Skip ke Konten

Politik Berakhlak: Inspirasi Maulid Nabi bagi Pemimpin dan Wakil Rakyat

Roswati Nurdin (Dosen HTN Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
6 September 2025 oleh
Politik Berakhlak: Inspirasi Maulid Nabi bagi Pemimpin dan Wakil Rakyat
Suhartina

Kata maulid, maulud dan milad berasal dari kata walada-yalidu. Arti maulid adalah tempat kelahiran atau waktu kelahiran, kata maulid ini adalah isim makan (tempat) atau isim zaman (waktu). Dalam kitab Husn al-Maqasid fi Amal al-Maulid, Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa orang yang mula-mula menyelenggarakan peringatan maulid Nabi adalah Malik Muzaffar Ibnu Baktakin, penguasa dari negeri Irbil yang terkenal setia dan berdedikasi tinggi pada zaman Abbasiyah, sekitar abad ke-12. Peringatan maulid Nabi ini dilaksanakan secara resmi yang ditanggung biayanya oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. 

Acara tersebut diisi dengan puji-pujian dan penjelasan tentang maulid Nabi juga ada pawai akbar berkeliling kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata. Kini, Peringatan Maulid Nabi saw. menjadi momen istimewa bagi umat Islam, merenungkan kembali keteladanan beliau dalam setiap aspek kehidupan. Rasulullah. Dalam kehidupannya Nabi Muhammad saw. bukan hanya seorang pembawa risalah agama, beliau juga pemimpin masyarakat, kepala negara, sekaligus pengayom rakyat. Beliau menghadirkan kepemimpinan yang menyatukan, penuh kasih sayang, dan berlandaskan keadilan, sehingga menjadi teladan abadi bagi siapa pun yang mengemban amanah kepemimpinan. Akhlaknya  mulia hingga Allah menegaskan dalam QS. al-Qalam (68:4):

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung.”

Ayat ini memberikan pesan yang kuat bahwa inti dari kepemimpinan adalah akhlak. Seorang pemimpin atau wakil rakyat bukan dinilai dari seberapa tinggi jabatannya, melainkan dari integritas dan keluhuran budi yang melekat dalam sikap dan kebijakannya. Setiap kali kita memperingati kelahiran Rasulullah saw., sejatinya kita tidak hanya merayakan sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali pesan moral yang beliau wariskan. Maulid menjadi pengingat bahwa lahirnya seorang pemimpin besar dimulai dari fondasi akhlak, bukan kekuasaan, harta, atau gelar. 

Rasulullah saw membangun kepercayaan umatnya dengan ketulusan, kesederhanaan, dan keberpihakan pada orang kecil, Nabi Muhammad saw. menunjukkan model kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan keadilan. Beliau selalu hadir di tengah rakyat, mendengarkan keluh kesah mereka, bahkan rela menanggung kesulitan demi memastikan umatnya tidak terbebani. Rasulullah mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah yang dilayani, melainkan yang siap melayani. Keputusan politiknya tidak pernah condong pada kepentingan pribadi atau golongan, tetapi berlandaskan pada kemaslahatan bersama. Nabi juga dikenal dengan kejujurannya dijuluki Al-Amîn yang membuat siapa pun percaya penuh pada perkataannya. Inilah modal utama kepemimpinan: kepercayaan yang lahir dari kejujuran.

Dalam konteks Indonesia, wakil rakyat seharusnya meneladani prinsip dasar yang diajarkan Rasulullah. Mereka duduk di kursi parlemen bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan untuk menyalurkan suara rakyat. Jika Rasulullah mengajarkan amanah, maka wakil rakyat harus menjaga janji politik yang pernah mereka sampaikan. Jika Rasulullah mencontohkan kejujuran, maka wakil rakyat wajib menjauhi praktik manipulasi dan kepalsuan. Jika Rasulullah memimpin dengan adil, maka para legislator dituntut menghadirkan kebijakan yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya kepada kelompok tertentu. Lebih dari itu, wakil rakyat perlu menghadirkan wajah politik yang menenteramkan, sebagaimana Rasulullah selalu menjadi sosok yang menyejukkan bagi siapa saja yang berinteraksi dengannya. Mereka dituntut untuk rendah hati dalam keberhasilan dan tegar dalam menghadapi kritik, sebab itulah tanda seorang pemimpin yang matang secara moral. Dengan akhlak yang mulia, kursi parlemen tidak lagi dipandang sebagai simbol kemewahan, melainkan sebagai ruang pengabdian. Jika hal ini mampu diwujudkan, rakyat tidak hanya melihat wakilnya sebagai pejabat, tetapi juga sebagai pelayan publik yang benar-benar peduli dan bisa dipercaya.

Kekuasaan dalam pandangan Islam bukanlah tujuan, tetapi sarana pengabdian. Rasulullah saw. menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah bentuk tanggung jawab, bukan kesempatan untuk bermegah-megahan. Kekuasaan seharusnya menjadi jalan untuk menebar maslahat, memperjuangkan keadilan, dan melayani mereka yang lemah dan terpinggirkan. Bila kekuasaan dijadikan tujuan akhir, ia akan berubah menjadi jebakan yang menyesatkan, melahirkan keserakahan, korupsi, dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Namun bila dipahami sebagai sarana pengabdian, kekuasaan justru menjadi ladang kebaikan yang luas, tempat seorang pemimpin menorehkan jejak mulia yang dikenang bukan karena jabatannya, tetapi karena akhlak dan pengabdiannya.

Hikmah Maulid mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa akhlak akan kehilangan arah, sedangkan akhlak yang mulia melahirkan kepemimpinan yang dicintai rakyat. Bagi wakil rakyat, peringatan Maulid seharusnya menjadi momentum refleksi: apakah kebijakan yang dibuat sudah berpijak pada keadilan dan kasih sayang, sebagaimana dicontohkan Rasulullah? Apakah jabatan digunakan untuk melayani masyarakat, atau justru untuk dilayani?

Pertanyaan-pertanyaan ini menegaskan bahwa Maulid tidak boleh berhenti pada seremoni, tetapi harus berbuah pada perubahan sikap dan perilaku. Politik berakhlak bukan sekadar wacana, melainkan nyata jika para pemimpin benar-benar meneladani Rasulullah: pemimpin yang amanah, jujur, adil, dan penuh kasih sayang. Bila nilai-nilai itu dihidupkan di ruang parlemen, politik Indonesia akan tampil lebih bermartabat, dan rakyat merasakan hadirnya wakil yang sungguh mewakili.

di dalam Opini
Politik Berakhlak: Inspirasi Maulid Nabi bagi Pemimpin dan Wakil Rakyat
Suhartina 6 September 2025
Share post ini
Label
Arsip