Skip ke Konten

Kurikulum Cinta: Membangun Generasi Stroberi Berkarakter Kemiri

Dr. Andi Bahri S., M.E., M.Fil.I. (Wakil Dekan 1 FEBI)
25 Juli 2025 oleh
Kurikulum Cinta: Membangun Generasi Stroberi Berkarakter Kemiri
Admin

Generasi Stroberi dan Tantangan Pendidikan Karakter

Dalam dekade terakhir, istilah “Generasi Stroberi” mengemuka sebagai metafora generasi muda yang tumbuh dalam kemudahan teknologi dan kenyamanan, namun kerap rapuh saat menghadapi tekanan atau kritik. Istilah ini muncul sebagai kritik terhadap mentalitas generasi yang mudah hancur meski tampak “manis” dan sempurna dari luar. Di balik kecanggihan digital, globalisasi informasi, dan tren self-expression, muncul krisis empati, krisis keuletan, dan krisis makna hidup.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari krisis yang lebih luas dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan hari ini banyak menekankan pada capaian kognitif, target numerik, dan pencapaian akademik yang bersifat kompetitif, sementara dimensi spiritual, emosional, dan sosial seringkali terabaikan. Di sinilah muncul keresahan baru: bagaimana membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara spiritual dan sosial?

Jawaban atas kegelisahan ini mulai dikembangkan melalui pendekatan yang dikenal sebagai Kurikulum Cinta, sebagaimana diperkenalkan oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. Kurikulum ini mendorong pendidikan berbasis cinta sebagai akar dari relasi antarmanusia dan relasi manusia dengan Tuhan. Di sisi lain, dalam tradisi ekonomi Islam, dikenal konsep ihsan yang menjadi nilai puncak dari iman dan Islam, yakni berbuat sebaik mungkin karena menyadari kehadiran Allah dalam setiap aktivitas. Tulisan ini mencoba menjahit dua narasi ini ke dalam satu benang merah dalam membangun generasi muda yang kuat dan bermakna, yakni generasi berkarakter kemiri.

Karakter Kemiri: Metafora Pendidikan Karakter dalam Budaya Bugis

Dalam tradisi Bugis, dikenal filosofi hidup yang sangat berakar pada kekuatan nilai dan spiritualitas. Karakter kemiri menggambarkan sifat yang keras dari luar, tetapi ketika dibakar dan diolah, ia menjadi sumber minyak yang bermanfaat dan bercahaya. Metafora ini relevan sebagai model pendidikan karakter: membangun kekuatan dari dalam, menghadapi proses “pembakaran” dalam kehidupan sebagai ujian, dan menghasilkan manfaat bagi lingkungan sekitar.

Pendidikan karakter dalam konteks ini tidak bisa hanya diletakkan sebagai “mata pelajaran” tetapi sebagai atmosfer pendidikan itu sendiri. Karakter tidak diajarkan secara verbal, tetapi ditanamkan melalui keteladanan, pembiasaan, dan cinta. Di sinilah Kurikulum Cinta memainkan peran kunci.

Kurikulum berbasis cinta adalah suatu pendekatan pendidikan yang menjadikan cinta sebagai pusat dalam interaksi belajar-mengajar. Cinta dalam konteks ini bukanlah cinta yang sentimentil atau emosional semata, tetapi cinta sebagai orientasi etis, spiritual, dan humanistik dalam relasi antara guru, murid, dan ilmu. Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., menjelaskan bahwa kurikulum ini lahir dari keprihatinan atas krisis kasih sayang dalam ruang pendidikan yang sarat kekerasan simbolik: guru yang abai terhadap murid, murid yang tidak menghargai guru, dan sistem pendidikan yang kering dari empati.

Implementasi kurikulum ini bukan sekadar menambahkan mata pelajaran baru, tetapi menyuntikkan nilai-nilai seperti kasih sayang, penghormatan, kerendahan hati, dan tanggung jawab dalam seluruh aktivitas belajar. Guru bukan hanya penyampai informasi, tetapi fasilitator cinta dan keteladanan.

Menuju Generasi Tangguh, Tahan Banting, dan Penuh Cinta

Dalam Islam, dimensi pendidikan tak bisa dilepaskan dari prinsip iman, Islam, dan ihsan. Konsep ihsan berarti melakukan sesuatu sebaik-baiknya karena merasa diawasi oleh Allah. Dalam hadis Nabi, ihsan diartikan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Konsep ini sangat relevan dalam pendidikan dan ekonomi, karena melandasi setiap aktivitas dengan niat dan kesadaran spiritual.

Dalam pendekatan ekonomi Islam, ihsan mengarahkan manusia untuk tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga maslahat. Pendidikan karakter berbasis ihsan mengajarkan tanggung jawab sosial, etika dalam bekerja, dan cinta terhadap makhluk Allah. Dengan demikian, orientasi pendidikan bukan sekadar menghasilkan pekerja cerdas, tetapi manusia sholeh yang kontributif. Mengingat, tantangan abad ke-21 bukan hanya pada aspek skill dan kompetensi, tetapi pada kekuatan jiwa dan moralitas. Generasi Stroberi tidak bisa menjawab tantangan disrupsi teknologi, krisis iklim, konflik sosial, dan tantangan ekonomi global. Yang dibutuhkan adalah generasi berkarakter kemiri: tahan banting, berakar pada nilai-nilai luhur, dan mampu memberikan manfaat. Pendidikan berbasis cinta dan pendekatan ihsan menjadi fondasi bagi transformasi ini. Sekolah, keluarga, komunitas, dan negara harus bersinergi membangun ekosistem pendidikan yang lebih spiritual, humanistik, dan bermartabat.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh netral dari nilai. Cinta dan ihsan adalah jawaban atas kegelisahan zaman. Membangun generasi dengan karakter kemiri bukan hanya idealisme kosong, tetapi kebutuhan mendesak agar bangsa ini tidak kehilangan arah. Parepare dan kota-kota lainnya bisa memulai dari lingkup lokal, dengan menata kembali cara kita mendidik, memuliakan guru, menghargai proses, dan mencintai ilmu. Itulah jalan panjang untuk melahirkan manusia berkarakter: manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga ikhlas, kokoh, dan penuh cinta. Wallahu`alam bisshawab!

Kurikulum Cinta: Membangun Generasi Stroberi Berkarakter Kemiri
Admin 25 Juli 2025
Share post ini
Arsip