Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. 1447 H/ 2025 M di Masjid Al-Wasilah IAIN Parepare tahun ini terasa begitu istimewa. Bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum spiritual yang menggetarkan hati. Lantunan doa dalam istigasah kebangsaan yang dirangkaikan dengan Peringatan Maulid menciptakan suasana yang begitu khidmat. Seolah langit dan bumi bersatu dalam satu suara: doa, harapan, dan cinta. Hati setiap yang hadir diliputi kesejukan, cahaya, dan rindu yang mendalam kepada junjungan mulia, Rasulullah saw.
Lebih dari sekadar memperingati kelahiran Nabi, Maulid di Masjid Al-Wasilah menjelma menjadi ruang kebudayaan—di mana sastra Islam tradisional kembali menemukan tempatnya. Salah satu elemen yang tak terpisahkan dalam perayaan ini adalah pembacaan Barzanji. Tanpa alunannya, Maulid seolah kehilangan ruh. Barzanji bukan hanya sekadar teks klasik yang menggambarkan perjalanan hidup Nabi; ia adalah persembahan cinta dalam bentuk prosa, puisi, dan do’a: lantunan rindu yang membalut sejarah dengan keindahan bahasa.
Dalam tradisi Barzanji, diawali dengan pembacaan Surah al-Fatihah, selanjutnya mengajak hadirin berselawat seraya membaca:
اَلْجَنَّةُ وَنَعِيْمُهَا سَعْدٌ لِمَنْ يُصَلِّي وَيُسَلِّمُ وَيُبَارِكُ عَلَيْه
“Surga dan segala kenikmatannya adalah kebahagiaan bagi orang yang bershalawat, mendoakan keselamatan, dan keberkahan kepadanya (Nabi Muhammad SAW).”
Terjemahan Bugis: Naiyya surugaE nasibawai pappEnyamenna upe'paha napunnai tau massalawa'E nennia tau mappasalama'E enrengngE tau mappabbarakka'E masse' ri nabitta Muhammad saw.
Setiap kali berpindah dari satu bab ke bab berikutnya, dibacakan doa penutup berikut:
عَطِّرِ اللهم قَبْرَهُ الكَرِيْم، بِعَرْفٍ شَذيٍ مِنْ صَلَاةٍ وَتَسْلِيمٍ، اَللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْه
“Ya Allah, harumkan kubur beliau yang mulia dengan wewangian shalawat dan salam. Ya Allah, limpahkan shalawat, salam, dan keberkahan kepadanya.”
Terjemahan Bugis: Eee… Puang, bau-bauwang laloi kubburu’ malebbi’na pangngulukkeng Muhammad saw., nasaba bau-bauwang maserro wangiE mompoE polE ri pammasEta nennia pappasalama’ta Puang.
Dalam tradisi Muslim Nusantara, khususnya masyarakat Bugis, Barzanji dilantunkan bukan semata ritual, melainkan sebagai bentuk ekspresi mahabbah, cinta yang tulus kepada Rasulullah saw. Melalui syair dan seni pertunjukan lisan, ia menjelma menjadi jembatan antara teks dan rasa, antara agama dan budaya. Nilai estetika yang dikandungnya menjadikannya tidak hanya sebagai dokumen keagamaan, tetapi juga warisan budaya yang patut dijaga dan diwariskan lintas generasi.
Kitab Maulid al-Barzanji, yang memiliki nama lengkap ‘Iqd al-Jauhar fī Maulid an-Nabiyyil Azhar, ditulis oleh Syekh Sayyid Zainal ‘Abidin Ja‘far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Husaini al-Barzanji. Karya ini tidak hanya menarasikan kelahiran, silsilah, serta sifat-sifat mulia Rasulullah, tetapi menyampaikannya dengan diksi yang indah, sarat metafora, dan penuh irama. Inilah kekuatan sastra Islam klasik: mampu menyentuh hati bukan hanya melalui makna, tetapi juga melalui keindahan bahasa.
Salah satu bait yang kerap dilantunkan saat mahallul qiyam (saat berdiri) ialah:
Asyraqal badru ‘alaina, fakhtafat minhul buduru
mitsla husnik ma ra-aina _qatthu ya wajhas-sururi
"Bulan purnama telah terbit menyinari kami, pudarlah purnama-purnama lainnya. Belum pernah kami melihat keelokan sepertimu, wahai engkau yang berwajah penuh kegembiraan."
Bait ini menggunakan gaya bahasa kiasan yang menawan. Rasulullah digambarkan laksana purnama yang bersinar begitu terang, sehingga keindahan lain pun tampak sirna di hadapannya. Metafora yang digunakan tidak hanya menggambarkan keelokan rupa, tetapi juga ketinggian akhlak dan kemuliaan budi pekerti beliau.
Anta syamsun anta badrun, anta nûrun fauqa nûrin anta iksīrun wa ghālī, _anta mishbāhus shudūri
"Engkau laksana matahari, engkau pula seperti purnama; engkau cahaya di atas cahaya. Engkau bagaikan emas murni yang mahal harganya, engkaulah pelita hati."
Melalui bait ini, Rasulullah saw. digambarkan sebagai sumber cahaya dan kehidupan. Sebagai nūrun fauqa nūrin: cahaya di atas cahaya, beliau menjadi penerang hati yang gelap, penyembuh luka batin, dan penuntun spiritual umat manusia. Bahasa metaforis dalam Barzanji bukan sekadar ornamen sastra, tetapi juga wahana penanaman nilai: cinta (mahabbah), kerendahan hati (tawadhu‘), dan keteladanan (uswah hasanah).
Qaafiyah (Rima) dalam Barzanji pun menghadirkan keindahan tersendiri. Bait-baitnya tersusun ritmis, menjadikannya mudah dihafal dan dilantunkan bersama. Salah satu yang paling menggugah adalah:
Yā habībi yā Muhammad, _yā ‘arūsal khāfiqayni yā mu’ayyad yā mumajjad, _yā imāmal qiblatayni
"Wahai Kekasih, wahai Muhammad, wahai pengantin dua belahan dunia. Wahai yang dikuatkan dan dimuliakan, wahai Imam dua kiblat."
Pengulangan kata “ Yā …” menyiratkan seruan hati yang dalam, seakan para hadirin tengah memanggil Rasulullah dengan penuh cinta dan harap.
Di Masjid Al-Wasilah malam itu, bait ini mengalun lembut, membelah hening, dan menggugah jiwa. Setiap kata yang dilantunkan membawa hadirin hanyut dalam lautan rindu yang tak bertepi. Dari sinilah kita melihat bahwa keindahan bahasa dan kekuatan makna dalam Barzanji tak pernah pudar ditelan zaman. Justru melalui lantunannya, nilai-nilai spiritual dan budaya menemukan bentuk paling autentik di tengah dunia yang kian modern.
Di tengah arus modernisasi, barzanji kerap dianggap sekadar warisan masa lalu yang perlahan kehilangan gaung. Namun, perayaan Maulid di Masjid Al-Wasilah membantah anggapan itu. Barzanji membuktikan dirinya bukan hanya relevan, tetapi juga penting sebagai jembatan antar generasi—menghubungkan nilai, rasa, dan identitas. Barzanji menghadirkan wajah Islam yang penuh kelembutan, kasih sayang, dan keindahan dalam bentuk yang paling membumi dan menyentuh hati.
Usai lantunan Barzanji bergema, suasana masjid terasa berbeda. Hati para jamaah luluh oleh getaran cinta yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Bait-bait pujian yang disenandungkan bukan sekadar untaian kata, melainkan pancaran makna yang dalam. Dalam balutan majaz, kinayah, dan tasybih, Barzanji tidak hanya menuturkan kisah hidup Nabi, tetapi juga menanamkan nilai hidup melalui kelembutan bahasa yang menggugah kesadaran batin.
Maulid dan barzanji bukan sekadar perayaan, bukan pula bacaan kosong yang berulang dari tahun ke tahun. Barzanji adalah warisan sastra dan spiritualitas yang menyatukan teologi, seni, dan budaya. Dalam setiap baitnya, kita tidak hanya menemukan kisah Nabi, tetapi juga perayaan atas bahasa, cinta, dan makna kehidupan.