Skip ke Konten

Deep Theology: Manifestasi Kepahlawanan Gusdur

Dr. Muh. Taufiq Syam, M. Sos.
11 November 2025 oleh
Deep Theology: Manifestasi Kepahlawanan Gusdur
Admin

Ada suatu ranah waktu di mana tujuan bukanlah untuk memiliki, melainkan untuk menjadi; bukan untuk memiliki, melainkan untuk memberi; bukan untuk mengendalikan, melainkan untuk berbagi; bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk bersatu. (Heschel, 1963)

 

Frasa di atas telah menjembatani Abraham Joshua Heschel, seorang rabbi Yahudi untuk merekontruksi ulang narasi teologi dangkal (common theology) yang terbatas pada sifat-sifat Tuhan, doktrin, dan argumen filosofis agama, menjadi teologi mendalam (deep theology) yang mengivestasikan akal, rasa dan jasad pemberian Tuhan ke dalam ruang empati kehidupan orang lain. Bagi Heschel, deep theology bukan istilah yang secara konsisten digunakan sebagai sebuah sistem dalam praktik pemujaan Tuhan, melainkan sebuah pendekatan yang mendistorsi makna dari pertanyaan tentang hakikat Tuhan sebagai pencipta (being), pada pertanyaan tentang wujud kepedulian Tuhan (concern) (Heschel, 1954). Heschel tidak bertanya apa itu Tuhan? tetapi bagaimana Tuhan terlibat dalam dunia dan hidup manusia?

Heschel menggali kedalaman teologi dari sisi relasi Tuhan sebagai kausa prima atas segala sebab dan manusia sebagai kausa finalis yang berada pada ruang deterministik. Heschel berusaha menembus sekat definisi dogmatis tentang Tuhan yang selama ini terkesan kering dan spekulatif dengan menawarkan pengalaman religius yang lebih hidup, sehingga manusia bukan lagi sekedar berperan sebagai pengamat yang pasif atas segala ketetapan Tuhan, melainkan peserta yang aktif terlibat dalam setiap skenario Tuhan. Hal tersebut terkonseptualisasi melalui tiga pilar kunci deep theology.

Pertama, pengalaman konkret manusia menjadi titik awal dalam deep theology. Heschel menujukkan bahwa Tuhan tercipta bukan dari spekulasi metafisik, akan tetapi melalui pengalaman manusia yang otentik ketika manusia mulai menikmati dan takjub terhadap misteri keagungan kehidupan dan alam semesta (Heschel, 1951). Pengalaman bukanlah hasil dari imajinasi atau proyeksi psikologis indrawi semata, melainkan sebagai respon terhadap realitas transenden yang hadir secara aktif dalam sejarah dan kesadaran manusia. Tuhan hadir dengan penuh kepedulian mencari manusia sebagaimana manusia mencari Tuhan, sehingga terciptalah manusia-manusia yang memiliki tanggung jawab moral. Pada akhirnya agama bukan hanya sebatas pada keyakinan terhadap eksistensi Tuhan, akan tetapi menjadi aksi nyata yang dikemas dalam bentuk keadilan, belas kasih, dan kepekaan terhadap penderitaan orang lain.

Kedua, Tuhan sebagai pribadi yang peduli (divine pathos) yang menjadi konsep sentral dan paling revolusioner dalam pemikiran Heschel yang bertujuan untuk memahami cara Tuhan berelasi dengan semesta ciptaanNya. Interaksi nalar teologisnya dalam kalimat “Tuhan bukan entitas netral yang mengamati dunia dari jauh, melainkan yang terluka oleh kekejaman manusia”, menunjukkan bahwa Heschel menarasikan Tuhan yang tidak acuh, tetapi tersentuh, marah, menangis, dan bahkan berduka karena dosa dan ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia dengan mengatasnamakan agama (Heschel, 1962). Diskursus ini bukan antropomorfisme semata, melainkan ungkapan teologis bahwa realitas Ilahi itu bersifat relasional dan responsif terhadap penindasan, keprihatinan terhadap kemunafikan religius, dan kerinduan akan keadilan sosial.

