Skip ke Konten

Kurikulum Cinta: Rasionalisasi Pendidikan Spiritual dalam Bingkai Turats dan Konteks Kontemporer

Muhiddin Bakry (Kepala Pusat Moderasi IAIN Parepare)
24 Juli 2025 oleh
Kurikulum Cinta: Rasionalisasi Pendidikan Spiritual dalam Bingkai Turats dan Konteks Kontemporer
Suhartina

Di tengah tantangan globalisasi dan kekeringan spiritual dalam dunia pendidikan modern, nilai-nilai moral dan etika semakin terpinggirkan dalam proses pembelajaran. Siswa atau peserta didik lebih diarahkan untuk mengejar capaian akademik semata tanpa dibekali dengan fondasi spiritual yang kokoh. Padahal, pendidikan seharusnya tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun karakter dan kesadaran batin. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal dalam sistem pendidikan menjadi penting agar peserta didik tumbuh sebagai insan yang utuh, berilmu, dan bermoral.

Gagasan Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, tentang Kurikulum Cinta merupakan inisiatif visioner yang layak mendapat kajian mendalam. Kurikulum ini hadir sebagai tawaran alternatif terhadap sistem pendidikan yang selama ini terlalu menekankan aspek kognitif semata dan mengabaikan dimensi afektif serta spiritual peserta didik. Melalui empat pilar cinta yang ditawarkan; yaitu cinta kepada Tuhan (ḥablun minallāh), cinta kepada sesama manusia (ḥablun minannās), cinta kepada lingkungan (ḥablun bi al-bī’ah), dan cinta kepada bangsa (ḥubb al-waṭan), pendidikan diarahkan untuk membentuk kepribadian utuh yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan spiritual. Pendekatan ini relevan dalam menjawab kekeringan nilai dalam dunia pendidikan modern serta memperkuat karakter kebangsaan yang harmonis dalam bingkai keberagaman. Karena itu, “Kurikulum Cinta” patut dikembangkan sebagai paradigma pembelajaran berbasis nilai yang integratif dan transformatif bagi generasi masa depan Indonesia.

Gagasan Menteri Agama tentang “Kurikulum Cinta” perlu dirasionalisasikan agar tidak berhenti sebagai retorika semata, melainkan menjadi fondasi utama dalam membentuk sistem pendidikan yang transformatif dan relevan dengan realitas kehidupan. Merasionalisasi di sini bukan berarti mereduksi nilai-nilai spiritual dalam setiap mata pelajaran, melainkan membangun kerangka pemahaman yang memungkinkan gagasan tersebut dipahami, diterapkan, dan dievaluasi secara sistematis. Untuk itu, kita perlu kembali menelaah turāṯs (khazanah keilmuan Islam klasik) yang sarat dengan nilai-nilai cinta dan kasih sayang sebagai inti dari pendidikan spiritual, sebuah pendidikan yang menghidupkan hati sekaligus mencerdaskan akal. Melalui pendekatan ini, “Kurikulum Cinta” dapat dikembangkan secara lebih sistemik, kontekstual, dan berakar kuat dalam tradisi keilmuan Islam, sebagai bagian dari ikhtiar menjawab tantangan zaman.

Telaah kritis dalam khazanah keilmuan Islam klasik dapat ditemukan dalam pandangan Imam al-Ghazali, Ibn Miskawaih, dan Raghib al-Asfahani, serta sejumlah ulama lainnya yang tidak semuanya dapat diulas dalam kajian ini. Imam al-Ghazali, misalnya, memandang pendidikan bukan sekadar proses transmisi ilmu, melainkan sebagai upaya integral untuk membentuk akal, jiwa, moral, dan spiritual manusia. Dalam perspektifnya, keseimbangan antara tubuh, akal, dan ruhani menjadi fondasi utama dalam sistem pendidikan Islam yang berakar pada pandangan menyeluruh (kāffah) tentang hakikat manusia dan kosmos. Oleh karena itu, tujuan pendidikan adalah membentuk al-insān al-kāmil melalui cinta terhadap ilmu, kebenaran, dan kemanusiaan, serta penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kurikulum cinta dalam perspektif al-Ghazali merupakan aktualisasi pendidikan yang membentuk karakter spiritual dan sosial secara harmonis, serta dilandasi kasih sayang dalam konteks pendidikan kontemporer (baca: Abdul Qadir, Mafhum al-tarbiyah inda Abi Hamid al-Ghazali, 2024).

