Dalam kebudayaan Bugis, posisi guru tidak semata-mata berkaitan dengan otoritas akademik, melainkan juga menyangkut kemuliaan moral dan tanggung jawab sosial. Ungkapan bahwa guru adalah “siri’na ade’”—penjaga martabat adat dan tradisi—mengandung makna multidimensional. Guru diposisikan sebagai figur yang memelihara nilai-nilai luhur masyarakat, memastikan bahwa adat bukan sekadar ingatan kolektif, tetapi etika hidup yang terus memberi arah bagi generasi berikutnya. Dalam konteks yang lebih luas, konsep ini menaut erat dengan praktik dakwah kultural, yakni pendekatan penyampaian ajaran Islam melalui penghormatan terhadap nilai, simbol, dan narasi lokal yang hidup dalam masyarakat. Keduanya memiliki titik temu yang kuat: keduanya bertujuan menjaga martabat kemanusiaan dan memandu masyarakat ke arah kebajikan melalui jalur non-konfrontatif yang penuh hikmah.
Dalam falsafah Bugis, siri’ dipahami bukan hanya sebagai harga diri, tetapi sebagai kesadaran moral kolektif tentang integritas. Sementara ade’ merujuk pada tatanan adat, norma, dan tata kelakuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Ketika seorang guru disebut sebagai siri’na ade’, maka ia berarti menjadi penjaga integritas dari seluruh sistem nilai tersebut. Guru dipandang sebagai kanal utama transmisi moralitas, sama pentingnya dengan tetua adat dan pemangku agama. Perannya tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi menegakkan kehormatan komunitas melalui teladan personal, konsistensi perilaku, dan kepekaan budaya.
Dalam konteks perubahan sosial yang cepat, posisi guru sebagai penjaga martabat adat menjadi semakin krusial. Arus globalisasi, perkembangan teknologi, serta penetrasi budaya populer sering kali menimbulkan jarak antara generasi muda dan nilai-nilai lokal. Guru hadir dalam ruang liminal antara masa lalu dan masa kini. Ia menjalankan fungsi kuratorial—memilih nilai apa yang harus dipertahankan, bagaimana meneruskannya, dan bagaimana mengontekstualisasikannya agar tetap relevan. Dalam hal ini, guru tidak bersikap konservatif secara membuta, tetapi menjadi mediator kreatif antara kearifan lokal dan dinamika zaman.
Di sinilah relevansi dakwah kultural menemukan signifikansinya. Dakwah kultural menekankan pendekatan yang tidak memaksakan doktrin, tetapi menggunakan simbol, adat, bahasa, dan praktik budaya sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Pendekatan ini memiliki kesesuaian mendalam dengan cara masyarakat Bugis menyusun norma sosialnya yang bertumpu pada harmoni (mappasitinaja), penghormatan (sipakalebbi’), serta saling memanusiakan (sipakatau). Guru—baik dalam posisi formal sebagai pendidik maupun informal sebagai panutan sosial—membawa mandat dakwah kultural ini dalam tindakan sehari-harinya.
Transmisi nilai dalam konteks Bugis selalu bersifat komunikatif. Nilai tidak diajarkan secara deklaratif, tetapi ditanamkan melalui pappaseng (petuah) dan keteladanan. Guru sebagai siri’na ade’ menjalankan pola komunikasi yang bersumber dari prinsip malebbi’ warekkadanna, makkalebbi’ mappasiraga, yakni santun dalam tutur dan mulia dalam tingkah laku. Melalui sikap yang penuh hormat itulah nilai-nilai Islam dan adat lokal berjumpa secara harmonis. Dakwah kultural tidak berjalan dengan ancaman atau penghakiman, melainkan melalui integritas moral yang memikat, sehingga menghasilkan perubahan yang lebih mendalam dan lestari.
Sebagai mediator antara adat dan agama, guru memiliki kapasitas untuk menavigasi potensi ketegangan di antara keduanya. Dalam sejarah Bugis, hubungan antara adat dan Islam tidak selalu mulus; ada momen ketika berbagai norma adat perlu direkonstruksi untuk selaras dengan prinsip syariat. Guru memainkan peran kunci untuk menafsirkan situasi tersebut dengan bijaksana. Ia tidak memaksakan pemutusan total dari adat, tetapi memfasilitasi proses harmonisasi melalui pendekatan sulh (perdamaian), dialog, dan penalaran moral. Karena itulah posisi guru menjadi figur strategis dalam merawat kohesi sosial komunitas.
Dalam praksis sosial, peran ini terlihat dari bagaimana guru menafsirkan nilai siri’. Jika dipahami secara sempit, siri’ dapat melahirkan kekerasan atau pembalasan demi menjaga kehormatan. Namun, guru sebagai siri’na ade’ memperluas makna siri’ menjadi etika integritas: menepati janji, menjaga kejujuran, menghindari tindakan yang memalukan, dan memelihara martabat orang lain. Perspektif ini sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang amanah, adab, dan ihsan. Dakwah kultural kemudian bekerja dengan menanamkan makna-makna baru yang selaras namun tetap menghormati simbol lokal, sehingga adat tidak ditinggalkan, tetapi ditransformasikan secara konstruktif.
Dalam era digital, tantangan moral yang dihadapi generasi mudapun semakin kompleks. Dari penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, budaya viral, hingga fenomena ujaran kebencian. Guru sebagai siri’na ade’ harus mampu menunjukkan model literasi moral baru yang berakar pada nilai-nilai Bugis namun relevan dengan ekosistem media baru. Ia mengajarkan bagaimana menjaga siri’ dalam ruang digital: menghormati orang lain dalam komunikasi daring, tidak menyebarkan aib, serta menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebaikan. Dakwah kultural pada tahap ini menuntut guru tidak hanya mewariskan nilai, tetapi juga menafsir ulang nilai tersebut agar kompatibel dengan teknologi modern.
Pada akhirnya, peran guru sebagai siri’na ade’ merupakan manifestasi dari kepemimpinan moral yang sangat strategis. Ia menjadi jembatan antara generasi, sekaligus penjaga kesinambungan identitas budaya dan agama. Dalam konteks Bugis, guru tidak hanya mengajarkan apa yang benar, tetapi hidup sebagai teladan kebenaran itu. Dakwah kultural menjadi instrumen yang memungkinkan nilai-nilai Islam tumbuh di dalam ladang budaya, bukan melawannya. Dengan demikian, guru bukan hanya pendidik intelektual, tetapi juga penguat martabat sosial dan spiritual masyarakat Bugis. Tanpa mereka, tradisi akan kehilangan ruh, dan moralitas akan kehilangan arah.