Setiap kali bulan Rabiul Awal tiba, umat Islam di berbagai penjuru dunia kembali memperingati kelahiran manusia mulia, Nabi Muhammad saw. Di Indonesia, perayaan ini berlangsung meriah: lantunan shalawat menggema, aneka makanan dibagikan, hingga tausiyah digelar semalam suntuk. Namun di balik kemeriahan itu, pertanyaan penting perlu kita ajukan: apakah kita hanya merayakan, atau juga merenungkan?
Tradisi Maulid di tanah air memang kaya warna. Berbagai budaya lokal memperindahnya, dari kirab, rebana, hingga pembacaan Barzanji. Tetapi jika tidak diiringi kesadaran, perayaan itu mudah terjebak dalam rutinitas tanpa makna. Maulid hanya menjadi pesta lahiriah, bukan ruang batiniah untuk mendekat kepada Allah melalui teladan Nabi.
Padahal, hakikat Maulid bukan pada acaranya, melainkan pada pesannya. Bukan pada banyaknya undangan, melainkan pada sejauh mana kita meneladani beliau. Nabi Muhammad saw. lahir bukan sekadar untuk dikenang, tetapi untuk diikuti. Karena itu, Maulid mestinya menjadi momentum muhasabah: sejauh mana kita menempatkan Rasulullah sebagai teladan utama dalam hidup sehari-hari?
Krisis keteladanan yang melanda hari ini, saat kejujuran langka, empati menipis, dan adab terkikis, semestinya menyadarkan kita akan pentingnya meneladani Nabi. Beliau bukan hanya Rasul, tetapi juga suami, ayah, pemimpin, sahabat, sekaligus tetangga yang penuh kasih. Jika Maulid tidak menggerakkan kita untuk meniru akhlaknya, berarti kita hanya berhenti pada kulit, bukan isi.
Cinta kepada Nabi juga bukan sekadar hadir di acara, mendengar ceramah, lalu pulang. Cinta itu harus tampak dalam sikap dan perbuatan: lembut dalam ucapan, adil dalam keputusan, jujur dalam muamalah, sabar dalam ujian, dan tegas dalam membela kebenaran.
Maulid adalah kesempatan untuk muhasabah pribadi maupun kolektif. Pada tingkat individu, pertanyaannya sederhana: sudahkah saya menjadikan Rasulullah sebagai panutan utama? Sudahkah shalawat yang saya lantunkan tercermin dalam perilaku saya? Pada tingkat masyarakat, pertanyaannya: sudahkah kita menanamkan cinta Nabi dalam pendidikan anak-anak kita? Sudahkah lembaga dan pemerintahan kita mencerminkan nilai-nilai kenabian dalam pelayanan kepada rakyat?
Jika Maulid berlalu tanpa mengubah perilaku kita, lalu apa maknanya semua perayaan itu?
Maulid bukan sekadar pesta religi tahunan. Ia adalah momentum suci untuk menghidupkan kembali spirit kenabian dalam diri kita. Mari geser fokus Maulid dari seremoni meriah menjadi momen muhasabah yang mendalam. Karena mencintai Nabi tidak cukup dengan menghadiri acaranya, tetapi dengan meneladani ajarannya.
Tahun ini, mari kita jadikan Maulid bukan hanya ramai di luar, tetapi juga merasuk ke dalam. Jadikan ia sebagai cermin untuk menilai siapa diri kita, dan seberapa jauh kita meneladani pribadi agung yang kelahirannya kita peringati.