Indonesia menempati posisi strategis dalam peta iklim global. Dengan hutan tropis terbesar ketiga dan mangrove terluas di dunia sekitar 3,44 juta hektar atau 23 persen mangrove global Indonesia memikul tanggung jawab ekologis yang tidak dimiliki banyak negara lain. Ironinya, kerusakan pesisir, reklamasi, hingga konversi tambak masih terus terjadi. Kerusakan mangrove bukan hanya kehilangan vegetasi pesisir, tetapi hilangnya benteng iklim paling efektif di bumi.
Pertanyaannya, apakah ini sekadar persoalan teknis? Atau apakah krisis lingkungan yang kita hadapi justru berakar dari krisis kesadaran moral dan spiritual dalam memandang alam?
Dalam konteks ini, tiga pendekatan penting; ecoteologi, stewardship theory, dan deep ecology memberi jalan pemikiran baru tentang bagaimana Indonesia seharusnya menjaga mangrove bukan hanya sebagai aset ekonomi, tetapi sebagai amanat peradaban.
Ecoteologi: Memahami Alam sebagai Ayat Tuhan
Ecoteologi menegaskan bahwa alam bukan benda mati, melainkan ayat Tuhan yang harus dihormati. Salah satu tokoh utama pendekatan ini adalah filsuf Muslim kontemporer Seyyed Hossein Nasr. Dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), Nasr menyatakan bahwa: “The environmental crisis is fundamentally a spiritual crisis.”
Menurut Nasr, manusia modern terputus dari kesadaran sakral tentang alam. Ketika alam tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan, ia berubah menjadi objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Kesadaran ini juga sejalan dengan pesan Al-Qur’an dalam Surah Al-A’raf ayat 56: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Dengan populasi mayoritas beragama, Indonesia memiliki modal spiritual yang sangat kuat untuk mengarusutamakan pelestarian alam. Ecoteologi membantu mengubah cara pandang publik: menjaga mangrove bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga tindakan etis dan spiritual.
Pemikiran serupa muncul dari teolog ekologis Thomas Berry, yang melihat alam sebagai “komunitas subjek” yang harus dihormati. Kesadaran ini menghadirkan dimensi moral dalam upaya perlindungan mangrove.
Stewardship Theory: Manusia sebagai Penatalayan Bumi
Stewardship theory mempertegas bahwa manusia bukan pemilik bumi, melainkan penatalayan yang mengelola amanah. Teori ini berakar dari tradisi religius yang menempatkan manusia sebagai penjaga ciptaan.
Gagasan stewardship mendapat perhatian luas setelah artikel klasik Lynn White Jr., The Historical Roots of Our Ecologic Crisis (1967), yang mengkritik cara pandang antroposentris manusia terhadap alam. Sementara filsuf lingkungan Holmes Rolston III memperkuat gagasan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk merawat alam.
Konteks Indonesia memperlihatkan jelas relevansi teori ini. Kerusakan mangrove sering kali terjadi bukan karena kurangnya teknologi, tetapi karena lemahnya tata kelola, konflik kepentingan, dan kegagalan melihat lingkungan sebagai amanah. Pembangunan infrastruktur pesisir, proyek tambak, dan reklamasi seharusnya diuji secara ketat melalui prinsip penatalayanan ekologis. Tanpa itu, kerusakan akan terus menjadi siklus berulang.
Stewardship bukan sekadar prinsip akademik; ia adalah fondasi etika kepemimpinan. Pemimpin yang baik bukan hanya membangun jalan dan gedung, tetapi menjaga keberlanjutan bumi yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Deep Ecology: Menghargai Nilai Intrinsik Mangrove
Deep ecology dikembangkan oleh Filsuf Norwegia Arne Næss menawarkan pendekatan filosofis yang lebih dalam. Teori ini menyatakan bahwa seluruh makhluk hidup dan ekosistem memiliki nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia. Næss dalam pikirannya, ia menyatakan bahwa: “The flourishing of human and nonhuman life has value in itself.”
Deep ecology mengingatkan bahwa mangrove tidak semata penting karena menyerap karbon, melindungi pesisir, atau menjadi habitat biota laut. Ia penting karena ia memiliki hak untuk ada.
Pendekatan ini relevan bagi Indonesia yang selama ini cenderung melihat alam secara utilitarian. Ketika nilai alam diukur hanya melalui manfaat ekonomi, maka kehancuran menjadi mudah terjadi.
Deep ecology mengajak kita membangun paradigma baru bahwa keharmonisan ekologis adalah bagian dari keharmonisan hidup manusia itu sendiri.
Mangrove Indonesia: Benteng Iklim yang Rawan
Fakta ilmiah menunjukkan bahwa mangrove menyimpan karbon empat kali lebih besar dibandingkan hutan daratan. Akar-akar mangrove meredam gelombang hingga 70–90 persen, menjadi tempat pembiakan bagi 70 persen biota pesisir, dan menopang ekonomi masyarakat pesisir.
Namun, mangrove juga menjadi ekosistem yang paling terancam. Abrasi akibat hilangnya mangrove memperparah kerusakan pesisir. Tanpa akar-akar yang menahan tanah, garis pantai mundur puluhan meter setiap tahun. Tambak ilegal, limbah industri, dan penebangan terus menggerus fungsi ekologis mangrove.
Kerusakan ini menunjukkan kegagalan kita mempraktikkan nilai-nilai ecoteologi, stewardship, dan deep ecology. Bahkan, bisa dikatakan bahwa kerusakan mangrove adalah “cermin diri” yang memperlihatkan krisis nilai di masyarakat.
Integrasi Iman, Sains, dan Kebijakan
Untuk menjadikan Indonesia pelopor etika ekologis global, dibutuhkan integrasi tiga pilar penting:
1. Ecoteologi sebagai Dasar Kesadaran Publik
Pesan-pesan keagamaan harus mengarusutamakan etika lingkungan. Dakwah, khutbah Jumat, dan pendidikan agama dapat menjadi media efektif untuk membangun etika ekologis.
2. Stewardship sebagai Prinsip Tata Kelola Pemerintahan
Pembangunan harus ditempatkan dalam bingkai keberlanjutan. Setiap kebijakan yang menyentuh pesisir harus melalui evaluasi ekologis yang ketat.
3. Deep Ecology sebagai Rambu Etika Pembangunan
Nilai intrinsik ekosistem harus menjadi pertimbangan. Alam harus dihormati, bukan sekadar digunakan.
4. Restorasi Mangrove sebagai Gerakan Nasional
Restorasi berbasis masyarakat adalah kunci. Nilai budaya lokal seperti mappasilengeng dalam tradisi Bugis yang menekankan keseimbangan dan harmoni harus menjadi bagian dari etika ekologis nasional.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Peradaban Hijau
Indonesia memiliki modal spiritual, ekologis, dan budaya untuk menjadi pemimpin etika lingkungan di dunia. Namun modal ini tidak akan berarti jika kita gagal membangun kesadaran kolektif.
Thomas Berry pernah mengingatkan bahwa masa depan manusia tidak dapat dipisahkan dari masa depan bumi. Pesan itu sangat relevan bagi Indonesia hari ini.
Pelestarian mangrove bukan hanya tindakan ekologis, tetapi tindakan moral bahkan spiritual. Ia adalah bentuk ibadah hijau: ibadah yang merawat tanah air sebagai amanat Tuhan dan titipan generasi mendatang.
Jika Indonesia berhasil mengintegrasikan iman, sains, dan kebijakan dalam merawat mangrove, maka dunia tidak hanya akan menyaksikan keberhasilan ekologis, tetapi juga menyaksikan kebangkitan etika peradaban dari negeri yang menyebut dirinya pusat keberagamaan dan kebijaksanaan alam.
Dan dunia sedang menunggu Indonesia memimpin.