Kata merdeka yang setiap tahun digaungkan pada bulan Agustus sejatinya bukan hanya simbol kemenangan atas penjajahan fisik, tetapi juga momentum uji validitas atas rasa syukur bangsa. Ukuran rasa syukur itu bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi tercermin dalam penguatan jati diri bangsa yang religius, cerdas, dan beradab. Dalam konteks kampus keagamaan seperti IAIN Parepare, rasa syukur itu mestinya tercermin pada kesungguhan civitas akademika, khususnya mahasiswa, dalam memperkuat literasi dasar keislaman, terutama baca Al-Qur’an.
Namun realitasnya, kemampuan literasi baca Al-Qur’an sebagian besar mahasiswa masih butuh perhatian khusus dan ekstra. Di tengah semangat akademik dan atmosfer religius kampus, ditemukan mahasiswa semester baru dan lama yang belum mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Kondisi ini memunculkan kegelisahan tentang makna kemerdekaan insani, yaitu kebebasan yang dibingkai oleh nilai-nilai wahyu, bukan kemerdekaan hayawani yang bebas tanpa arah. Sebab, merdeka sejati adalah kemandirian hakiki: bebas dari kebodohan, keterbelakangan spiritual, dan lemah dalam memegang nilai-nilai suci.
Sebagai bentuk ikhtiar sistemik, kampus IAIN Parepare telah menggagas program Gerakan Pembelajaran Baca Al-Qur’an (GENCAR) yang menjadi upaya strategis dalam meningkatkan kemampuan literasi Al-Qur’an mahasiswa. GENCAR dilaksanakan sejak masa awal perkuliahan dan didesain untuk menjangkau seluruh mahasiswa secara bertahap. Kampus bahkan telah menyediakan fasilitas asrama sebagai tempat pembinaan intensif kegiatan GENCAR, meskipun pelaksanaannya masih terbatas dan dirancang per gelombang karena keterbatasan kapasitas.
Meski demikian, implementasi GENCAR tidak lepas dari tantangan. Banyak mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan ini secara serius, baik karena rendahnya motivasi, benturan jadwal kegiatan, maupun lemahnya pengawasan dari pihak program studi. Tak hanya itu, perhatian orang tua terhadap pentingnya kemampuan baca Al-Qur’an anaknya juga masih minim. Kelemahan sinergi antara mahasiswa, dosen pembina, dan pihak keluarga ini menjadi kendala besar yang perlu dicarikan solusi menyeluruh.
Oleh karena itu, Poin utama yang perlu diperhatikan ialah memasukkan materi literasi Al-Qur’an secara resmi dalam rangkaian kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Hal ini penting agar sejak dini mahasiswa menyadari bahwa kemampuan baca Al-Qur’an bukan hanya kebutuhan spiritual, tapi juga identitas keilmuan mereka sebagai calon sarjana muslim. Literasi Al-Qur’an bukanlah pelengkap, melainkan pondasi awal sebelum melangkah ke disiplin ilmu manapun.
Di sisi lain, kampus juga telah menerapkan kebijakan sertifikasi baca Al-Qur’an sebagai prasyarat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Ujian Komprehensif. Kebijakan ini sangat baik, namun belum sepenuhnya diikuti dengan pembinaan yang efektif. Dalam banyak kasus, mahasiswa masih menganggap kegiatan sertifikasi ini hanya bersifat administratif. Padahal, sertifikasi semestinya menjadi pintu deteksi akhir dalam memastikan kemampuan literasi baca Al-Qur’an mahasiswa telah memenuhi standar yang layak sebelum keluar menjadi manusia yang berdaya guna di masyarakat, bukan sekadar formalitas pengisian berkas lalu selesai dengan nilai KKN bahkan perolehan ijazah S1 di tangan.
Sungguh, dengan mempelajari Al-Qur'an, siapapun tidak akan takut kehilangan jati diri di tengah semarak kemerdekaan yang kini semakin tidak dirasakan oleh beberapa pihak. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur'an, kita dapat memperkuat jati diri kita sebagai umat Islam dan menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan zaman.
Pada akhirnya, kemerdekaan dalam konteks pendidikan Islam bukan hanya tentang kebebasan berpikir atau berekspresi, tetapi juga tentang kebebasan dari buta huruf Al-Qur’an. Sebab, bagaimana mungkin seorang sarjana muslim mampu menjawab tantangan zaman dan membela nilai-nilai keislaman, jika terhadap kalamullah pun ia masih gagap? Maka, di tengah gegap gempita peringatan hari kemerdekaan, mari kita renungkan: apakah kita sudah merdeka secara ruhani dan qur’ani?