Hari Guru selalu menjadi momen yang mengundang refleksi mendalam. Namun di tengah berbagai krisis sosial dan ekologis yang melingkari kehidupan kita hari ini, dari kekerasan di ruang kelas hingga bencana ekologis yang kian sering. Peringatan Hari Guru tidak boleh berhenti sebagai seremoni tahunan. Ia harus menjadi ruang untuk menegaskan kembali siapa itu guru dan peran historis apa yang mereka emban dalam pembentukan masa depan bangsa.
Guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar kurikulum. Mereka adalah pengasuh nilai, penanam karakter, dan penjaga moralitas publik. Dalam perspektif yang lebih luas, guru adalah penjaga peradaban, sebuah peradaban yang hanya dapat bertahan apabila didasari cinta terhadap sesama dan kepedulian terhadap bumi yang menopang kehidupan.
Guru sebagai Penanam Cinta
Paulo Freire, salah satu pemikir pendidikan paling berpengaruh abad ini, mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah praksis pembebasan yang bertumpu pada dialog dan cinta. Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menolak pandangan bahwa pendidikan hanyalah proses “transfer pengetahuan” satu arah. Baginya, pendidikan adalah tindakan memanusiakan; sebuah relasi yang dibangun atas penghormatan, kepercayaan, dan kasih.
Gagasan ini selaras dengan pemikiran Nel Noddings tentang ethics of care, bahwa inti pendidikan bukan pada materi ajar, tetapi pada hubungan peduli antara guru dan murid. Kurikulum Cinta, dalam pengertian ini, bukanlah jargon romantis, melainkan pendekatan pedagogis yang menempatkan penghargaan terhadap martabat murid sebagai pusat praktik pendidikan.
bell hooks, dalam Teaching to Transgress, menegaskan hal serupa: bahwa pedagogi yang membebaskan harus memperhatikan kesejahteraan emosional dan spiritual murid sekaligus kesejahteraan guru. Kita tidak dapat menuntut guru menjadi sosok penuh cinta apabila kesejahteraan mereka terabaikan, dari beban administrasi yang menyesakkan hingga ketidakamanan ekonomi. Menghormati guru berarti menghadirkan sistem yang memungkinkan mereka untuk mencintai dan mengasuh secara konsisten.
Guru sebagai Guardian of Ecological Civilization
Krisis ekologis global menempatkan pendidikan sebagai benteng paling strategis dalam membangun kesadaran baru. Thomas Berry menyebut perlunya ecological civilization, peradaban yang menyadari keterhubungan manusia dengan seluruh makhluk hidup. Aldo Leopold, melalui land ethic, mengajarkan bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan anggota komunitas biotik yang bertanggung jawab menjaga keseimbangannya.
Bila sekolah dipandang sebagai laboratorium moral, maka guru mempunyai peran monumental sebagai penjaga peradaban ekologis (guardian of ecological civilization). Di ruang kelas merekalah nilai-nilai ekologis mula-mula disemai: rasa heran pada ciptaan, penghargaan terhadap keindahan, dan kesadaran bahwa merawat bumi adalah tugas etis antargenerasi.
Dalam konteks Indonesia, negara yang sangat rentan terhadap krisis lingkungan, peran ini menjadi semakin vital. Pendidikan ekologis kita masih minim, padahal bencana ekologis kian mengancam kualitas hidup masyarakat. Guru, dalam kapasitasnya sebagai pembentuk pola pikir dan perilaku, dapat menjadi arsitek kesadaran ekologis yang melampaui sekadar pengetahuan ilmiah.
Dimensi Spiritual: Ekotheologi sebagai Penopang Nilai
Di masyarakat Indonesia yang religius, pendidikan ekologis tidak cukup berdiri atas dasar sains. Ia membutuhkan kerangka spiritual yang menguatkan. Di sinilah ekotheologi berperan.
Seyyed Hossein Nasr melalui gagasan sacred science menegaskan bahwa alam adalah tanda-tanda Ilahi; merusaknya berarti merusak amanah spiritual manusia. Arne Naess melalui deep ecology mengajak kita melihat alam memiliki nilai intrinsik—bukan hanya karena manfaatnya bagi manusia. Perspektif ekologis semacam ini dapat diplintir menjadi acuan pedagogis yang kaya di sekolah-sekolah kita.
Ketika guru mengajarkan bahwa memelihara lingkungan adalah bentuk ibadah, bahwa sungai dan pepohonan adalah ayat-ayat Tuhan, maka pendidikan ekologis berubah menjadi pendidikan moral dan spiritual. Ia tidak lagi sebatas “materi pelajaran,” tetapi menjadi bagian dari karakter murid yang akan mereka bawa sepanjang hidup.
Membentuk Warga yang Empatik dan Kritis
Martha Nussbaum menekankan bahwa pendidikan bertugas membentuk warga negara yang empatik, peduli, dan kritis. Dalam dunia yang menghadapi ketimpangan sosial serta kerusakan ekologis, kemampuan empati dan kapasitas bernalar kritis menjadi kebutuhan mendasar. Di sinilah integrasi antara Kurikulum Cinta dan ekotheologi memiliki relevansi strategis. Keduanya membangun murid yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga peka sosial dan ekologis.
Guru, dengan demikian, bukan sekadar pengajar, melainkan pembentuk visi peradaban. Melalui tangan dan keteladanannya, generasi baru dapat diarahkan pada model hubungan manusia–alam yang lebih beradab.
Menghormati Guru Melalui Kebijakan, Bukan Seremoni
Menghormati guru tidak cukup dengan ucapan selamat dan rangkaian bunga. Ia harus diwujudkan melalui tindakan nyata:
Memperkuat kesejahteraan guru,
Memperbaiki ekosistem kerja pendidikan,
Menyediakan pelatihan pendidikan ekologis dan penguatan pedagogi cinta
Merombak kurikulum agar mengintegrasikan sains, etika, dan spiritualitas.
Tanpa dukungan struktural, idealisme guru hanya akan tersandera oleh realitas birokrasi dan keterbatasan sumber daya.
Terakhir, Guru sebagai Penjaga Masa Depan
Pada akhirnya, tugas guru adalah menanamkan benih-benih cinta, benih kepedulian, benih rasa kagum terhadap alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Ketika Freire mengingatkan bahwa pendidikan adalah praktik kebebasan, dan Berry menyerukan lahirnya peradaban ekologis baru, maka guru hari ini berdiri di persimpangan keduanya. Mereka adalah penjaga, pelindung, dan pengarah perjalanan manusia menuju dunia yang lebih manusiawi dan lebih berkelanjutan.
Selamat Hari Guru.
Mari kita hormati mereka bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan komitmen untuk menghadirkan pendidikan yang memanusiakan dan merawat bumi. Sebab bangsa yang tidak melindungi gurunya, akan kehilangan masa depannya.