Dalam beberapa dekade terakhir, radikalisme agama kerap menjadi sorotan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Karen Armstrong (2015) mengungkapkan bahwa radikalisme agama sebenarnya lahir dari kekhawatiran terhadap sekularisasi yang dianggap mengancam eksistensi kelompok agama tertentu. Menariknya, meskipun kelompok radikal ini sering menampilkan simbol-simbol agama tradisional, mereka justru sangat terampil dalam memanfaatkan media sosial modern seperti Instagram dan YouTube untuk memperkuat gerakan mereka (Nisa, 2018; Muthohirin, 2015).
Fenomena ini semakin relevan karena tingginya penggunaan internet di kalangan generasi muda Indonesia. Menurut survei yang dilakukan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lebih dari 50% generasi muda mendapatkan informasi agama melalui internet dan media sosial. Situasi ini menyebabkan mereka mudah terpapar konten dari kelompok-kelompok Islam radikal yang secara strategis memanfaatkan ruang digital sebagai sarana penyebaran ideologi.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana media sosial, khususnya Instagram, menjadi sarana efektif bagi kelompok Islam radikal untuk membangun dan menyebarkan wacana keislaman yang radikal di kalangan muda Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori relasi kekuasaan Michel Foucault untuk menganalisis fenomena tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif melalui analisis teks terhadap konten yang diposting oleh akun-akun Instagram populer seperti "Indonesia Bertauhid Official", "Mercusuar Umat", dan "Indonesia Bertauhid Reborn". Pengumpulan data dilakukan melalui observasi konten berupa teks, gambar, dan video. Analisis mendalam dilakukan menggunakan perspektif teori kekuasaan Michel Foucault untuk memahami bagaimana wacana radikal dibangun dan didistribusikan secara efektif.
Penelitian menunjukkan beberapa bentuk wacana utama yang disebarkan oleh kelompok Islam radikal melalui media sosial, yaitu:
1. Kampanye Anti-Bid’ah: Menyerukan penghapusan praktik Islam tradisional seperti maulid dan tahlilan, yang dilabeli sebagai bid’ah.
2. Narasi Khilafah dan Anti-Demokrasi: Menyebarkan gagasan bahwa sistem Khilafah adalah solusi ideal menggantikan demokrasi yang mereka anggap bertentangan dengan Islam.
3. Marginalisasi Perempuan: Menyebarluaskan narasi yang membatasi peran perempuan hanya pada ranah domestik dan menyerukan agar perempuan kembali ke rumah.
Konten-konten ini dirancang secara menarik dalam bentuk meme, kutipan ayat dan hadits, video pendek ceramah, serta slogan yang mudah diingat oleh generasi muda.
Melalui perspektif Foucault, media sosial menjadi alat kekuasaan baru di mana kelompok radikal tidak perlu menggunakan cara-cara represif untuk mengendalikan opini publik. Sebaliknya, mereka membangun "regime of truth" atau rezim kebenaran melalui bahasa agama yang dianggap sakral. Strategi ini membuat pengguna media sosial merasa seperti diawasi secara terus-menerus (konsep Panoptikon Foucault), sehingga mereka secara sadar atau tidak sadar akan mengikuti wacana dominan tersebut (Haramain, 2017).
Kelompok radikal secara efektif membaca perubahan gaya hidup generasi muda yang semakin bergantung pada internet dan media sosial. Kondisi ini dimanfaatkan untuk menanamkan gagasan radikal secara halus namun masif, sehingga perlahan dapat menggeser pemahaman agama yang moderat dan toleran yang selama ini menjadi ciri khas Islam di Indonesia.
Secara umum, penelitian ini mengungkap bahwa media sosial telah menjadi arena strategis bagi kelompok radikal dalam menyebarluaskan ideologi mereka. Temuan ini menjadi peringatan bahwa diperlukan upaya kolektif untuk mengembangkan literasi digital, serta memperkuat wacana keislaman yang moderat, toleran, dan inklusif agar dominasi wacana radikal dapat dibendung.
Penelitian ini juga merekomendasikan agar institusi pendidikan, organisasi masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah bekerja sama menciptakan konten positif sebagai alternatif bagi narasi radikal yang semakin masif di media sosial.
Sudah saatnya kita mengambil peran aktif dalam menyebarkan konten agama yang ramah, inklusif, dan damai. Gunakan media sosial dengan bijak untuk membangun wajah Islam yang sejati sebagai agama rahmatan lil alamin—yang memberi manfaat dan rahmat bagi seluruh alam.
Bio Penulis:
M Haramain adalah akademisi dan peneliti di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare dengan fokus kajian media, agama, dan masyarakat. Ia aktif menulis tentang moderasi beragama, radikalisme agama, serta hubungan agama dan media di Indonesia.
Referensi:
· Armstrong, K. (2015). Fields of blood: Religion and the history of violence. Random House.
· Haramain, M. (2017). Dakwah dalam arus globalisasi media: Peluang dan tantangan. Komunida: Media Komunikasi dan Dakwah, 7(1), 60–73. https://doi.org/10.35905/komunida.v7i1.471
· Muthohirin, N. (2015). Radikalisme Islam dan pergerakannya di media sosial. Afkaruna: Indonesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, 11(2), 240–259.
· Nisa, E. F. (2018). Social media and the birth of an Islamic social movement: ODOJ (One Day One Juz) in contemporary Indonesia. Indonesia and the Malay World, 46(134), 24–43. https://doi.org/10.1080/13639811.2017.1416758