Ketiga, simpati profetik (prophetic sympathy) dan jawaban manusia (human response) merupakan inti dari etika religius dan spiritualitas kenabian. Simpati profetik menggambarkan bahwa nabi merasakan apa yang dirasakan Tuhan, sementara jawaban manusia adalah tanggapan etis yang diharapkan dari setiap individu terhadap panggilan Ilahi (Heschel, 1962). Heschel dengan tegas menolak pandangan bahwa para nabi hanyalah penyampai pesan atau prediktor masa depan, nabi lebih relevan diproyeksikan sebagai manusia yang memiliki kepekaan luar biasa terhadap realitas moral dan spiritual, khususnya terhadap penderitaan Tuhan akibat ketidakadilan manusia. Heschel memposisikan agama bukan hanya keyakinan yang sekadar doa atau ritual semata, akan tetapi komitmen aktif terhadap keadilan, kebenaran, dan kasih.

Pada ketiga pilar kunci deep theology Heschel di atas dapat negasikan bahwa teologi dimulai dari kekaguman atas keberagaman ciptaan Tuhan, bukan dari dogma.ekslusif agama. Tuhan dicitrakan sebagai entitas yang peduli, bukan sebagai konsep abstrak. Manusia beriman hidup melalui bertanggung jawab moral sosial, bukan hanya sekedar mengejar pengakuan iman yang kering. Deep theology adalah seruan untuk mengembalikan jiwa sosial manusia melalui hakikat penciptaannya.

 

Deep Theology: Manifestasi Kepahlawanan Gusdur

“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya”. (Gus Dur)

Jika Abraham Joshua Heschel adalah pemikir yang merumuskan "Deep Theology" dalam teori, maka Gus Dur adalah sang penerjemahnya dalam tindakan nyata di Indonesia (Bahri, 2022). Gelar Pahlawan Deep Theology mungkin dapat menjadi legitimasi yang pantas disematkan atas penobatannya sebagai Pahlwan Nasional pada tanggal 10 November 2025. Setiap buah induksi pemikiran, ucapan, dan langkah politiknya merefleksikan kedalaman spiritual yang membumi dan visioner. Perjumpaan Heschel dan Gus Dur bukan diperantarai oleh raga keduanya, melainkan melalui interaksi rasa yang menolak teologi kering yang hanya berisi dogma. Heschel merekontruksi keterlibatan manusia dan Gus Dur mengejar hakikat di balik syariat.

Gus Dur adalah embodiment sebagai perwujudan nyata dari deep theology ala Indonesia yang di masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia ke-4 menerapkan pilar-pilar pemikiran Heschel melalui kebijakan pemerintah yang menyeleraskan tujuan agama dengan semangat humanis universal.

Gus Dur tidak memulai konsep teologi dari teks agama yang kaku, tetapi dari pengalaman kongkret manusia Indonesia yang majemuk dan rentan akan ketertindasan. Pengalamannya sebagai manusia Indonesia sebagai titik tolak dalam mengimplementasikan konsep fiqhi sebagai sarana pelayan kemanusiaan. Gus Dur meyakini bahwa keragaman kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan bukanlah masalah yang harus diselesaikan, tetapi sesuatu yang harus dikagumi dan disyukuri. Hal ini mereflesikan deep theology Heschel yang menjadikan kekaguman sebagai fondasi teologis dalam membangun nilai spiritual dan etika universal keadilan, belas kasih dan kemaslahatan.

Gus Dur sangat sensitif terhadap panggilan nurani untuk membela kelompok yang tertindas. Salah satu kebijakan yang kontroversial adalah dengan mewacanakan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan PKI (Hidayatulloh, 2018). Mayoritas masyarakat Indonesia pada saat itu menuding bahwa kebijakan tersebut merupakan gerakan politik untuk memperoleh simpati dari eks-anggota dan keturunan PKI, tapi bagi Gus Dur kebijakan ini adalah wujud universalitas keadilan yang berhak diperoleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Gus Dur menyaksikan beratnya penderitaan eks-anggota dan keturunan PKI yang terus menerus terzalimi dan terstigma negatif melalui tekanan struktural dan dogma agama. Gus Dur menghadirkan dirinya sebagai manusia berTuhan yang memiliki tanggung jawab moral untuk mendahulukan rekonsiliasi dan pengampunan, telepas pada doktrin politik dan agama yang terus menghakimi. mereka

