Skip ke Konten

Merajut Ukhuwah Membangun Cinta Lewat Kurikulum Cinta

Dr. Iskandar, M.Sos. I. (Wakil Dekan 1 Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah)
24 Juli 2025 oleh
Merajut Ukhuwah Membangun Cinta Lewat Kurikulum Cinta
Suhartina

Di tengah derasnya arus individualisme, sekat identitas, dan kepentingan yang kian mengeras, kita dihadapkan pada kenyataan: ukhuwah—persaudaraan sejati—kian memudar dari ruang sosial kita. Padahal dalam Islam, ukhuwah bukanlah relasi basa-basi. Ia adalah amanat spiritual yang mendalam: mengakui sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang layak dihormati dan dicintai. Lalu bagaimana cara menumbuhkan kembali semangat ini secara sistematis dan berkelanjutan? Di sinilah pentingnya gagasan Kurikulum Cinta yang mulai digaungkan sebagai jalan baru dalam dunia pendidikan dan pembinaan karakter.

Kurikulum Cinta bukan sekadar istilah manis. Ia adalah panduan pendidikan yang dirancang untuk menumbuhkan empati, kasih sayang, dan penghargaan terhadap sesama sejak dini. Tidak hanya untuk sekolah atau madrasah, kurikulum ini relevan di dalam keluarga, komunitas, bahkan organisasi. Dalam praktiknya, nilai-nilai cinta ini diterjemahkan ke dalam sikap: menghormati perbedaan, menghindari kekerasan, dan menjadikan dialog sebagai jalan keluar dari konflik. Cinta di sini bukan kelembutan kosong, melainkan kekuatan moral yang menumbuhkan tanggung jawab sosial.

Salah satu fondasi Kurikulum Cinta adalah pendidikan hati. Kita tidak bisa berharap membangun masyarakat damai hanya dengan menjejalkan teori dan hafalan. Hati perlu dilatih untuk jujur, sabar, dan tulus dalam berinteraksi. Pendidikan hati menumbuhkan kesadaran bahwa memaafkan bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menjaga kebersamaan. Dalam bahasa Paulo Freire, pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan manusia dari ketakutan untuk mencintai dan dicintai secara manusiawi.

Tak kalah penting adalah pendidikan sosial. Anak-anak harus dibiasakan berdialog, menyimak tanpa menghakimi, dan menyadari bahwa perbedaan adalah keniscayaan, bukan ancaman. Ketika guru mampu menciptakan ruang aman dalam kelas untuk saling mendengar, kita tidak sedang mengajarkan toleransi sebagai teori, tetapi membiasakan hidup dalam kebersamaan yang konkret. Di sinilah lahirnya rasa percaya, dasar utama dari ukhuwah.

Kurikulum Cinta juga menyentuh dimensi spiritual. Cinta kepada Allah tidak akan lengkap jika tidak dibarengi dengan cinta kepada sesama makhluk. Dari sinilah lahir kepedulian ekologis: menjaga bumi, merawat lingkungan, serta menghargai makhluk lain sebagai bagian dari sistem kasih sayang Tuhan. Spiritualitas ini memperluas cakupan ukhuwah, dari sekadar hubungan antarmanusia menjadi relasi dengan seluruh ciptaan.

Namun, membumikan Kurikulum Cinta bukan pekerjaan instan. Ia menuntut kesabaran, konsistensi, dan yang paling penting adalah keteladanan. Guru, orang tua, dan tokoh masyarakat adalah wajah nyata dari nilai-nilai yang diajarkan. Sebuah sapaan hangat, kesediaan mendengar, dan kebaikan tanpa pamrih adalah bentuk-bentuk kecil cinta yang menciptakan dampak besar dalam membentuk budaya kasih sayang.

Merajut ukhuwah melalui pendidikan cinta bukan sekadar alternatif, tetapi keniscayaan. Dalam dunia yang kerap gaduh oleh kebencian dan prasangka, nilai-nilai cinta menjadi penawar yang kita butuhkan bersama. Ketika anak-anak tumbuh dalam atmosfer penuh penghargaan dan empati, mereka tidak hanya menjadi generasi yang berpengetahuan, tetapi juga berperasaan. Inilah esensi pendidikan Islam yang memanusiakan: menjadi rahmat bagi seluruh alam.


Merajut Ukhuwah Membangun Cinta Lewat Kurikulum Cinta
Suhartina 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip