Skip ke Konten

Maulid dan Ejaan yang Terabaikan

Suhartina (Dosen MK Bahasa Indonesia)
6 September 2025 oleh
Maulid dan Ejaan yang Terabaikan
Suhartina

Maulid selalu dirayakan dengan gegap gempita: doa, selawat, dan zikir menggema di panggung maupun spanduk yang menghiasi kampus. Namun, di balik meriahnya perayaan, ada hal kecil yang kerap luput: cara kita menuliskan istilah-istilah agama dengan benar. Wajah kampus, sebagai simbol pendidikan dan kebudayaan, seharusnya juga mencerminkan ketelitian bahasa, sebab akademisinya selalu dianggap panutan oleh masyarakat.

Coba perhatikan, berapa banyak yang masih menulis “SAW” untuk ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam? Padahal, kaidah bahasa Indonesia sudah menegaskan bentuk bakunya adalah saw. Begitu juga dengan istilah lain, zikir, selawat, masjid, insyaallah, amin, salat, wudu, dan musalah yang sering kita tulis salah, seolah tak penting. Padahal, ini bukan soal selera, tetapi soal ketaatan pada aturan bahasa.

Di sinilah muncul tanggapan klise: “Yang penting maknanya tidak berubah.” Dari orang awam, barangkali masih bisa dimaklumi. Namun, bila keluar dari kalangan akademisi, justru menjadi tanda masalah sebab akademisi dituntut menjaga ketelitian, bahkan dalam hal kecil seperti ejaan. Ada pula yang berkilah: “Tulisan bahasa Arabnya memang begitu.” Betul, dalam aksara Arab berbeda. Ketika sudah diserap ke bahasa Indonesia, penulisan harus mengikuti kaidah KBBI, bukan sekadar meniru gaya Arab.

Perlu ditegaskan: saya bukannya memaksa orang untuk tidak menggunakan bahasa Arab atau bahasa asing lainnya. Silakan! Bahasa asing memang penting untuk dikuasai, tapi bukan dicampuradukkan secara keliru dengan kaidah bahasa Indonesia. Menggabungkan tanpa aturan hanya akan menimbulkan salah paham dan mengaburkan makna.

Abai pada detail bahasa hanya akan melanggengkan kekeliruan. Lihat saja kata "silakan" yang masih sering ditulis silahkan; terbiasa salah, dianggap benar. Jadinya latah, dipakai terus meski keliru.

Di era mesin cerdas, masalah justru bertambah. Banyak orang, termasuk akademisi, lebih percaya hasil mesin ketik otomatis ketimbang rujukan resmi. Saya pernah mendengar komentar:

“Di ChatGPT penulisannya memang SAW.”

Padahal, mesin bisa keliru; manusialah yang harus memeriksa. Coba lihat, teks buatan AI kerap menaruh konjungsi seperti “dan”, “sedangkan”, atau “tetapi” di awal kalimat kebiasaan yang kurang tepat untuk tulisan ilmiah atau formal (padahal kita semua tahu ketiganya adalah konjungsi dalam kalimat, sehingga tidak tepat ditulis di awal). 

Masalah serupa terjadi pada akronim. Banyak yang menulis “WITA” padahal menurut EYD Jilid V, bentuk yang benar adalah Wita. Akronim yang merupakan gabungan huruf dan suku kata hanya kapital di huruf awal. Jika kampus dan dokumen resmi saja keliru, bagaimana publik bisa percaya pada kualitas akademiknya?

Yang lebih lucu lagi, suatu hari rekan saya, entah bercanda atau serius, berkata

“Kamu itu seperti salafi bahasa.”

Mhhh… saya hanya tersenyum mendengarnya. Ironis, ketika ada yang menyampaikan kebenaran, justru sering ditanggapi dengan sinis atau ditolak. Justru, kritik kecil soal bahasa dapat menjadi cermin ketelitian dan kesungguhan kita dalam menghormati makna. Dalam hal ini, sabda Nabi sangat relevan: “Berkatalah yang benar, walau pahit.” (H.R. Ahmad).

Bahasa adalah bagian dari amanah. Menjaga ketepatan bahasa bukan hanya urusan teknis, melainkan tanggung jawab ilmiah sekaligus moral. Disadari atau tidak, salah tulis bisa melahirkan salah paham, bahkan menyesatkan. 

Di sinilah letak pentingnya Maulid: bukan hanya dirayakan dengan keramaian, melainkan juga dimaknai dengan keteladanan Nabi dalam hal ketelitian, bahkan pada perkara sederhana seperti bahasa. Merawat bahasa berarti merawat makna, itulah substansi Maulid yang sejati.

di dalam Opini
Maulid dan Ejaan yang Terabaikan
Suhartina 6 September 2025
Share post ini
Label
Arsip