Gus Dur tidak hanya menjadikan pengalaman sebagai fondasi dalam mewujudkan deep theology, beliau juga memahami Allah dalam Islam bukan sebagai Tuhan yang dingin dan hanya menghukum, tetapi sebagai Tuhan yang Maha Rahman dan Maha Rahim dengan kepedulian-Nya meliputi seluruh alam semesta. Seperti Heschel yang melampaui dogmatis agama, Gus Dur melampaui pemahaman fiqhi yang kaku dan literal. Spirit dari ajaran Islam baginya adalah rahmat dan rahim, bukan legalisme dan indoktrinasi. Ketika fiqhi berpotensi digunakan untuk mendistorsikan semangat rahmat dan rahim ini, maka kerinduan akan keadilan sosial menjadi alternatif yang dapat menjembatani rasa ketertindasan dari kelompok minoritas.

Simpati profetik Gus Dur yang luar biasa untuk merasakan penderitaan dan membela kelompok minoritas yang diserang oleh kelompok mayoritas merefleksikan divine pathos kepedulian Tuhan terhadap mereka yang terzalimi. Hal tersebut tergambar ketika membela Ahmadiyah dan kelompok etnis Tionghoa. Para pemuka agama dengan teologi dangkal menyerang Ahmadiyah dalam framing praktik bid'ah (Basyir, 2016) dan kelompok etnis Tionghoa sebagai diaspora non-pribumi (Ibad & Fikri, 2012), sehingga keduanya harus dilenyapkan di bumi Indonesia. Gus Dur justru hadir dengan relasional dan responsif kepedulian Tuhan terhadap penindasan untuk melindungi hak asasi manusia dari kedua kelompok tersebut. Gus Dur percaya bnahwa hak asasi manusia jauh lebih penting daripada kebenaran doktrin yang dipaksakan.

Gus Dur telah berhasil memberikan jawaban atas pertanyaan hakikat penciptaan manusia, yang tidak hanya sebatas pada hamba Tuhan dengan aktifitas ritual semata, akan tetapi pada tindakan nyata untuk mengubah masyarakat. Disamping berperan sebagai ulama maupun presiden, Gus Dur juga memposisikan diri sebagai mitra Tuhan yang memiliki tugas kekhalifaan untuk menegakkan keadilan. Beliau adalah citra nabi modern yang menyuarakan kebenaran dan membela yang lemah, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan dan risiko politik. Seperti Heschel yang menolak pandangan bahwa para nabi hanyalah penyampai pesan, Gus Dur melihat perjuangan untuk keadilan dan pluralisme sebagai wasilah dalam meneruskan perjuangan para nabi.

Gus Dur menerapkan deep theology secara humanis dengan menggunakan Islam instrumen Tuhan untuk memanusiakan manusia. Upaya untuk membuat nilai-nilai Islam yang universal meresap dalam corak budaya lokal untuk menjawab masalah kemanusiaan konkret. Salah satunya pada saat Gus Dur mengunjungi Pulau Bali pasca bom Bali 2002.  Ketika suasana masih mencekam dan muncul sentimen anti-muslim, Gus Dur justru datang ke Bali untuk mengunjungi keluarga korban dan menyatakan bahwa tindakan terorisme tidak mewakili Islam (Putu Setia, 2002). Tindakan tersebut mencerminkan bentuk dialogis dan respon teologis yang mendalam dari seorang Gus Dur untuk meruntuhkan stereotip negatif terhadap umat muslim Indonesia dan menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Gus Dur adalah wajah yang menawan dari deep theology yang diimpikan oleh Heschel. Gus Dur tidak berteologi di balik sisi agama yang kaku, melainkan di tengah gelanggang perjuangan kemanusiaan. Spiritualitasnya yang dalam justru meledak menjadi aksi-aksi sosial yang nyata, meskipun kontroversial. Pemahamannya tentang Islam bukanlah pada kulitnya yang formal, tetapi pada jiwa yang humanis, pluralis, dan berkeadilan. Kehidupan dan perjuangan Gus Dur merupakan contoh sempurna dari kepahlawanan yang bukan hanya sekadar legitimasi di atas kertas, melainkan wujud dimensi spiritualitas yang hidup, membumi, dan membebaskan.

“Tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua manusia, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu” (Gus Dur)

 

*Tulisan ini terinspirasi dari buku berjudul “Perjumpaan Islam Ideologis & Islam kultural” karya Prof, Media Zainul Bahri