Tanggal 10 November setiap tahun sering berlalu tanpa gegap gempita seperti halnya 17 Agustus. Namun, bagi bangsa yang masih belajar merdeka secara hakiki, setiap tanggal dalam kalender seharusnya menjadi ruang perenungan baru. Sebab, kemerdekaan dan kepahlawanan bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan proses kesadaran yang terus diuji oleh zaman. Dalam pandangan hukum Islam, al-ḥurriyyah (kemerdekaan) dan al-syajā‘ah (kepahlawanan atau keberanian) bukan dua hal terpisah. Keduanya lahir dari akar tauhid: kebebasan manusia untuk tunduk hanya kepada Allah, serta keberanian untuk menegakkan kebenaran di atas prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Menyapa kembali makna kemerdekaan dan kepahlawanan berarti mengukur sejauh mana kita benar-benar bebas secara syar‘i dan moral. Sebab, dalam realitas modern, penjajahan tidak selalu hadir dalam bentuk kolonialisme fisik, melainkan dalam bentuk yang lebih halus: penjajahan budaya, ekonomi, bahkan spiritual. Maka, ketika kita meneriakkan kata “Merdeka!”, sejatinya kita perlu bertanya: apakah kita telah merdeka dari hawa nafsu, keserakahan, dan ketidakadilan yang menindas sesama?
Dalam teori postkolonialisme yang digagas oleh Frantz Fanon dan Edward Said, dijelaskan bahwa kolonialisme sejatinya meninggalkan warisan psikologis yang panjang. Fanon menyebutnya internalized colonialism: suatu keadaan ketika bangsa bekas jajahan tanpa sadar mewarisi pola pikir penjajah: merasa inferior, meniru budaya asing, dan memandang rendah nilai-nilai sendiri. Dalam kacamata hukum Islam, keadaan itu disebut isti‘bād al-‘aql: penjajahan terhadap akal. Padahal, syariat hadir untuk tahrīr al-‘aql, membebaskan akal manusia dari belenggu kebodohan dan ketaklidan. Nabi saw. bersabda:
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً...
“Janganlah kalian menjadi pengikut buta...” (HR. Tirmidzi)
Sabda Nabi saw. ini menegaskan bahwa kepahlawanan sejati dalam Islam tidak diukur dari seberapa banyak medan perang yang ditaklukkan, melainkan seberapa berani seseorang berpikir dan bertindak benar di tengah arus kebatilan.
Antonio Gramsci, seorang sosiolog Italia, menyebut dominasi nilai dan budaya sebagai hegemoni. Dalam konteks hukum Islam kontemporer, hegemoni budaya modern inilah yang kini disebut istighlāb al-tsaqāfah: penjajahan nilai yang membuat umat Islam kehilangan jati diri. Media digital, algoritma, dan gaya hidup konsumtif menjadi mustamlih jadīd (penjajah baru) yang mengatur cara kita berpikir dan merasa. Akibatnya, generasi muda lebih mengenal tokoh fiksi luar negeri daripada ulama lokal semacam AGH. Abdurrahman Ambo Dalle; lebih hafal jargon motivasi modern daripada prinsip inna akramakum ‘indallāhi atqākum atau petuah leluhur Bugis ke anak-anaknya: narEkko dE' gaga sirimu, inrekko siri (apabila anda tidak punya rasa malu, maka pinjamlah rasa malu itu kepada orang lain). Di sinilah relevansi hukum Islam kontemporer diuji, mampukah ia menjadi sistem nilai yang memerdekakan manusia dari belenggu budaya yang menindas?
Dalam ranah ekonomi, teori ketergantungan (dependency theory) yang dikemukakan Andre Gunder Frank menggambarkan hubungan tidak seimbang antara negara pusat dan pinggiran. Islam sejak awal menolak ketergantungan semacam ini. Konsep istiqlāl al-ummah (kemandirian umat) merupakan bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga ḥifẓ al-māl (perlindungan harta) dan ḥifẓ al-dawlah (kedaulatan negara). Bung Hatta, tokoh proklamator yang berjiwa Islam, pernah berkata: “Kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi adalah kemerdekaan semu.” Dalam perspektif fikih kontemporer, ketergantungan terhadap sistem ekonomi ribawi dan kapitalisme korporasi global adalah bentuk penjajahan struktural yang bertentangan dengan prinsip al-‘adālah al-ijtimā‘iyyah (keadilan sosial).
Lebih jauh, penjajahan juga menyentuh dimensi moral dan spiritual. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut bahwa penindasan paling halus terjadi ketika masyarakat kehilangan kesadaran kritis. Dalam hukum Islam, hal itu disebut istirdādu al-dzulm: sikap pasrah terhadap kezaliman. Padahal Al-Qur’an memperingatkan:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim, nanti kalian akan disentuh api neraka.” (QS. Hud [11]: 113)
Maka, kepahlawanan dalam pandangan hukum Islam kontemporer bukan hanya keberanian di medan perang, melainkan keberanian moral dan intelektual untuk menegakkan keadilan sosial dan menolak segala bentuk kezaliman, meski datang dalam rupa kemajuan teknologi atau kebijakan global.
Dalam dunia pendidikan, penjajahan itu tampak melalui sistem yang hanya mengutamakan nilai dan gelar, bukan adab dan kesadaran. Paulo Freire menyebutnya banking education, sementara Islam mengenalnya sebagai ta‘līm bilā tarbiyah: transfer ilmu tanpa pembentukan jiwa. Padahal, tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia yang ḥurr al-irādah (merdeka dalam kehendak) dan amīn ‘alā al-mas’ūliyyah (bertanggung jawab). Ki Hajar Dewantara, yang pemikirannya sejalan dengan maqāṣid al-tarbiyah al-Islāmiyyah, menegaskan bahwa pendidikan harus “memerdekakan manusia lahir dan batin.”
Namun, di antara semua bentuk penjajahan, yang paling berbahaya adalah penjajahan diri oleh hawa nafsu. Al-Ghazali menyebutnya bagian dari al-muhlikāt (penyakit yang membinasakan): cinta dunia, egoisme, dan keserakahan. Banyak pemimpin terjebak dalam nafsu kekuasaan, sementara rakyat terperangkap dalam hasrat popularitas semu. Padahal, pepatah Arab mengingatkan:
مَنْ لَمْ يَمْلِكْ نَفْسَهُ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا
“Barang siapa tidak mampu menguasai dirinya, ia tidak akan mampu memiliki apa pun.”
Karena itu, menyapa kembali makna kemerdekaan dan kepahlawanan dalam hukum Islam berarti mengembalikan orientasi perjuangan kepada nilai-nilai maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Selama keadilan sosial masih menjadi slogan, selama korupsi dianggap kebiasaan, dan selama rakyat kecil masih berjuang untuk hidup layak, maka hukum Islam belum sepenuhnya berfungsi sebagai sistem pembebasan (niẓām al-taḥrīr).
Maka, biarlah teriakan “Merdeka!” di bulan November ini menggema dengan makna baru: bukan sekadar ritual patriotik, tetapi seruan moral untuk menegakkan keadilan dan keberanian dalam bingkai syariat. Sebab, pahlawan sejati dalam Islam bukan hanya yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang berjuang melawan hawa nafsu, menolak kezaliman, dan menegakkan amanah. Dan selama kita masih berteriak “Merdeka!” dengan nada pembenaran diri, bisa jadi itu justru tanda bahwa di relung hati, kita masih dijajah: bukan oleh bangsa lain, tetapi oleh diri sendiri yang lalai dari pesan wahyu. Wallāhu a'lam.