Skip ke Konten

Romantika di Ujung Jempol: Media, Imajinasi, dan Kurikulum Cinta

Nining Artianasari, M.Sos. (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Parepare)
3 September 2025 oleh
Romantika di Ujung Jempol: Media, Imajinasi, dan Kurikulum Cinta
Hamzah Aziz

Di era digital, cara kita memaknai cinta telah berubah secara fundamental. Jika dulu cinta bertumbuh melalui interaksi tatap muka, percakapan tulus, dan pengalaman hidup bersama, kini sebagian besar proses itu berlangsung di layar kaca dan di ujung jempol. Dari ketukan ringan pada gawai, kita bisa mengirim pesan, tanda hati, bahkan membangun hubungan jarak jauh yang intens. Namun, perubahan besar ini tidak hanya memengaruhi cara kita berkomunikasi, tetapi juga membentuk cara kita belajar tentang cinta itu sendiri. Media, sadar atau tidak, telah menjadi guru yang menyusun kurikulum cinta yang kita konsumsi setiap hari.

Kita jarang menyadari bahwa media modern bukan sekadar hiburan. Film romantis, drama Korea, sinetron, musik populer, hingga konten pendek di TikTok atau Instagram Reels, semuanya memberikan pelajaran tentang cinta. Pelajaran ini hadir secara halus melalui gambar, cerita, dan emosi. Dalam kerangka Teori Kultivasi (George Gerbner), media bekerja menanamkan persepsi tertentu tentang realitas. Semakin sering kita menonton drama dengan pasangan kaya, tampan, dan penuh kejutan, semakin kuat keyakinan bahwa cinta “ideal” harus seperti itu. Standar cinta dibentuk bukan dari pengalaman nyata, melainkan dari konstruksi media.

Sayangnya, tidak ada ruang evaluasi dalam kurikulum ini. Media bekerja seperti guru yang mengulang materi yang sama sampai kita percaya bahwa cinta harus sesuai standar romantisasi layar. Akibatnya, kita sering membandingkan kehidupan nyata dengan skenario media, dan merasa cinta kita kurang “romantis”.

Fenomena ini semakin kuat karena algoritma media sosial bekerja seperti pustakawan yang hanya menghadirkan “buku” sesuai selera kita. Inilah bentuk nyata dari Teori Agenda Setting (McCombs & Shaw): media menentukan isu apa yang penting untuk kita pikirkan. Jika kita sering menonton konten romantis, algoritma menyajikan lebih banyak hal serupa, sehingga kita hidup dalam “gelembung romantika” yang sudah dikurasi. Jean Baudrillard menyebut hal ini sebagai simulacra di mana representasi bukan lagi cermin realitas, melainkan simulasi yang menggantikan realitas itu sendiri. Pada titik ini, banyak orang lebih “mencintai ide cinta” yang ditampilkan media daripada mengalami cinta nyata yang penuh proses dan konflik.

Media tidak hanya mengajarkan bagaimana kita mencintai, tetapi juga mengubah cinta menjadi barang dagangan. Industri musik menjual jutaan lagu patah hati, film memproduksi kisah cinta untuk menggerakkan emosi, sementara pasangan influencer memonetisasi kehidupan cintanya. Hal ini sesuai dengan teori hegemoni (Gramsci, Stuart Hall), bahwa representasi media adalah konstruksi ideologis yang sarat kepentingan ekonomi. Cinta dipersempit menjadi tontonan glamor yang bisa dijual, bukan lagi pengalaman mendalam. Zygmunt Bauman bahkan menyebut kondisi ini sebagai Liquid Love hubungan yang rapuh, cair, dan mudah dipertukarkan, karena cinta telah menjadi komoditas konsumsi.

Generasi yang tumbuh dengan media digital kini belajar cinta lebih banyak dari layar ketimbang dari pengalaman nyata. Mereka mengungkapkan perasaan lewat emoji, merayakan hari jadi lewat postingan, hingga menghadapi putus cinta dengan membuat video pendek.

Jika dilihat dari Teori Uses and Gratifications (Blumler & Katz), jelas bahwa anak muda menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan hiburan, validasi sosial, hingga identitas diri. Namun, ketika media menjadi satu-satunya rujukan, pemahaman cinta menjadi timpang.

Sherry Turkle dalam Alone Together menegaskan, teknologi memang membuat kita “terhubung” secara digital, tetapi sering meninggalkan kekosongan emosional. Generasi digital menghadapi tekanan besar untuk memenuhi standar cinta ala media—kisah cinta yang viral, prewedding mewah, hubungan sempurna di mata publik—padahal cinta sehat seharusnya tentang keaslian dan keberanian untuk gagal.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa media adalah ruang belajar cinta yang kuat. Pertanyaannya, apakah kita akan pasif sebagai murid, atau aktif menulis kurikulum cinta kita sendiri?

Di sinilah pentingnya literasi media, yang menurut pandangan kritis bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi juga kesadaran untuk bertanya: siapa yang memproduksi konten ini? Apa pesan yang ingin disampaikan? Siapa yang diuntungkan? Bagaimana pengaruhnya pada cara saya memandang cinta? Ketika kita sadar bahwa media memiliki kepentingan tertentu, kita bisa mengambil jarak. Kita bisa menikmati cerita cinta di layar tanpa menjadikannya standar hidup kita. Kita bisa memisahkan fantasi dari realitas. Kita juga bisa merumuskan ulang definisi cinta sesuai dengan pengalaman dan nilai-nilai kita sendiri, bukan semata-mata mengikuti arus algoritma.

Romantika di ujung jempol memang indah. Melalui media, kita bisa menjalin hubungan jarak jauh, bisa mengirim pesan cinta kapan saja, dan bisa merayakan kebersamaan dengan cara-cara kreatif. Namun, sebagaimana ditegaskan Manuel Castells dalam Network Society, relasi digital hanyalah bagian dari jaringan sosial yang lebih luas ia tidak bisa sepenuhnya menggantikan perjumpaan nyata. Media membuka kemungkinan yang tak terbatas. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa cinta sejati membutuhkan kehadiran nyata, percakapan tatap muka, dan proses panjang membangun pengertian. Cinta bukan hanya tentang postingan, bukan tentang jumlah like, dan bukan tentang siapa yang terlihat paling bahagia di layar. Cinta adalah perjalanan dua orang yang saling belajar, saling mengisi, dan saling bertumbuh. Hal-hal ini tidak akan pernah bisa sepenuhnya digantikan oleh teknologi.

Di tengah derasnya arus konten romantis di media sosial, kita perlu bertanya: apakah kita sedang mencintai seseorang, atau mencintai ide tentang cinta yang dibentuk media? Pertanyaan sederhana ini penting untuk menuntun kita kembali ke inti perasaan yang manusiawi. Mungkin inilah saatnya kita berhenti sejenak, meletakkan gawai, dan menyadari bahwa kurikulum cinta terbaik bukanlah yang diajarkan layar, tetapi yang kita tulis sendiri melalui pengalaman hidup nyata.

Romantika di Ujung Jempol: Media, Imajinasi, dan Kurikulum Cinta
Hamzah Aziz 3 September 2025
Share post ini
Arsip