Orang-orang bertanya, “Mengapa kau begitu yakin dengan kurikulum cinta itu?” Dan saya hanya tersenyum. Karena kurikulum ini bukan barang baru. Ia sudah lama ditulis, bahkan sebelum manusia sibuk membuat buku panduan moral, sebelum sekolah-sekolah membangun tembok tinggi di antara satu hati dan hati lainnya. Kurikulum itu ada di Al-Qur'an, di dua kata yang kita ucapkan nyaris setiap hari: Rahman dan Rahim.
Orang sering mengira cinta dalam Al-Qur'an hanya terselip di ayat-ayat tentang mahabbah atau mawaddah. Padahal, seluruh Al-Qur'an adalah cinta. Ia hanya memilih nama yang lebih dalam: rahmat. Dan Tuhan, di awal kitab-Nya, langsung memperkenalkan diri-Nya dengan dua rahmat sekaligus, Rahman dan Rahim. Inilah epistemologi cinta. Cara pandang, cara membaca, cara berpikir tentang hidup dan tentang Tuhan itu sendiri.
Rahman adalah cinta tanpa syarat. Seperti udara yang kita hirup: tak pernah bertanya siapa yang beriman, siapa yang kafir. Semua kebagian. Bahkan orang yang mencaci Tuhan pun masih diberi jantung yang berdegup. Itulah Rahman. Sementara Rahim adalah cinta yang lebih dalam, lebih hangat. Ia seperti pangkuan ibu, khusus untuk anak-anaknya yang pulang. Kalau Rahman itu cahaya matahari di pagi hari, Rahim itu segelas teh hangat di meja dapur rumahmu.
Kurikulum cinta yang kita jalankan hari ini, baik di sekolah-sekolah formal maupun di ruang-ruang sunyi para pengajar kehidupan—sebenarnya bersumber dari sini. Rahman dan Rahim adalah kerangka epistemologisnya. Artinya, cara kita mengajar, mendidik, dan memperlakukan manusia lain harus dimulai dari kesadaran bahwa kasih sayang itu universal dulu, baru kemudian personal. Kita mencintai semua orang karena mereka makhluk Tuhan (Rahman), dan kita memberi perhatian khusus kepada yang terikat dengan kita dalam ikatan kebaikan dan iman (Rahim).
Karena itu, kurikulum cinta bukan sekadar hafalan ayat atau pelajaran akhlak yang kaku. Ia mengajarkan rasa. Ia membuat anak-anak tidak hanya tahu bahwa bersedekah itu wajib, tapi juga merasakan hangatnya senyum orang yang diberi sedekah. Ia membuat kita tidak hanya hafal “rahmatan lil ‘ālamīn” sebagai slogan, tapi benar-benar memahami bahwa rahmat itu harus dirasakan oleh pohon-pohon, hewan-hewan, bahkan musuh sekalipun.
Dan bukankah itu inti Al-Qur'an? Bukankah inti Al-Fatihah ada di basmalah, dan inti basmalah ada di Rahman dan Rahim? Kita hanya sering lupa. Kita terlalu sibuk menghafal aturan sampai lupa merasakan cinta yang jadi napas aturan itu sendiri.
Jadi kalau ada yang bertanya, “Mengapa kurikulum cinta ini penting?” Jawabannya sederhana: karena Tuhan sendiri memulai kurikulum-Nya dengan Rahman dan Rahim. Kalau kita ingin benar-benar paham Al-Qur'an, mulailah dari sini, dari dua kata yang mungkin sudah kita hapal sejak kecil, tapi belum kita biarkan tumbuh di dada kita.