Skip ke Konten

Pamer: Bara Kecil yang Membakar Negeri

Dr. Muhammad Haramain, M. Sos.I. (Ketua LPPM IAIN Parepare)
1 September 2025 oleh
Pamer: Bara Kecil yang Membakar Negeri
Suhartina

"Kericuhan yang menyertai aksi demo dalam beberapa pekan terakhir merupakan gejala sosial yang berakar pada rasa ketidakadilan. Sumbernya tak lepas dari perilaku sebagian pejabat publik yang gagal menjaga marwah kesederhanaannya, lalu menjadikan kemewahan sebagai tontonan."


--


Suatu sore, saya duduk di warung kopi kecil di pinggir jalan Kota Makassar. Di meja sebelah, sekelompok sopir ojek daring sedang bercakap. Nada suara mereka tinggi, penuh gerutu soal harga bahan pokok yang terus naik. Tiba-tiba percakapan itu bergeser ke sebuah video viral, menampilkan pejabat muda yang berpose dengan mobil mewah di garasi rumahnya. Salah seorang dari mereka spontan berkata, “Pantes rakyat ngamuk, lihat saja gaya hidupnya.” Semua tertawa getir, bukan karena lucu, melainkan karena sakit hati yang terasa begitu nyata.


Adegan sederhana itu mungkin hanya potongan kecil dari ribuan obrolan serupa di berbagai sudut negeri. Namun dari sanalah kita bisa merasakan denyut kegelisahan rakyat. Demonstrasi yang marak beberapa pekan terakhir, bahkan yang berujung pada penjarahan, tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari luka sosial, dari rasa ketidakadilan yang disiram terus-menerus oleh perilaku sebagian kecil pejabat publik. Bukan karena kerja mereka, melainkan karena sikap mereka yang sibuk memamerkan kemewahan di tengah penderitaan orang banyak.


Dalam bahasa agama, sikap seperti itu disebut riyaa’, pamer agar tampak mulia di mata manusia. Kadang bercampur dengan ‘ujb, yaitu rasa kagum berlebihan pada diri sendiri, atau tafākhur, kebiasaan bermegah-megahan dengan apa yang sejatinya hanyalah titipan. Pada orang biasa, mungkin efeknya sebatas rasa jengah. Namun pada pejabat publik, dampaknya bisa jauh lebih luas. Pamer membuat rakyat kehilangan kepercayaan, melahirkan kecemburuan sosial, dan pada akhirnya memantik amarah kolektif.


Psikologi sosial memberikan kacamata yang menarik untuk membaca fenomena ini. Erving Goffman menyebut pamer sebagai bagian dari impression management, yaitu upaya membentuk citra agar dikagumi. Abraham Maslow juga menjelaskan, setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia akan mencari penghargaan. Sayangnya, kebutuhan itu kadang bergeser menjadi narsisisme. Twenge dan Campbell, dalam The Narcissism Epidemic, menunjukkan bagaimana narsisisme bisa mengikis empati, membuat seseorang merasa wajar menampilkan kemewahan di tengah penderitaan orang lain.


Dari sisi rakyat, ada perasaan yang disebut relative deprivation. Stouffer dkk pertama kali menjelaskannya pada 1949. Intinya sederhana: orang merasa dirugikan ketika membandingkan diri dengan kelompok lain yang jauh lebih beruntung. Ketidakadilan yang terlihat kasat mata melahirkan frustrasi, lalu berubah menjadi amarah sosial. Saat amarah itu tak lagi tertampung, jalanan pun menjadi panggung pelampiasan.


Islam sejak awal sudah mengingatkan bahaya riyaa’ dan hubb al-dunya. Ibn Qayyim menegaskan riyaa’ dapat menghapus nilai amal, sementara Al-Ghazali menyebutnya sebagai penyakit hati yang berakar pada cinta dunia berlebihan. Psikologi Islam memandang pamer bukan sekadar perilaku sosial, melainkan tanda kekosongan batin. Hati yang tidak terisi dzikir akan mencari pelarian melalui kemewahan yang ditampilkan. Padahal, Al-Qur’an menegaskan, “Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28).


Di titik ini, kita melihat persinggungan antara psikologi Barat dan Islam. Keduanya sepakat bahwa manusia mencari pengakuan. Bedanya, psikologi Barat berhenti pada relasi manusia, sementara psikologi Islam mengarahkan orientasi pengakuan kepada Tuhan. Maka, jika pejabat publik ingin benar-benar dihormati, jalannya bukan dengan pamer kemewahan, melainkan dengan kesederhanaan dan amanah.


Kita tentu tidak membenarkan aksi anarkis. Penjarahan bukanlah jawaban. Namun kita juga tidak bisa menutup mata terhadap sebab-musabab yang melatarinya. Masalahnya bukan semata lemahnya pengamanan, melainkan gaya hidup pamer dari sebagian elit yang kehilangan rasa malu.


Negeri ini butuh pejabat yang sederhana, bukan pejabat yang menjadikan jabatan sebagai panggung pertunjukan. Kita butuh pemimpin yang merasa cukup, bukan pemimpin yang sibuk mempertontonkan kepemilikan.


Akhirnya, kita pun harus belajar dari kegaduhan ini. Rakyat perlu menyalurkan aspirasi dengan cara yang lebih bermartabat, sedangkan pejabat perlu menata hati agar terhindar dari riyaa’. Masyarakat pun bisa ikut membangun budaya malu dengan tidak mudah mengagumi kemewahan yang ditampilkan di media sosial.


Jika semua pihak mampu menahan diri, jalan menuju perbaikan akan lebih terang. Kita memang tak bisa menghapus amarah rakyat seketika, tetapi kita bisa meredam sumber api yang menyulutnya. Itu hanya mungkin tercapai dengan kerendahan hati. 


Makassar, 30 Agustus 2025


di dalam Opini
Pamer: Bara Kecil yang Membakar Negeri
Suhartina 1 September 2025
Share post ini
Label
Arsip