Skip ke Konten

Kurikulum Berbasis Cinta: Menenun Ikatan Sosial dalam Masyarakat Muslim

Prof. Dr. Hj. St. Aminah, M.Pd. Guru Besar Sosiologi Agama IAIN Parepare
24 Juli 2025 oleh
Kurikulum Berbasis Cinta: Menenun Ikatan Sosial dalam Masyarakat Muslim
Admin


Dalam dunia pendidikan Islam, gagasan “kurikulum berbasis cinta” bukan sekadar jargon utopis yang romantis, melainkan sebuah respon epistemologis atas tantangan sosial kontemporer yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan. Jika kita menelusuri khazanah pemikiran Islam klasik dan kontemporer, maka cinta (mahabbah) bukan hanya dimaknai sebagai perasaan personal, melainkan sebagai kekuatan sosial yang mampu menjahit hubungan antarmanusia, memperkuat solidaritas komunitas, dan membangun masyarakat beradab (madani). Di sinilah, sosiologi Islam menemukan relevansinya untuk membedah konsep cinta sebagai basis pedagogi yang membentuk struktur sosial masyarakat Muslim.


Konsep kurikulum berbasis cinta dapat dilacak akar ideologisnya dari prinsip-prinsip dasar Islam seperti kasih sayang (rahmah), keadilan sosial (al-‘adl), dan tanggung jawab kolektif (mas’uliyyah ijtima‘iyyah). Dalam pemikiran Al-Ghazali, pendidikan bukan hanya untuk membentuk manusia yang berilmu (‘alim), tetapi manusia yang memiliki hati (qalb) yang hidup dan mampu membimbing perilaku sosialnya. Dengan kata lain, pendidikan yang tidak membangkitkan cinta akan sesama, hanya akan melahirkan intelektual tanpa empati.


Sosiologi Islam memandang bahwa masyarakat Muslim dibentuk melalui relasi sosial yang tidak netral nilai. Nilai cinta menjadi perekat utama dalam hubungan sosial, baik dalam keluarga, komunitas, hingga institusi publik. Ketika cinta tidak hadir dalam sistem pendidikan, maka relasi sosial kehilangan dimensi spiritual dan etisnya. Hal ini yang menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial, kekerasan simbolik, dan alienasi dalam kehidupan umat Islam modern. Di sinilah pentingnya menyusun kurikulum yang menjadikan cinta sebagai prinsip transformatif dalam pembentukan struktur sosial.


Dalam praktiknya, kurikulum berbasis cinta menuntut pendekatan pendidikan yang menempatkan peserta didik bukan sebagai objek yang diinstruksi, melainkan sebagai subjek yang dihargai secara utuh. Pendidikan bukan lagi sekadar transmisi informasi, tetapi dialog kemanusiaan yang membentuk etika sosial. Hal ini sesuai dengan pandangan Paulo Freire yang banyak diadopsi oleh pemikir Muslim seperti Hassan Hanafi dan Nurcholish Madjid, bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menyentuh kesadaran dan cinta sebagai fondasinya.


Lebih jauh, pendekatan ini dapat menjawab tantangan masyarakat Muslim kontemporer yang mengalami polarisasi sosial dan kerap terjebak dalam sikap eksklusifisme. Dengan cinta sebagai kurikulum sosial, peserta didik diajarkan untuk melihat “yang lain” bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari diri yang diperluas. Prinsip ta‘aruf (saling mengenal) dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 menjadi landasan normatif bahwa keragaman sosial adalah sunnatullah, dan cinta menjadi mekanisme sosial untuk menjembatani perbedaan.


Dalam pemikiran Islam, cinta (mahabbah) tidak dapat dipisahkan dari nilai ukhuwah (persaudaraan), shabr (kesabaran sosial), dan amanah (tanggung jawab sosial). Oleh karena itu, kurikulum berbasis cinta dalam konteks masyarakat Muslim bukan hanya untuk membentuk individu yang lembut hati, tetapi juga agen perubahan sosial (muslih) yang mampu menciptakan masyarakat berkeadaban (mujtama‘ madani). Hal ini pula yang menjadi gagasan besar Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, bahwa peradaban lahir dari jaringan sosial yang sehat—dan cinta adalah simpul terkuat dalam jaringan tersebut.


Kurikulum semacam ini juga akan memperkaya wawasan peserta didik terhadap kompleksitas sosial umat Islam, baik dari aspek historis, struktural, maupun kultural. Di dalam kelas, penguatan nilai cinta akan terlihat dalam metode pembelajaran yang inklusif, humanis, serta menumbuhkan sikap empatik terhadap problematika umat. Misalnya, ketika membahas kemiskinan, kurikulum tidak hanya menguraikan data statistik, tetapi juga mengajarkan kepekaan sosial, kepedulian, dan kesediaan untuk terlibat dalam perubahan.


Dengan demikian, kurikulum berbasis cinta dalam perspektif sosiologi Islam dan pemikiran Islam merupakan proyek integratif antara pendidikan dan rekonstruksi sosial. Ia bukan hanya mendidik akal, tetapi juga hati dan tindakan sosial. Ia membentuk manusia yang tidak hanya tahu (knowing), tetapi juga peduli (caring) dan bertindak (acting) demi kemaslahatan bersama.


Sudah saatnya pendidikan Islam merumuskan ulang arah kurikulumnya dengan memperhatikan dimensi afektif dan sosial dari nilai cinta. Sebab di tengah krisis sosial dan spiritual yang melanda masyarakat Muslim, hanya cinta yang mampu menumbuhkan harapan baru: cinta yang menggerakkan ilmu, cinta yang membentuk solidaritas, dan cinta yang menjadi jembatan antarperbedaan.

Kurikulum Berbasis Cinta: Menenun Ikatan Sosial dalam Masyarakat Muslim
Admin 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip