"Belajarlah dengan mengajar, hingga Allah Ta'ala yang mengajarimu.” Anregurutta Ambo Dalle
Pendahuluan
Hari ini, wacana pendidikan global didominasi oleh inovasi pedagogi modern. Istilah seperti pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran kolaboratif (collaborative learning), konstruktivisme, hingga konsep belajar melalui pengalaman (experiential learning) menjadi kosakata wajib di ruang akademik.
Tokoh-tokoh seperti John Dewey dan Paulo Freire seringkali dianggap sebagai arsitek utama revolusi pemikiran pendidikan modern.
Namun, jika kita menelusuri khazanah keilmuan pesantren di Nusantara, kita akan menemukan bahwa jauh sebelum wacana modern ini muncul, para ulama telah merumuskan pendekatan pembelajaran yang sangat progresif dan holistik. Ini bukan sekadar kesamaan, melainkan sebuah kearifan lokal yang sudah teruji.
Salah satu warisan keilmuan yang sangat berharga datang dari Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle, ulama kharismatik pendiri jaringan pendidikan Darud Da’wah wal Irsyad (DDI).
Epistemologi "Agguruko Mappaguru"
Gurutta Ambo Dalle merumuskan prinsip belajar yang sangat mendalam dan bersifat transformatif dalam sebuah ungkapan Bugis yang terkenal:
"Agguruko mappaguru, gangka Puang Allah Ta'ala pagguruko."
Artinya: "Belajarlah dengan mengajar, hingga Allah Ta'ala yang mengajarimu."
Ungkapan singkat ini sesungguhnya adalah cetak biru epistemologi pendidikan berbasis amal yang memiliki tiga dimensi utama: praksis intelektual, etika niat (moralitas), dan transendensi spiritual. Teks ini akan mengurai bagaimana ketiga dimensi ini secara kohesif membentuk sebuah strategi belajar yang jauh melampaui sekadar transfer pengetahuan.
1. Dimensi Pertama: Totalitas Belajar Melalui Praktik Mengajar
Konsep "Belajarlah dengan mengajar" adalah inti dari praksis intelektual ala Gurutta Ambo Dalle. Ini adalah penegasan bahwa pemahaman sejati tidak hanya diperoleh saat menerima, tetapi justru saat memberi.
Dalam filsafat pendidikan modern, John Dewey menegaskan bahwa belajar terjadi melalui tindakan. Teori konstruktivisme pun menguatkan hal ini, menyebutkan bahwa pengetahuan dibangun secara aktif melalui aktivitas dan interaksi dengan lingkungan. Konsep ini secara mutlak sejalan dengan ajaran Gurutta Ambo Dalle.
Mengajar, dalam konteks ini, bukanlah sekadar transmisi informasi. Sebaliknya, mengajar adalah proses penguatan struktur kognitif. Seseorang baru dapat dikatakan benar-benar menguasai materi jika ia mampu menyederhanakannya, mengorganisirnya secara logis, dan menjelaskannya kepada orang lain yang berlatar belakang berbeda. Kegagalan menjelaskan berarti adanya lubang dalam pemahaman kita sendiri.
Ungkapan Gurutta ini selaras dengan konsep "Learning by Teaching" yang dikenal dalam psikologi pendidikan sebagai The Protégé Effect. Penelitian oleh Chase, Chin, dan Schwartz (2009) serta penelitian-penelitian turunan lainnya menjelaskan bahwa upaya mengajar orang lain secara signifikan memperdalam pemahaman dan memori jangka panjang. Hal ini terjadi karena proses mengajar memaksa pelajar untuk melakukan tiga hal: (a) mengorganisasi pengetahuan secara sistematis, (b) mengantisipasi pertanyaan atau kesulitan orang lain, dan (c) menerjemahkan konsep abstrak menjadi bahasa yang operasional.
Secara praktis, Gurutta telah mengaplikasikan salah satu strategi kognitif paling efektif dalam pembelajaran.
Bagi Gurutta, ilmu tidak boleh berhenti pada tataran kognitif (mengetahui) semata. Ilmu harus bergerak menjadi amal (mengamalkan) dan pengabdian (mengajarkan). Inilah yang dalam tradisi pesantren dikenal sebagai makna keberkahan ilmu; yaitu ilmu yang bermanfaat, diamalkan, dan disebarkan untuk kemaslahatan umat. Ilmu yang terkurung dalam buku atau pikiran pribadi dianggap ilmu yang ‘mandul’ atau tidak produktif secara sosial.
Keberkahan ilmu sebagai amal menjadi diferensiasi penting dengan pendidikan modern yang seringkali berorientasi sertifikasi. Di pesantren, tolok ukur penguasaan ilmu bukanlah hasil ujian tertulis, melainkan kapasitas untuk mengajarkan dan dampak moral-sosial yang ditimbulkannya.
Pengajaran Gurutta menanamkan tanggung jawab sosial yang intrinsik pada setiap penuntut ilmu, mengubah peran murid dari sekadar penerima menjadi agen penyebar kebaikan sejak dini.
2. Dimensi Kedua: Niat Ikhlas sebagai Fondasi Etis Pembelajaran
Jika dimensi pertama berbicara tentang apa yang harus dilakukan (praktik), dimensi kedua berbicara tentang mengapa hal itu dilakukan (motivasi dan etika).
Bagi Gurutta Ambo Dalle, mengajar adalah sebuah jalan pengabdian. Konsep ini bersentuhan dengan paradigma pendidikan pembebasan ala Paulo Freire yang menekankan relasi dialogis dan orientasi pendidikan sebagai pengabdian kemanusiaan. Namun, terdapat perbedaan fundamental dalam kerangka dasarnya.
Freire meletakkan pembebasan dalam kerangka humanisme kritis; membebaskan manusia dari penindasan struktural dan kebodohan. Sementara Gurutta menempatkannya dalam kerangka tauhid.
Pengajaran, penelitian, dan penyebaran ilmu adalah cara melayani Allah ('ibadah) melalui pelayanan ilmu kepada masyarakat. Niat ini memastikan bahwa ilmu tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk menindas atau memanipulasi. Keikhlasan adalah benteng moral ilmu pengetahuan.
Era modern seringkali menempatkan ilmu dalam logika kapitalistik yang menekankan sertifikat, gelar, gaji, dan kompetisi. Ilmu dianggap sebagai komoditas yang dijual. Pandangan ini sangat bertentangan dengan pandangan Gurutta Ambo Dalle, yang menyatakan bahwa kedudukan ilmu ditentukan oleh keikhlasan dan kemanfaatannya.
Pandangan Gurutta ini bergema kuat dengan pemikiran Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, yang menegaskan bahwa hakikat ilmu adalah yang menuntun pada amal saleh ('amal shalih). Nilai ilmu tidak terletak pada tumpukan teori atau tinggi rendahnya gelar, melainkan pada kemampuan transformatifnya bagi perbaikan diri dan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, ajaran ini menjadi kritik keras terhadap pendidikan instrumentalistik yang hanya berfokus pada pelatihan keterampilan kerja tanpa penanaman nilai etis dan spiritual. Gurutta mengajarkan bahwa integritas intelektual harus berakar pada integritas moral.
3. Dimensi Ketiga: Ijtihad Spiritual dan Bimbingan Ilahi
Bagian paling filosofis dan transenden dari kalam Gurutta adalah frasa: "hingga Allah Ta'ala yang mengajarimu." Ini menunjukkan puncak perjalanan penuntut ilmu.
Gagasan ini merujuk pada keyakinan bahwa puncak ilmu adalah hikmah, sebuah kearifan yang melampaui batas-batas rasio biasa. Konsep ini dikenal dalam tasawuf Sunni sebagai al-’ilm al-laduni (pengetahuan yang dianugerahkan dari sisi Allah). Dengan kata lain, ia merupakan pengetahuan intuitif yang diberikan kepada hamba yang bersungguh-sungguh menuntut ilmu dengan adab dan keikhlasan yang sempurna.
Tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabi menyebut kondisi ini sebagai futuh maknawi (pembukaan spiritual), sementara Imam al-Junaid al-Baghdadi menyebutnya sebagai cahaya (nur) yang dimasukkan Allah ke dalam hati seorang penuntut ilmu.
Proses ini bukan mistisisme pasif, melainkan hasil dari ijtihad spiritual yang intensif dan berkelanjutan (belajar dan mengajar tanpa henti, agguruko mappaguru). Bimbingan Ilahi (Puang Allah Ta'ala pagguruko) adalah hadiah bagi upaya maksimal yang dibingkai oleh niat yang suci.
Dalam terminologi filsafat ilmu, gagasan Gurutta ini menunjukkan bahwa epistemologi Islam (khususnya dalam tradisi pesantren) tidak berhenti pada rasionalisme (akal) dan empirisme (pengalaman indra) saja. Islam mengakui adanya sumber pengetahuan tingkat tinggi yaitu ilham atau wahyu (dalam konteks kenabian) yang diberikan kepada manusia yang telah membersihkan jiwanya (tazkiyatun nafs).
Dengan demikian, belajar bukan sekadar proses intelektual; ia adalah perjalanan rohani. Kualitas pemahaman seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak, tetapi oleh kejernihan batin. Ini menawarkan model pendidikan yang Holistik-Transenden, di mana pengembangan akal berjalan beriringan dengan penyucian jiwa, menjadikan penuntut ilmu sebagai 'khalifah' yang memiliki kecerdasan kognitif sekaligus kearifan spiritual.
Penutup
Ajaran Gurutta Ambo Dalle menawarkan sebuah pendekatan pendidikan yang utuh dan sangat relevan. Konsep ini secara mendasar selaras dengan teori pendidikan holistik modern yang menempatkan manusia sebagai makhluk utuh dengan dimensi jasmani, akal, sosial, moral, dan spiritual.
Pendidikan yang hanya memisahkan ilmu dari adab hanya akan melahirkan homo academicus yang terpelajar tetapi kehilangan kepekaan kemanusiaan (sense of humanity). Sebaliknya, pendidikan yang hanya mengejar keterampilan tanpa membangun kesadaran transenden hanya akan melahirkan generasi yang cerdas secara teknis tetapi egois dan hampa makna.
Warisan epistemologi ulama Nusantara seperti Gurutta Ambo Dalle adalah sumber daya keilmuan yang sangat berharga dan bukan sekadar catatan sejarah. Ini adalah modal filosofis yang dapat menjawab tantangan krisis moral dan spiritual dalam pendidikan kontemporer.
Sudah saatnya dunia pendidikan Indonesia menggali kembali khazanah intelektual pesantren ini, menyusunnya dalam kerangka pedagogi yang sistematis, dan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari arah pembaruan kurikulum pendidikan nasional.
Makassar, 20 Oktober 2024