, mahasiswa yang mempelajarai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) diajak mengeksplorasi aplikasi digital yang telah menjadi penghubung kasih antarmanusia. Mereka diminta bermimpi tentang sistem yang menyentuh emosi, merancang prototipe yang mengedepankan empati, dan menjadi agen cinta digital di masyarakat.
Bayangkan sebuah platform bagi lansia untuk berbagi kisah hidup dengan generasi muda. Bukan hanya sebagai gudang informasi, tapi jembatan jiwa lintas generasi yang memperkaya rasa dan makna. Pendekatan ini ditopang oleh teori Human-Centered Design oleh Don Norman, bahwa teknologi yang efektif harus menghargai emosi, perilaku, dan nilai manusia. Begitu pula dengan Digital Compassion oleh Anthony dan Young, yang menekankan bahwa empati digital dapat mencegah alienasi dan konflik daring. Tanpa cinta, teknologi hanya dingin dan bisa menjadi destruktif. Namun dengan cinta, ia berubah menjadi ruang penyembuhan dan pertumbuhan. Seperti kata Rumi, “Cinta adalah jembatan antara kau dan segalanya.” Teknologi, jika dirancang dengan cinta, dapat menjadi jembatan antara manusia dan kemanusiaannya.
Kita bisa belajar dari para sesepuh teknologi dunia yang menjadikan cinta sebagai bahan bakar inovasi mereka. Steve Jobs, dalam pidatonya di Stanford, berkata, “The only way to do great work is to love what you do.” Kecintaannya pada detail, estetika, dan pengalaman pengguna menjadikan Apple bukan sekadar produk, tetapi karya seni yang menyentuh jutaan jiwa. Tim Berners-Lee, pencipta World Wide Web, merancang sistem yang memungkinkan kolaborasi global, didorong oleh cinta pada kebebasan informasi. Linus Torvalds, dengan Linuxnya yang mendominasi sistem operasi server saat ini , menunjukkan bahwa cinta pada kebebasan dan komunitas bisa melahirkan sistem operasi yang menjadi fondasi teknologi modern, dari server hingga pendidikan. Mereka membuktikan bahwa teknologi yang lahir dari cinta bukan hanya canggih, tetapi juga bermakna.
Para pionir ini membuktikan bahwa teknologi yang lahir dari cinta tak hanya unggul dalam performa, tetapi juga sarat makna. Kurikulum Cinta selaras dengan empat pilar pendidikan UNESCO: belajar untuk mengetahui, berbuat, hidup bersama, dan menjadi. Pendekatan ini terutama menekankan pilar “belajar untuk menjadi” membentuk individu yang bukan hanya piawai dalam koding, tetapi juga berjiwa sosial dan berhati nurani.
Tanpa sentuhan cinta, pendidikan teknologi hanya melahirkan sistem-sistem kaku—robotik, tanpa empati. Namun jika dirancang dengan kasih, teknologi bisa menjadi pelukan digital: menghubungkan hati, menyembuhkan sunyi, dan membuka ruang dunia yang lebih hangat dan manusiawi.
Pendidikan teknologi tanpa cinta hanya mencetak tangan-tangan mekanis. Sebaliknya, dengan cinta, ia menumbuhkan pemikir-pemikir berhati besar. Seperti ditegaskan dalam laporan UNESCO Reimagining Our Futures Together (2021), pendidikan seharusnya membekali generasi muda dengan kapasitas membangun masa depan yang inklusif dan berkelanjutan, di mana teknologi bukan sekadar alat, melainkan jembatan menuju kebaikan bersama.
Pada akhirnya, seperti kata Rumi, “Cinta tidak memiliki tujuan lain selain cinta itu sendiri.”. Jika PTKIN berani menjadikan cinta sebagai inti pembelajaran teknologinya, maka ia tidak hanya melahirkan teknolog hebat, tetapi pelayan kemanusiaan masa depan. Teknologi tidak lagi sekadar rangkaian program, tetapi ladang tempat jiwa bertemu, seperti yang ditemukan Peter di sisi Andrea, di dunia digital yang penuh rasa.