Di tengah gemuruh transformasi digital, dunia pendidikan tak henti dipacu untuk berubah. Namun, dalam kecepatan itu, kita perlu bertanya: adakah ruang tersisa untuk nilai-nilai yang meneduhkan? Ataukah pendidikan hari ini hanya mengejar angka, skor, dan ranking, tapi melupakan ruh dari kemanusiaan itu sendiri? Ada sebuah hadis yang sederhana tetapi sangat dalam maknanya:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَـٰنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُم مَنْ فِي السَّمَاءِ
"Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah siapa yang ada di bumi, niscaya Yang di langit akan menyayangi kalian."
Hadis ini diriwayatkan oleh para ulama besar dan dinilai shahih. Namun lebih dari itu, ia adalah seruan lembut agar kita membangun peradaban berbasis kasih—dimulai dari ruang yang paling strategis: pendidikan.
Pendidikan yang Menyentuh Jiwa
Di sekolah dan kampus, kita butuh lebih dari sekadar guru yang mengajar. Kita butuh sosok yang menyentuh. Yang memahami bahwa peserta didik adalah manusia utuh—bukan hanya kepala yang harus diisi, tapi hati yang perlu disentuh. Hadis tersebut memberi pesan yang kuat: rahmat Allah turun bukan untuk yang keras, tapi untuk yang menyayangi.
Lingkungan Belajar yang Inklusif
Menariknya, hadis ini tidak menyebut “sayangilah sesama Muslim” atau “sayangilah orang seiman.” Tapi: siapa yang ada di bumi. Semua. Artinya, kasih sayang dalam pendidikan tidak boleh pilih-pilih. Ia harus merangkul, bukan membeda-bedakan. Pendidikan yang baik adalah yang mampu menciptakan ruang aman dan ramah bagi siapa pun.
Mendidik dengan Cinta, Bukan dengan Ketakutan
Sudah saatnya kita meninjau ulang pendekatan yang menakut-nakuti. Pendidikan sejati tidak dibangun dengan bentakan, tapi dengan sentuhan. Tidak tumbuh dari rasa takut, tapi dari rasa dihargai. Guru yang menyayangi akan dikenang, bukan karena ilmunya semata, tetapi karena hatinya.
Cinta sebagai Energi Sosial
Cinta, dalam perspektif Islam, bukan hanya urusan hati. Ia adalah energi sosial yang mampu mengubah dunia. Dalam konteks pendidikan, cinta bisa melahirkan generasi yang peka, peduli, dan siap menjadi rahmat bagi semesta. Bukan generasi yang saling menghakimi, tapi yang saling memahami.
Hadis tentang kasih sayang ini layak dibaca ulang bukan hanya di majelis taklim, tapi juga dalam rapat kurikulum. Karena pendidikan sejati bukan hanya yang melahirkan lulusan, tapi yang melahirkan manusia. Dan manusia yang paling manusia—adalah yang menyayangi sesama.
Pendidikan berbasis cinta dapat membentuk generasi yang menghindari kekerasan dan intoleransi, masyarakat yang peduli, adil, dan damai. Sekali lagi, narasi teks hadis memberi arah bahwa pendidikan yang sukses adalah pendidikan yang melahirkan manusia yang penyayang untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan, Rabb Al Izzah wa Rab al-Jalil.
Nilai implikasi pendidikannya, bahwa لراحمون (orang yang penyayang) tendik dan siswa dibina agar berempati dan berbuat baik. يرحمهم الرحمن (disayangi Allah menanamkan bahwa kasih sayang adalah jalan menuju rida Allah. ارحموا من في الأرض mengajarkan toleransi lintas agama, budaya, dan status sosial. يرحمكم من في السماء bahwa langit menjadi saksi abadi bahwa pendidikan yang dilandasi cinta universal serta dibangun atas dasar rahmah akan melahirkan generasi yang dirahmati.
Langit akan bersaksi: siapa yang menyebar kasih di bumi, akan disambut kasih dari langit.