Skip ke Konten

Pengabdian dalam Keterbatasan: Membaca Spiritualitas Guru Honorer sebagai Pilar Pendidikan Indonesia

Roswati Nurdin ( Dosen Prodi HTN Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Parepare)
25 November 2025 oleh
Pengabdian dalam Keterbatasan: Membaca Spiritualitas Guru Honorer sebagai Pilar Pendidikan Indonesia
Suhartina

Di tengah gegap gempita modernisasi pendidikan, Indonesia berdiri di atas fondasi yang rapuh namun tetap tegak karena disangga oleh pilar-pilar sunyi, yakni para guru honorer. Mereka hadir di ruang-ruang kelas dari pelosok desa hingga kota besar, mengisi kekosongan formasi, menjaga ritme belajar mengajar, dan menghidupkan kembali harapan kecil yang tumbuh di wajah murid-murid mereka. Namun di balik pengabdian itu, terbentang kenyataan pahit yang sering tidak ingin kita lihat: sistem pendidikan masih bergantung pada tenaga yang tidak diberi kepastian hidup. Survei IDEAS tahun 2024 menyebutkan bahwa 74 persen guru honorer menerima penghasilan di bawah dua juta rupiah per bulan. Angka ini mencerminkan betapa jauhnya jarak antara beban tanggung jawab dan penghargaan yang layak. Meski program PPPK membuka sedikit harapan, ribuan guru honorer tetap bergerak dalam lingkaran keterbatasan yang tidak kunjung berakhir.

Di banyak sekolah, guru honorer memikul tugas yang melampaui jam mengajar dan melampaui logika manajemen. Mereka mengurus dokumen akademik, memperbarui data pokok pendidikan, menyusun perangkat ajar, menangani administrasi kelas, sekaligus melaksanakan berbagai tugas tambahan yang tidak tercantum dalam kontrak. Beban yang sangat besar itu tidak seimbang dengan kompensasi yang diterima. Namun justru dalam kondisi paling minimal, para guru honorer menunjukkan ketangguhan yang sulit dijelaskan. Pertanyaan pun muncul. Apa yang membuat mereka bertahan? Mengapa mereka tetap setia pada profesi yang sering kali tidak membalas pengorbanan mereka secara adil?

Jawabannya tidak cukup ditangkap oleh teori motivasi yang bersifat material. Ada sesuatu yang lebih dalam, yaitu spiritualitas. Bagi sebagian besar guru honorer, mengajar bukan sekadar mata pencaharian. Mengajar adalah bentuk pengabdian. Nilai ikhlas yang berarti bekerja semata-mata karena Tuhan menjadi energi yang membuat mereka tetap berdiri. Sementara nilai ihsan yang berarti melakukan pekerjaan dengan kesungguhan karena merasa diawasi oleh Tuhan menjadi standar etis yang membuat mereka terus memberikan kualitas terbaik, meskipun kondisi tidak mendukung. Mereka mempersiapkan materi ajar dengan kesungguhan, mendidik karakter murid dengan kesabaran, dan menghadapi berbagai keterbatasan dengan hati yang luas. Inilah kekayaan spiritual yang tidak tampak dalam laporan anggaran negara, tetapi justru menopang jalannya pendidikan nasional.

Profesi guru dalam pandangan religius tidak pernah sekadar pekerjaan berbasis input dan output. Profesi ini adalah amanah. Tanggung jawab yang harus ditunaikan, terlepas dari kecilnya penghasilan atau lemahnya sistem. Guru honorer memahami bahwa ilmu adalah titipan dan titipan itu tidak boleh disia-siakan. Di ruang kelas, mereka bukan hanya menyampaikan materi kurikulum. Mereka menjadi teladan moral yang mengajarkan ketabahan, ketulusan, dan cara menjalani hidup dengan martabat. Anak didik menyerap bukan hanya pengetahuan, tetapi juga nilai. Pendidikan karakter yang sering dipromosikan dalam kebijakan negara sebenarnya sudah dijalankan oleh guru honorer tanpa perlu diumumkan secara besar-besaran.

Namun spiritualitas yang mulia itu tidak boleh terus menerus dijadikan alasan untuk membiarkan ketidakadilan struktural. Mengandalkan keikhlasan guru honorer tanpa menyediakan kepastian kesejahteraan adalah bentuk ketidakadilan publik yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial. Negara tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa pilar pendidikan bangsa hidup dalam kondisi yang tidak pantas. Meningkatkan kesejahteraan guru honorer bukan semata isu anggaran. Ini adalah isu etika. Bahkan lebih jauh, ini adalah tanggung jawab moral para pemegang kebijakan. Menata ulang sistem kepegawaian dan penggajian guru honorer merupakan bentuk amal yang wajib dilakukan oleh pemimpin, karena dampaknya menentukan masa depan generasi bangsa.

Guru honorer telah menunaikan amanah mereka dengan kesungguhan yang nyaris heroik. Kini giliran negara menunaikan amanahnya, yaitu memastikan bahwa mereka hidup secara layak, dihargai secara bermartabat, dan diperlakukan sebagai pilar peradaban. Bangsa ini hanya akan setangguh guru-gurunya. Guru honorer adalah bukti bahwa kekuatan terbesar bangsa ini sering lahir dari mereka yang sederhana, yang bekerja dalam senyap, namun tetap setia. Sudah saatnya mereka tidak hanya dipuji dalam pidato, tetapi diperjuangkan dalam kebijakan.

di dalam Opini Dosen
Pengabdian dalam Keterbatasan: Membaca Spiritualitas Guru Honorer sebagai Pilar Pendidikan Indonesia
Suhartina 25 November 2025
Share post ini
Label
Arsip