Skip ke Konten

Kurikulum Berbasis Cinta dan Pendidikan Informal: Belajar dari Sawah dan Petani

Abdullah Thahir - Dosen Pendidikan Agama Islam IAIN Parepare
24 Juli 2025 oleh
Kurikulum Berbasis Cinta dan Pendidikan Informal: Belajar dari Sawah dan Petani
Admin

Di tengah upaya merancang kurikulum yang relevan dan transformatif, gagasan tentang Kurikulum Berbasis Cinta muncul sebagai respons atas keringnya pendidikan dari nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan struktur pendidikan nasional, melainkan untuk menghidupkan ruh di balik setiap interaksi belajar-mengajar—yakni cinta, empati, dan penghargaan terhadap kehidupan.


Namun, cinta bukan sesuatu yang bisa diajarkan seperti rumus atau pasal. Ia tumbuh dalam suasana, mengakar dalam hubungan, dan berbunga dalam tindakan nyata. Di sinilah pendidikan informal memainkan peran penting: sebagai ruang hidup tempat nilai-nilai cinta itu dirawat dan diuji.


Jika pendidikan formal adalah sistem irigasi, maka pendidikan informal adalah air hujan yang jatuh langsung ke tanah—alami, tak terduga, tetapi menyuburkan. Kita dapat belajar banyak dari para petani dalam hal ini. Seorang petani tidak pernah memaksa tanahnya. Ia mengenal waktunya, merasakan suhunya, menyesuaikan jenis tanaman, dan menerima bahwa tidak semua benih akan tumbuh. Pendidikan yang dilandasi cinta bekerja dengan cara yang sama: tidak memaksa, tapi merawat; tidak menekan, tapi memahami.


Kehidupan mahasiswa, atau pelajar pada umumnya, tidak terbatas pada ruang kelas. Nilai-nilai sejati yang membentuk karakter sering kali justru tumbuh di luar sistem formal: dari perbincangan malam di antara teman sekamar, dari pengalaman membantu warga sekitar, dari percakapan ringan di warung kopi, atau dari kegagalan yang tidak dicatat dalam transkrip akademik. Ruang-ruang informal inilah yang seharusnya dilihat sebagai lahan subur dalam pendidikan cinta.


Sayangnya, sistem pendidikan sering kali terlalu fokus pada penilaian kognitif dan mengabaikan pengalaman afektif yang terjadi secara alami. Padahal seperti halnya petani yang memahami bahwa hasil panen dipengaruhi banyak faktor yang tak selalu bisa dikontrol, pendidik juga perlu menyadari bahwa keberhasilan belajar tidak semata-mata ditentukan oleh nilai ujian, tetapi juga oleh suasana belajar yang manusiawi.


Maka, dalam membicarakan kurikulum cinta, kita perlu melampaui batas dinding kelas. Kita harus membuka mata terhadap kekuatan pendidikan informal, dan menghargai peran setiap aktor di dalamnya—teman sebaya, orang tua, lingkungan, bahkan petani yang tanpa gelar mendidik kita tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta tanah yang tak bersyarat.


Pendidikan bukan hanya soal apa yang diajarkan, tetapi juga bagaimana manusia dibentuk dalam relasi, pengalaman, dan keseharian. Dalam konteks inilah, kurikulum cinta menemukan relevansinya: ia tidak memerlukan perangkat canggih atau metode kompleks, tetapi hanya membutuhkan kesadaran bahwa setiap ruang bisa menjadi tempat belajar, dan setiap orang, termasuk masyarakat biasa, adalah guru kehidupan.

Kurikulum Berbasis Cinta dan Pendidikan Informal: Belajar dari Sawah dan Petani
Admin 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip