Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam telah menggagas Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai fondasi baru dalam menanamkan karakter dan nilai-nilai spiritual bagi generasi Indonesia. Kurikulum ini bukan sekadar jargon, tetapi sebuah panggilan moral, menempatkan cinta sebagai inti dari proses pendidikan. Di tengah derasnya arus digital, menurunnya kepekaan sosial, dan krisis empati yang kian nyata, Kurikulum Cinta hadir untuk menghangatkan ruang-ruang belajar yang mulai dingin secara emosional.
Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah, KBC membuka cakrawala baru. Bahasa tidak lagi hanya diposisikan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai jendela untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan dan budaya. Mengajarkan bahasa dengan pendekatan cinta berarti menghidupkan pembelajaran yang humanis, yang tak hanya bicara soal grammar dan vocabulary, tetapi juga tentang etika, empati, dan kebijaksanaan yang tersembunyi di balik setiap teks dan dialog.
Guru bahasa, dalam hal ini, bukan sekadar penyampai materi, tetapi fasilitator cinta. Ia menciptakan ruang belajar yang memanusiakan, bukan menghakimi; yang menginspirasi, bukan menekan. Ia tidak hanya mengajarkan cara mengucap dengan benar, tetapi juga mengajarkan kapan sebaiknya diam, bagaimana memilih diksi yang menyembuhkan, serta bagaimana menyusun kalimat yang menghindarkan luka. Bahasa, dalam bingkai cinta, menjadi media membentuk jiwa.
Pendekatan berbasis nilai juga memiliki dampak psikologis yang kuat. Ia dapat menurunkan language anxiety, kecemasan berbahasa yang kerap menjadi penghambat utama dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Ketika suasana kelas dibangun atas dasar kasih sayang dan penerimaan, siswa merasa aman secara emosional. Hal ini sejalan dengan teori Zone of Proximal Development dari Vygotsky, yang menekankan bahwa dukungan sosial memungkinkan siswa melampaui batas kemampuannya. Juga selaras dengan teori pembelajaran humanistik Carl Rogers, yang percaya bahwa hubungan yang empatik dan penuh penerimaan adalah kunci pertumbuhan peserta didik.
Bahasa adalah rumah bagi nilai. Dari diksi yang dipilih, dari tanda baca yang dipasang, dari intonasi yang ditekan, nilai-nilai kemanusiaan bisa tumbuh. Bahkan cinta bisa lahir dari koma yang memberi jeda, dari titik yang menghentikan amarah, dari kalimat majemuk yang memberi ruang bagi perbedaan pendapat. Maka, bahasa bukan hanya soal benar dan salah secara struktur, tetapi soal tepat dan bijak secara makna.
Sebagai penutup, Kurikulum Cinta dalam pembelajaran bahasa bukan hanya strategi pedagogis, melainkan investasi peradaban. Kita tak sekadar mengajarkan cara berkata, tetapi menanamkan mengapa dan untuk siapa kata itu disampaikan. Bukankah bangsa yang besar bermula dari kata-kata yang dipilih dengan cinta? Saatnya kita bertanya: apakah bahasa yang kita ajarkan masih menanamkan cinta, atau justru mengabaikannya?