Seperti malam yang bising oleh teriakan demonstran dan api yang menyala, kemudian perlahan terganti dengan fajar yang meneduhkan, begitulah Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Wasilah IAIN Parepare hadir tahun ini. Dari riuh luka sosial yang sempat mengoyak, Parepare menjawab dengan doa. Dari bara yang membakar emosi, lahirlah cahaya yang merajut kembali ketenangan.
Malam itu, Maulid Nabi di Wasilah bukan sekadar ritual tahunan. Ia memancar sebagai cahaya harmoni, menyatukan perbedaan dalam bingkai kebersamaan. Wasilah membuktikan dirinya bukan hanya bangunan masjid di jantung kampus, melainkan simbol wasilah, perantara yang menghubungkan manusia dengan sesamanya, umat dengan Tuhannya, dan juga dua arus besar Islam Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Lantunan dzikir ala NU membingkai suasana dengan keteduhan. Suara doa menggema, merambat dari dinding ke hati, lalu menyusup pelan ke dalam jiwa yang hadir. Ada rasa damai yang menjalari tubuh jamaah, seakan setiap lafaz adalah tetes embun yang menenangkan.
Di atas mimbar, pimpinan Muhammadiyah cabang Parepare menyampaikan hikmah dengan gaya seperti menyusun artikel ilmiah: runtut dan berlapis rujukan. Ia mengawali dengan fakta sosial, memperkaya dengan literatur, lalu menarik benang merah ke makna Maulid. Bahkan, ia menyamakan cara memahami Maulid dan istigasah dengan literature review: menelusuri sumber, membandingkan pandangan, lalu menemukan makna. Jamaah mendengarkan dengan seksama yang diselingi tawa, karena penjelasan yang ilmiah itu ternyata bisa mengalir ringan tanpa kehilangan khusyuk.
Puncak malam itu hadir ketika sang penceramah menutup dengan ucapan yang sering kita dengar: “Wa billahi taufiq wal hidayah, wallahu muwafiq ila aqwamit thariq.” Kalimat berbeda, maknanya tetap satu: doa agar manusia dituntun Allah swt. ke jalan terbaik. Lalu ia menambahkan, semuanya hanya bermakna bila kita sepakat ber-fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan. Jamaah mendengarnya dengan wajah berbinar. Pesan itu sederhana, tetapi menyentuh inti: harmoni bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.
Pada titik itu, terlihat jelas: Muhammadiyah menyalakan akal dengan ilmu, NU mengalirkan rasa dengan zikir. Keduanya bertemu, saling melengkapi, dan Wasilah menjadi ruang temu yang sempurna.
Pemandangan jamaah yang memenuhi ruang masjid pun tak kalah memikat. Putih-putih pakaian mereka berjejer rapi, bagaikan lembaran baru sejarah yang sedang ditulis bersama. Cahaya lampu yang temaram justru membuat wajah-wajah itu kian bersinar. Di hadapan mereka, berdiri bura, pohon pisang yang dihias telur, pernak-pernik warna-warni, serta uang kertas yang menjuntai. Bagi orang luar, ia mungkin hanya hiasan. Namun, bagi masyarakat, bura adalah doa yang menjelma rupa: simbol kesuburan, keberkahan, dan rezeki yang diharapkan.
Tersaji pula sokko yang selalu menjadi panganan utama, ketan lengket yang menjadi sajian wajib setiap Maulid. Sokko bukan sekadar makanan, ia lambang persatuan. Ia mengajarkan: bila butir beras bisa saling melekat meski berasal dari sawah berbeda, mengapa manusia yang lahir dari rahim perbedaan tidak bisa bersatu? Di sela-sela itu, aneka cemilan sederhana disiapkan untuk anak-anak. Belum juga acara usai, tawa kecil sudah pecah. Bocah-bocah itu berlarian, berebut cemilan dan uang kertas yang terikat di bura. Jamaah dewasa hanya tersenyum melihatnya. Begitulah Maulid seharusnya: pesta kelahiran yang penuh keriangan, bukan ruang tegang oleh perdebatan bid‘ah.
Maulid di Wasilah tahun ini tak hanya berhenti pada sukacita kampus. Ia hadir dalam rangkaian istigasah kebangsaan, doa bersama untuk negeri setelah kerusuhan yang sempat mengguncang. Parepare malam itu seakan menegaskan: luka sosial tak bisa diobati dengan debat kusir, melainkan dengan doa dan kebersamaan. Dari ruang akademik yang semestinya penuh diskusi, lahir panggung doa untuk Indonesia. Dari kubah Wasilah, suara harmoni menjalar ke langit Nusantara.
Anak-anak yang berebut cemilan dan uang kertas di sela acara pun menyimpan metafora tersendiri. Bangsa ini kadang mirip mereka sibuk berebut rezeki kecil, melupakan makna besar persatuan. Namun, di balik riuh tawa itu, ada pelajaran berharga: perebutan tak selalu berakhir dendam. Usai rebutan, anak-anak kembali berpelukan, berbagi hasil rampasan kecil. Begitu pula bangsa, mestinya bisa bersaing tanpa kehilangan persaudaraan.
Di situlah letak kekuatan Wasilah. Ia bukan sekadar masjid, ia adalah simbol. Simbol bahwa harmoni bisa nyata. Di dalamnya, NU dan Muhammadiyah bertemu: zikir kultural di satu sisi, hikmah ilmiah di sisi lain. Anak-anak yang berlari dan orang tua yang berdoa, tradisi yang hidup berdampingan dengan ilmu yang mencerahkan. Semua bertaut, sebagaimana butir beras menyatu dalam sokko yang lengket.
Dari Parepare, gema harmoni itu mestinya menjalar ke seluruh Indonesia. Dari Maulid yang ceria, kita belajar bahwa setiap kelahiran adalah sukacita, bukan perdebatan. Dari Wasilah, kita memahami bahwa harmoni adalah wasilah terbaik untuk negeri. Dan mungkin, memang inilah panggung yang kita cari: panggung harmoni, dari sebuah masjid sederhana di kampus, menuju panggung kebangsaan di bumi Nusantara.





