Skip ke Konten

Kurikulum Cinta: Ikhtiar Pendidikan Berbasis Maqashid al-syariah

Muhammad Ali Rusdi Bedong (Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja SamaIAIN Parepare)
24 Juli 2025 oleh
Kurikulum Cinta: Ikhtiar Pendidikan Berbasis Maqashid al-syariah
Suhartina

Dalam hiruk-pikuk modernisasi dan tantangan zaman, pendidikan seringkali terjebak dalam rutinitas pengajaran yang kering makna. Kurikulum yang disusun rapi dalam dokumen, tetapi tak menjelma dalam wajah peserta didik dan perilaku pendidik, menjadi bukti bahwa sistem pendidikan kita membutuhkan ruh yang lebih kuat. Di sinilah konsep kurikulum cinta menemukan relevansinya yakni pendidikan yang ditopang oleh kasih sayang, nilai kemanusiaan, dan orientasi maqashid Al syariah.


Maqashid al-syari‘ah atau tujuan-tujuan agung syariat, seperti Hifz al-din (menjaga agama), Hifz al-nafs (menjaga jiwa), Hifz al-‘aql (menjaga akal), Hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan Hifz al-mal (menjaga harta), merupakan kerangka normatif yang dapat menjiwai kurikulum pendidikan Islam. Dalam konteks kurikulum cinta, maqashid bukan hanya menjadi teori abstrak, tetapi harus terimplementasi dalam cara guru menyapa murid, cara sekolah menangani konflik, serta dalam setiap kebijakan dan pembelajaran yang menghidupkan nilai-nilai welas asih.


Sebagaimana kaidah fikih menyatakan, “al-amru idza dhaqa ittasa‘a" (jika suatu perkara menjadi sempit, maka diluaskan), maka kurikulum cinta hadir sebagai bentuk perluasan ruh pendidikan yang selama ini tereduksi oleh penekanan pada kognisi semata. Ia bukan pengganti istilah, bukan sekadar slogan manis, tetapi fondasi untuk menghadirkan pendidikan yang membentuk manusia seutuhnya—akalnya tercerahkan, hatinya hidup, dan tindakannya rahmah.


Lebih jauh, kurikulum cinta selaras dengan kaidah “al-dhararu yuzal” (segala bentuk bahaya harus dihilangkan). Ketika sistem pendidikan yang keras dan kompetitif melahirkan ketimpangan, tekanan psikologis, bahkan kekerasan simbolik, maka menghadirkan cinta adalah bentuk nyata penghilangan mudarat. Cinta dalam pendidikan bukan kelembekan, melainkan strategi keberpihakan pada kemanusiaan dan tumbuh kembang sehat anak didik.


Kurikulum cinta menolak menjadi proyek pergantian istilah belaka. Ia bukan “branding baru” dari kurikulum lama. Ia adalah kurikulum hayy (kurikulum yang hidup). Sebagaimana kaidah: “al-umur bi maqashidiha” (segala sesuatu tergantung pada tujuannya), maka tujuan dari pendidikan bukan hanya mencetak individu pintar, tetapi pribadi yang utuh, welas asih, dan mampu hidup berdampingan dalam masyarakat majemuk.


Dalam praktiknya, kurikulum cinta harus hadir dalam struktur dan kultur. Ia menuntut pengarusutamaan nilai-nilai kasih, penghargaan atas keberagaman, empati dalam evaluasi, dan relasi guru-murid yang manusiawi. Ia memihak pada Hifz al-nafs dan Hifz al-‘aql dengan menghapus praktik yang merusak kesehatan jiwa dan akal. Ia menanamkan hifz al-din yang inklusif, menumbuhkan spiritualitas yang ramah dan tidak menakut-nakuti.


Dengan demikian, kurikulum cinta bukan utopia. Ia adalah keniscayaan di tengah krisis pendidikan yang kehilangan arah. Menghidupkan kembali pendidikan sebagai jalan cinta sebagaimana misi Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin adalah ikhtiar kita bersama. Kurikulum cinta adalah panggilan hati untuk menyusun kembali bangunan pendidikan kita dengan cinta sebagai fondasi dan maqashd sebagai kompasnya.


Kurikulum Cinta: Ikhtiar Pendidikan Berbasis Maqashid al-syariah
Suhartina 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip