Dalam berbagai wacana pembangunan, perbincangan kerap didominasi oleh indikator-indikator kuantitatif seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), atau ekspansi infrastruktur. Meski penting, pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek afektif dan moral yang justru menopang keberlangsungan kehidupan sosial. Salah satu aspek yang jarang disentuh namun sangat mendasar adalah cinta sebuah nilai universal yang mampu membentuk relasi sosial yang sehat, empatik, dan adil.
Tulisan ini mencoba mengangkat kembali pentingnya cinta sebagai unsur pendidikan sosial melalui konsep kurikulum cinta sebagaimana gagasan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Cinta tidak dipahami sebagai perasaan privat semata, tetapi sebagai prinsip sosial, etika publik, dan kesadaran politik dalam mendidik warga Negara. Hal ini mendapat landasan sosiologis dari pemikiran Emile Durkheim mengenai solidaritas sosial dan pedagogis dari Paulo Freire yang menekankan cinta sebagai inti dari pendidikan pembebasan.
Dalam The Division of Labour in Society (1984), Emile Durkheim memperkenalkan konsep solidaritas sebagai fondasi integrasi sosial. Ia membedakan antara solidaritas mekanik yang tumbuh dalam masyarakat homogen dan solidaritas organik yang muncul dari diferensiasi peran dan saling ketergantungan dalam masyarakat modern. Kurikulum cinta, sebagai pendidikan nilai kemanusiaan, merupakan perwujudan dari solidaritas organik, karena menumbuhkan kesadaran kolektif di tengah keberagaman dan kompleksitas sosial.
Sementara Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menyatakan bahwa cinta adalah fondasi dari dialog dan proses pendidikan yang membebaskan. Pendidikan bukanlah proses menjejalkan pengetahuan, tetapi ruang dialog yang setara antara guru dan murid. Dalam kerangka ini, cinta menjadi kekuatan transformatif yang memanusiakan, menghapus relasi kuasa yang menindas, dan membentuk subjek yang sadar akan realitas sosialnya.
Cinta sebagai nilai sosial memiliki peran besar dalam membentuk kesadaran kolektif. Dalam masyarakat yang didominasi oleh individualisme dan persaingan, nilai cinta seperti empati, saling percaya, dan solidaritas justru menjadi semakin urgen. Kurikulum cinta dapat menjadi jalan untuk mengembalikan dimensi moral dalam pembangunan, terutama dalam dunia pendidikan, pemerintahan, dan kehidupan sosial warga.
Masyarakat modern membutuhkan nilai perekat yang tidak lagi hanya berasal dari kesamaan, melainkan dari pengakuan terhadap perbedaan dan tanggung jawab sosial. Kurikulum cinta, dalam hal ini, dapat mendorong kohesi sosial melalui internalisasi nilai-nilai tersebut dalam sistem pendidikan dan interaksi sosial. Freire menekankan bahwa cinta bukan hanya elemen emosional, tetapi tindakan politis. Ia menyatakan, “Dialog tidak bisa terjadi tanpa cinta.” Pendidikan yang berlandaskan cinta akan membentuk relasi setara dan mendorong peserta didik untuk memahami ketidakadilan di sekitarnya. Dalam konteks pembangunan, hal ini berarti membentuk warga Negara yang sadar, reflektif, dan terlibat dalam proses demokratis.
Kurikulum cinta dapat diterapkan dalam berbagai aspek seperti pembelajaran berbasis empati, pendidikan karakter yang kritis, hingga pelatihan kepemimpinan yang menekankan integritas dan keadilan. Dalam praktik sosial, ia dapat menjadi basis kebijakan yang inklusif dan etis. Tanpa cinta, pembangunan dapat kehilangan arah moral. Ia menjadi proyek teknokratis yang menjauh dari kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat. Pembangunan yang tidak dilandasi cinta rawan menciptakan ketimpangan, ketidakadilan, dan alienasi sosial. Sebaliknya, pembangunan yang didasarkan pada kurikulum cinta menempatkan manusia sebagai subjek utama, bukan objek pembangunan. Ia mendorong praktik pembangunan yang partisipatif, etis, dan berkelanjutan.
Kurikulum cinta bukanlah utopia sentimental, tetapi kebutuhan mendesak dalam pembangunan masyarakat yang beradab. Ia berakar pada kesadaran bahwa pembangunan sejati harus memanusiakan, bukan sekadar membangun. Dengan menggabungkan perspektif sosiologi Durkheim dan pedagogi Freire, kita menemukan bahwa cinta adalah kekuatan sosial sekaligus praksis pendidikan yang mampu menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.