Skip ke Konten

Merawat Harmoni Lewat Kata

Dr. Sulvinajayanti, M. I. Kom. (Kepala Pusat Standar dan Akreditasi LPM IAIN Parepare)
1 September 2025 oleh
Merawat Harmoni Lewat Kata
Suhartina


Kata bisa menjadi jembatan yang memperkuat persaudaraan, atau sebaliknya, jurang yang memperlebar perbedaan.


Dalam kehidupan organisasi, perbedaan pandangan dan dinamika sosial adalah sesuatu yang wajar. Namun, yang sering kali menjadi sorotan bukan hanya substansi kebijakan, melainkan bagaimana hal itu dikomunikasikan. Publik cenderung lebih mudah mengingat cara sebuah pesan disampaikan ketimbang detail isi pesan itu sendiri. Karena itu, komunikasi publik memegang peran penting dalam menjaga keharmonisan, terutama di saat situasi sedang sensitif.


James E. Grunig, tokoh besar dalam studi Public Relations, menekankan pentingnya model komunikasi dua arah simetris. Artinya, organisasi tidak cukup hanya bicara lantang, tetapi juga perlu mendengar dengan saksama. Di sinilah letak seni komunikasi: bukan siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling peka membaca situasi dan paling tulus membangun dialog.


Dalam praktiknya, kita sering melihat pernyataan publik yang menimbulkan reaksi beragam. Ada kalanya, alih-alih menenangkan, ucapan justru menyulut gelombang kekecewaan. Teori komunikasi krisis dari W. Timothy Coombs memberi pelajaran penting: dalam kondisi sensitif, respons yang cepat memang perlu, tetapi lebih utama adalah respons yang penuh empati. Kata-kata yang humanis, mengakui keresahan audiens, dan menawarkan solusi jauh lebih efektif meredakan ketegangan daripada sekadar klarifikasi panjang.


Komunikasi publik adalah seni menyeimbangkan logika dan rasa. Data, fakta, dan regulasi memang harus hadir sebagai pijakan. Namun, tanpa sentuhan empati, pesan bisa terdengar kering, bahkan terkesan menggurui. Sebaliknya, ungkapan yang hanya mengandalkan rasa tanpa dasar logika akan dianggap basa-basi. Di sinilah reputasi organisasi dipertaruhkan: bukan semata pada isi kebijakan, tetapi pada bagaimana ia dikomunikasikan.


Masyarakat kini semakin kritis. Era digital membuat ruang publik terbuka lebar, dan setiap kata yang diucapkan akan segera dipantau, direkam, lalu dibagikan. Dalam kondisi demikian, strategi komunikasi publik harus berubah dari pola instruktif menjadi pola dialogis. Membuka ruang diskusi, melibatkan stakeholder, dan mendengarkan keluhan publik akan jauh lebih bermanfaat dibanding komunikasi satu arah yang kaku.


Komunikasi publik yang baik ibarat jembatan: menghubungkan, bukan memisahkan. Ia dibangun dengan bahan dasar transparansi, empati, dan keberanian untuk mendengar. Dengan cara ini, kepercayaan dapat dipelihara, reputasi tetap terjaga, dan harmoni sosial tidak mudah goyah.


Komunikasi publik bukan sekadar bicara, tetapi tanggung jawab moral: menjaga kata agar tidak melukai, dan memastikan pesan menjadi pengikat yang memperkuat rasa kebersamaan. Semoga setiap kata yang terucap dari para pemimpin, akademisi, maupun pejabat publik selalu menjadi energi positif untuk membangun bangsa.


Doa saya untuk Indonesia: semoga negeri ini selalu diberkahi dengan komunikasi yang menyejukkan, pemimpin yang bijak dalam berkata, serta masyarakat yang terus merawat persaudaraan di tengah perbedaan. Dengan kata yang baik, kita menjaga Indonesia tetap utuh, damai, dan maju bersama.


di dalam Opini
Merawat Harmoni Lewat Kata
Suhartina 1 September 2025
Share post ini
Label
Arsip