Penulis: Hannani, Islamul Haq, Muhammad Majdy Amiruddin, Muhammad Haramain
Di tengah keberagaman praktik zakat di Indonesia, masyarakat Negeri Iha di Maluku memiliki kebiasaan yang cukup unik. Zakat yang mereka keluarkan tidak hanya diberikan kepada fakir miskin atau kelompok asnaf lainnya, tetapi juga kepada Mama Biang, yaitu dukun beranak yang telah berjasa dalam membantu proses persalinan. Bagi mereka, Mama Biang bukan hanya tenaga tradisional, tetapi juga penyelamat yang memastikan keselamatan ibu dan bayi saat melahirkan. Praktik ini telah berlangsung secara turun-temurun dan masih dipertahankan hingga saat ini.
Namun, dalam perspektif hukum Islam, pemberian zakat kepada Mama Biang menimbulkan perdebatan serius. Sebagian pihak berpendapat bahwa Mama Biang layak menerima zakat karena perannya yang penting dalam menjaga kehidupan, yang dalam Islam dikategorikan sebagai hifz al-nafs (menjaga nyawa). Mereka meyakini bahwa peran Mama Biang bisa masuk dalam kategori fīsabīlillāh, karena mereka berjuang demi kemaslahatan umat. Jika tentara yang berjuang di medan perang bisa disebut fīsabīlillāh, mengapa Mama Biang yang berjuang menyelamatkan nyawa ibu dan anak tidak bisa mendapatkan hak yang sama?
Namun, ada pula kelompok yang menolak praktik ini. Mereka berpegang teguh pada ketentuan syariat bahwa penerima zakat sudah ditentukan dalam Al-Qur’an, yaitu delapan asnaf yang jelas dan spesifik. Jika setiap kelompok yang dianggap berjasa bisa masuk kategori mustahik, maka batasan zakat akan menjadi kabur. Mereka menganggap bahwa pemberian kepada Mama Biang lebih tepat jika menggunakan infak atau sedekah, yang tidak memiliki ketentuan seketat zakat.
Perdebatan ini mencerminkan dilema antara hukum Islam dan hukum adat. Dalam perspektif antropologi hukum Islam, tradisi seperti ini tidak bisa serta-merta dihapus karena sudah menjadi bagian dari living law—hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, di sisi lain, agama juga memberikan koridor yang harus dijaga agar prinsip zakat tetap sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, solusi yang lebih bijak adalah melanjutkan pemberian kepada Mama Biang sebagai infak atau sedekah, bukan zakat. Dengan cara ini, tradisi tetap lestari tanpa harus bertentangan dengan hukum Islam.
Refleksi dari kasus ini menunjukkan bahwa Islam tidak kaku dalam menghadapi realitas sosial, tetapi juga memiliki batasan yang tidak bisa diabaikan. Kesadaran masyarakat untuk tetap berbagi dan membantu mereka yang berjasa adalah nilai yang patut dijaga, namun harus dilakukan dalam koridor yang sesuai. Sebab, dalam keseimbangan antara adat dan syariat, yang paling penting bukan hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga memastikan bahwa tradisi itu tetap bermakna dan tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari.
Referensi:
Hannani, H., Haq, I., Amiruddin, M. M., & Haramain, M. (2023). Zakat for Mama Biang in Maluku, Indonesia: Ulama Opinion on Fīsabīlillāh in the Perspective of Islamic Legal Anthropology. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 7(2), 830-847.
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/samarah/article/download/17044/8141