Ada yang berbeda dari peluncuran kurikulum kali ini. Bukan sekadar perubahan struktur atau penambahan mata pelajaran, tapi sebuah pendekatan yang menyentuh akar terdalam pendidikan: cinta. Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang diluncurkan oleh Kementerian Agama RI pada 24 Juli 2025 bukan hanya hadir sebagai dokumen kebijakan, tapi sebagai ruh baru dalam dunia pendidikan. Ia mengajak kita semua—guru, dosen, pendidik, pembuat kebijakan, hingga orang tua—untuk kembali memaknai bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi upaya suci membentuk manusia yang utuh, berakal sehat, dan berhati bening.
Cinta dalam dunia pendidikan bukan sekadar rasa suka atau empati sesaat. Ia adalah komitmen jangka panjang untuk hadir bagi peserta didik dengan penuh kasih, sabar, dan ketulusan. Dalam Islam, cinta bukan hanya nilai moral, tetapi bagian dari etika profetik. Rasulullah ﷺ adalah pendidik sejati yang mendidik umatnya dengan cinta—tanpa kekerasan, tanpa makian, tanpa tekanan. Beliau merangkul bukan mengusir, membimbing bukan menghakimi. Maka, ketika kita berbicara tentang Kurikulum Berbasis Cinta, sejatinya kita sedang berusaha mengikuti jejak Nabi dalam mendidik umatnya secara rahmatan lil alamin.
Dalam ruang kelas, cinta tidak berhenti pada kata-kata manis atau senyuman semata. Cinta menuntut kita untuk memahami bahwa setiap anak adalah dunia yang unik. Mereka datang dengan latar belakang berbeda, ritme belajar yang berbeda, dan mimpi yang tidak selalu sama. Guru yang mengajar dengan cinta tidak akan menertawakan muridnya yang lambat paham, tidak akan marah hanya karena siswa tidak membawa buku, tidak akan mengukur nilai manusia dari angka rapor. Guru yang mencintai akan lebih banyak mendengar, lebih sabar dalam membimbing, dan lebih kreatif dalam mendidik. Ia percaya bahwa tugasnya bukan mencetak robot yang sama, melainkan membesarkan manusia dengan segala potensi dan keunikannya.
Namun, mari kita realistis. Tidak semua pendidik memiliki kemewahan ruang dan waktu untuk mengajar dengan cinta. Sistem pendidikan kita masih sering membebani guru dengan administrasi berlapis, target kelulusan yang kaku, dan tekanan dari berbagai arah. Maka, agar Kurikulum Berbasis Cinta ini tidak hanya menjadi jargon manis, kita perlu mengubah ekosistemnya. Dibutuhkan pelatihan guru yang bukan hanya fokus pada metode mengajar, tapi juga penguatan karakter dan kesehatan mental. Diperlukan sekolah yang tidak hanya berorientasi pada prestasi akademik, tetapi juga tumbuh kembang emosional siswa. Dibutuhkan sinergi antara guru, kepala sekolah, pengawas, bahkan orang tua, agar cinta benar-benar menjadi budaya, bukan hanya konsep.
Sebagai dosen, saya melihat harapan besar dari KBC, khususnya dalam mendidik calon guru masa depan. Di ruang-ruang perkuliahan, kami mengajarkan strategi pembelajaran, teori belajar, dan keterampilan mengajar. Tapi sekarang kami diingatkan kembali bahwa fondasi dari semua itu adalah cinta. Tidak ada strategi mengajar yang benar-benar berhasil tanpa keikhlasan dan kepedulian. Maka, pendidikan guru pun perlu ditata ulang, agar mahasiswa tidak hanya piawai mengajar, tapi juga dewasa secara emosional, empatik terhadap murid, dan sadar bahwa pekerjaannya kelak adalah panggilan jiwa, bukan sekadar profesi.
Mendidik dengan cinta bukan berarti memanjakan. Bukan berarti membiarkan siswa tanpa arah atau disiplin. Justru cinta sejati melahirkan tanggung jawab. Ia hadir dalam bentuk ketegasan yang penuh empati, aturan yang disertai penjelasan, dan hukuman yang tidak mematahkan, melainkan memperbaiki. Cinta menjadikan ruang kelas tempat yang aman bagi siswa untuk tumbuh, gagal, dan mencoba lagi.
Kurikulum Berbasis Cinta adalah napas baru yang sangat kita butuhkan. Di tengah krisis moral, polarisasi sosial, dan kekeringan nilai di ruang-ruang publik, pendidikan harus kembali menjadi taman yang menumbuhkan manusia yang cinta damai, peduli sesama, dan sadar akan tanggung jawab spiritualnya. Generasi Rahmatan Lil Alamin bukan lahir dari hafalan semata, tapi dari pembiasaan cinta sejak dini—cinta kepada Tuhan, cinta kepada ilmu, cinta kepada sesama manusia, dan cinta kepada alam semesta.
Kini, tanggung jawab ada di tangan kita semua. Apakah kita bersedia membuka hati untuk mengajar dengan cinta? Apakah kita siap menjadikan kurikulum ini sebagai jalan perubahan? Jika jawabannya ya, maka masa depan pendidikan Indonesia akan lebih cerah, lebih damai, dan lebih manusiawi. Karena sesungguhnya, cinta adalah inti dari segala pendidikan yang berhasil.