Publik dikejutkan dengan program baru dari Kementerian Agama Republik Indonesia yang diberi nama Kurikulum Cinta. Di tengah berbagai persoalan serius dalam dunia pendidikan, seperti rendahnya kemampuan literasi dan tingginya kekerasan di lingkungan sekolah, kemunculan istilah “cinta” dalam kebijakan pendidikan menimbulkan beragam reaksi. Sebagian menyambutnya sebagai angin segar, namun tidak sedikit yang sinis, menyebutnya jargon normatif tanpa pijakan konkret.
Namun terlepas dari kontroversinya, gagasan dasarnya memang menarik: membangun generasi yang lebih empatik, penuh kasih, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum ini tidak dimaksudkan sebagai mata pelajaran baru, melainkan pendekatan nilai yang ditanamkan dalam pembelajaran agama dan karakter. Dalam konteks ini, program tersebut sejalan dengan semangat moderasi beragama dan penguatan pendidikan karakter yang telah lama digaungkan.
Akan tetapi, di balik niat baik tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: apa posisi hukum Kurikulum Cinta dalam kerangka pemerintahan daerah? Apakah pemerintah daerah punya kewenangan untuk mengimplementasikan, menyesuaikan, atau bahkan menolak kebijakan semacam ini? Dan sejauh mana pemerintah daerah boleh “bermain” di ranah nilai yang sangat personal seperti cinta?
Pendidikan dan Otonomi Daerah
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pendidikan merupakan urusan wajib pelayanan dasar yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah. Dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat menetapkan kebijakan dan standar nasional pendidikan, sementara pemerintah daerah bertugas mengelola, mengembangkan, dan mengimplementasikan kebijakan tersebut di tingkat lokal.
Artinya, daerah tidak sepenuhnya pasif. Mereka diberi ruang untuk berinovasi dan menyesuaikan pendekatan pendidikan sesuai konteks sosial-budaya lokal. Namun, semua itu tetap berada dalam bingkai peraturan yang lebih tinggi: konstitusi, UU Sistem Pendidikan Nasional, serta prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dalam konteks Kurikulum Cinta yang digagas Kementerian Agama, tantangannya adalah pada substansi nilai yang ingin dibawa: apakah nilai-nilai ini cukup universal untuk diterapkan di seluruh daerah, atau justru berisiko menjadi alat moralitas tunggal? Karena cinta, seperti kita tahu, adalah konsep yang luas, cair, dan sangat kontekstual.
Cinta yang Diatur Negara
Mengatur cinta lewat kebijakan publik bukan hal baru. Negara, dari waktu ke waktu, selalu berusaha membentuk warga negara yang “baik” melalui pendidikan, agama, hingga hukum. Tapi ketika cinta dijadikan kurikulum, maka negara sedang berupaya menjangkau wilayah rasa yang biasanya sangat pribadi.
Tentu saja, nilai cinta dalam arti empati, solidaritas, dan kasih sayang adalah hal yang penting dalam pendidikan. Namun begitu nilai itu dimasukkan ke dalam sistem formal, muncul pertanyaan: siapa yang mendefinisikan cinta? Cinta seperti apa yang diajarkan? Dan kepada siapa cinta itu diarahkan?
Di sinilah letak tantangan utama ketika pemerintah daerah ingin mengimplementasikan Kurikulum Cinta. Jika ditafsirkan terlalu sempit, misalnya hanya dalam konteks cinta antar lawan jenis, atau cinta sebagai kepatuhan kepada otoritas agama tertentu, maka kurikulum ini bisa berubah arah menjadi alat kontrol moral, bahkan diskriminasi terselubung.
Beberapa kasus di masa lalu bisa menjadi cermin. Pernah ada pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah bernuansa moral, seperti jam malam bagi perempuan, larangan berbusana tertentu, atau razia pasangan muda-mudi. Jika Kurikulum Cinta jatuh ke tangan daerah yang memahami cinta sebagai doktrin normatif, maka risikonya adalah penyeragaman nilai dan pengekangan ekspresi.
Kewenangan dan Kehati-hatian
Sebagai entitas otonom, pemerintah daerah memiliki ruang untuk mengembangkan pendekatan pendidikan lokal, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menghormati prinsip non-diskriminasi, inklusivitas, dan pluralisme. Dalam konteks Kurikulum Cinta, pendekatan bottom-up sangat dibutuhkan: daerah harus membangun ruang diskusi yang melibatkan guru, tokoh masyarakat, dan pelajar sendiri.
Kehati-hatian sangat diperlukan. Jangan sampai program ini menjadi tameng baru bagi konservatisme yang sempit. Jangan pula dimaknai sebagai bentuk intervensi negara ke dalam ranah afeksi warga negaranya. Pemerintah daerah perlu bertanya: apakah pendekatan yang dipilih akan menumbuhkan cinta sebagai kesadaran, atau justru memaksakan cinta sebagai kewajiban moral?
Mendidik dengan Cinta, Bukan Mengatur Cinta
Kurikulum Cinta adalah eksperimen kebijakan yang berani. Ia hadir di tengah krisis empati dan tingginya polarisasi sosial. Tapi agar ia tak berhenti sebagai jargon indah, pemerintah "baik pusat maupun daerah" harus menempatkannya secara proporsional dalam kerangka hukum dan tata kelola pemerintahan.
Cinta tidak bisa diukur dengan indikator kognitif. Ia bukan sesuatu yang bisa diajarkan dengan buku teks, melainkan ditanamkan melalui keteladanan, relasi yang sehat, dan sistem yang adil. Dalam konteks inilah, cinta seharusnya menjadi ruh pendidikan, bukan sekadar label kebijakan.
Dan tugas daerah bukanlah untuk mengatur siapa yang harus dicintai, tetapi menciptakan ruang belajar yang aman, adil, dan inklusif, agar cinta tumbuh dengan sendirinya.