Setiap tahun, umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Di Indonesia, perayaan ini telah menjadi bagian dari tradisi keagamaan dan kebudayaan yang mengakar kuat. Dari masjid, pesantren, lembaga pendidikan, hingga instansi pemerintah, Maulid dirayakan dengan beragam bentuk, mulai dari pembacaan selawat, ceramah agama, hingga festival budaya. Namun, pertanyaan yang patut diajukan adalah: apakah perayaan tersebut benar-benar menghadirkan substansi kecintaan kepada Nabi saw., atau sekadar berhenti pada seremoni belaka?
Dalam perspektif hadis kontemporer, Maulidurrasulullah saw. memiliki relevansi erat dengan hadis-hadis yang menekankan pentingnya mahabbah (cinta) kepada Rasulullah. Maulid dapat dimaknai lebih dari sekadar peringatan kelahiran Nabi, melainkan momentum untuk meneguhkan kecintaan kepada beliau yang pada gilirannya harus diwujudkan dalam pengamalan akhlak dan sunnah Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Mahabbah kepada Nabi sebagai Syarat Kesempurnaan Iman
Landasan utama perayaan Maulid terletak pada kewajiban mencintai Nabi saw., sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Āli ‘Imrān/3:31):
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (Muhammad): Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.”
Hadis sahih juga menegaskan:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (رواه البخاري)
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
Dengan demikian, mahabbah kepada Nabi bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan fondasi iman yang kokoh. Maulid sejatinya adalah ruang ekspresi cinta itu, yang diposisikan dalam kerangka penguatan iman, bukan sekadar perayaan tahunan.
Hadis tentang Kelahiran Nabi sebagai Landasan Syukur
Sebagian pihak mempertanyakan legitimasi Maulid Nabi karena tidak ditemukan secara eksplisit pada masa Rasulullah saw. Namun, terdapat hadis penting yang dapat dijadikan dasar:
Ketika ditanya alasan beliau berpuasa pada hari Senin, Rasulullah saw. menjawab:
“Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.” (H.R. Muslim, dari riwayat Abu Qatadah al-Anshary).
Hadis ini menunjukkan bahwa mengenang hari kelahiran Nabi dengan ibadah merupakan bentuk syukur. Maka, perayaan Maulid dapat ditempatkan sebagai wujud syukur kolektif umat Islam atas lahirnya sosok yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Dalam perspektif ilmu hadis kontemporer, hadis ini dapat dipahami sebagai legitimasi moral bagi tradisi keagamaan yang menumbuhkan cinta dan syukur kepada Rasulullah, meskipun bentuk peringatannya berbeda dengan praktik pada awal Islam.
Menghindari Seremonial, Menghidupkan Sunnah
Realitas kontemporer memperlihatkan bahwa Maulid di banyak tempat cenderung berhenti pada seremoni: pesta, arak-arakan, bahkan bercampur dengan hal-hal yang kurang relevan dengan spirit Islam. Padahal Rasulullah saw. menekankan bahwa cinta kepada beliau harus diwujudkan dengan menghidupkan sunnahnya.
Beliau bersabda:
“Barang siapa menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia mencintaiku. Dan barang siapa mencintaiku, maka ia bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menegaskan bahwa cinta sejati diwujudkan dalam praktik hidup. Dengan demikian, Maulid seharusnya tidak hanya menjadi ajang nostalgia sejarah, tetapi momentum untuk menghidupkan akhlak Nabi: kejujuran, kasih sayang, kepedulian sosial, dan keteguhan moral.
Empat Sifat Nabi sebagai Inspirasi Kepemimpinan
Keteladanan Nabi Muhammad saw. tidak hanya tampak dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam kepemimpinan beliau. Maulid menjadi momentum untuk mengingat kembali empat sifat utama Nabi:
- Ṣidq (jujur) – sejak muda, beliau dikenal dengan gelar al-Amīn.
- Amānah (dapat dipercaya) – beliau selalu menunaikan amanah umat.
- Tablīgh (menyampaikan) – beliau menyampaikan ajaran Islam dengan jelas dan terbuka.
- Fatānah (cerdas) – beliau cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual; mampu menyelesaikan persoalan kompleks dengan bijaksana.
Sifat-sifat ini sejalan dengan sabda Nabi: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud). Artinya, kepemimpinan yang benar menuntut kejujuran, tanggung jawab, transparansi, dan kecerdasan.
Dalam konteks kekinian, pemimpin ideal adalah mereka yang:
- Merasakan penderitaan rakyat dan mencari solusi, bukan sekadar memberi janji.
- Menjunjung empati serta kesejahteraan bersama, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
- Mengedepankan sikap santun, rendah hati, dan mengayomi, bukan menebar rasa takut.
- Mendasarkan kebijakan pada kasih sayang dan cinta, bukan pada kebencian atau kepentingan politik semata.
Relevansi Maulid di Era Kontemporer: Pendidikan Karakter dan Solidaritas Sosial
Di tengah krisis moral dan tantangan global, Maulid Nabi dapat diaktualkan sebagai sarana pendidikan karakter dan solidaritas sosial. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa cinta Nabi harus melahirkan cinta kepada sesama. Semangat ini dapat diwujudkan melalui kegiatan Maulid yang berorientasi sosial: santunan anak yatim, bantuan bagi kaum dhuafa, atau program literasi akhlak untuk generasi muda.
Dengan demikian, Maulid tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menghadirkan solusi kekinian. Ia memperkuat ukhuwah, menumbuhkan solidaritas, dan menginternalisasi nilai-nilai profetik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari Ritualitas ke Aktualisasi
Maulid Rasulullah saw. adalah tradisi yang memiliki legitimasi kuat dalam semangat syariat, meski bentuk perayaannya tidak diwariskan secara tekstual oleh Nabi. Hadis-hadis tentang mahabbah dan syukur atas kelahiran beliau menjadi dasar normatif bagi Maulid sebagai ekspresi cinta umat kepada Rasulullah saw.
Tantangan kita saat ini adalah menggeser Maulid dari seremoni menuju substansi: dari sekadar pesta menuju pendidikan akhlak, dari nostalgia sejarah menuju penguatan karakter bangsa, dan dari ritual menuju aktualisasi sunnah Nabi.
Jika Maulid dipahami dan dipraktikkan dengan semangat demikian, maka ia tidak hanya menjadi perayaan tahunan, tetapi juga motor spiritual dan moral bagi umat Islam untuk terus meneladani Rasulullah saw. sebagai uswah hasanah sepanjang zaman.