Dalam pandangan Ibn Miskawaih, pendidikan (at-tarbiyah) bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan, melainkan sarana utama untuk menyempurnakan jiwa manusia dan mengantarkannya menuju kebahagiaan yang abadi. Ia menekankan bahwa pendidikan harus dilandasi oleh cinta, baik cinta murid terhadap ilmu maupun terhadap gurunya. Karena dari cinta itulah tumbuh penghormatan terhadap kebajikan dan dorongan untuk meraih hikmah. Guru, dalam hal ini, bukan hanya pengajar biasa, tetapi sosok rabbānī, yaitu pendidik ruhani yang membimbing dengan hikmah dan kasih sayang menuju kesempurnaan akhlak. Pendidikan menurut Ibn Miskawaih merupakan jalan spiritual untuk membentuk manusia yang mulia, mendekatkannya kepada kebaikan hakiki, dan menuntunnya kepada kehidupan abadi yang penuh dengan kebahagiaan. Pandangan ini menegaskan bahwa esensi pendidikan terletak pada pembentukan karakter dan pengasuhan jiwa, bukan sekadar pada aspek intelektual, dan sangat relevan dengan gagasan kurikulum cinta yang menjadikan relasi guru dan murid sebagai ruang suci pembentukan nilai-nilai moral dan spiritual. (baca: Ibnu Maskawaih; Tahdzib al-Akhlaq. Cet; 2024)

Sementara itu, Pendidikan (tarbiyah) menurut al-Raghib al-Ashfahani merupakan proses menyeluruh yang mencakup pembinaan jasmani, akal, iman, dan akhlak, dengan tujuan utama menyempurnakan potensi manusia agar selaras dengan tujuan penciptaannya. Ia memandang manusia sebagai makhluk jasad dan ruh, yang perlu dididik secara seimbang agar mampu beribadah, berpikir jernih, beriman teguh, dan berakhlak mulia. Dalam pandangannya, tarbiyah bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi proses pembentukan karakter melalui pengenalan diri, pengendalian nafsu, dan penyucian jiwa. (baca; tarbiyah inda al-Raghib al-Asfahany, 2018). Konsep ini sejalan dengan gagasan kurikulum cinta, yakni pendidikan yang berpusat pada kasih sayang, kesadaran diri, dan relasi spiritual antara murid, ilmu, dan Sang Pencipta. Kurikulum cinta tidak hanya mengasah nalar dan kemampuan teknis, tetapi menumbuhkan cinta kepada kebenaran, kebajikan, dan Tuhan, sebagaimana inti tarbiyah dalam pemikiran al-Raghib yang mengarah pada kesalehan pribadi dan sosial.

Dalam dunia pendidikan yang kian rasionalistik dan terfragmentasi, gagasan Taha Abdurrahman tentang etika al-Iʾtimāniyyah menawarkan nafas baru bagi lahirnya kurikulum cinta. Etika ini menempatkan manusia bukan sekadar sebagai makhluk berpikir, melainkan sebagai penerima amanah Tuhan yang bertugas memelihara kehidupan dengan tanggung jawab dan kasih. Pendidikan, dalam pandangan ini, tidak cukup hanya mentransfer pengetahuan, melainkan harus menyentuh aspek afektif dan spiritual dengan melibatkan cinta kepada ilmu, kepada sesama, dan kepada kebenaran. Dengan keteladanan para nabi sebagai fondasi etis, model pendidikan ini menolak kekeringan moral dalam pendekatan Barat dan menghidupkan kembali orientasi Ilahiyah yang lembut dan tetap mendalam. (baca; Fadi Zatari: Entrustment Ethics and Secularism: Taha Abdurrahman’s Perspective, 2022).

Senada dengan itu, Hasan Hanafi melalui kritik tajamnya terhadap naqlīyyah jāmidah (transmisi pengetahuan yang beku), menawarkan pendekatan pendidikan yang berakar pada rūḥ al-ma‘nā (ruh makna), di mana kurikulum harus mampu mengintegrasikan akal dan ruhani. Dalam pandangannya, ilmu tidak boleh terlepas dari kehidupan dan nilai-nilai etis, sebab tugas intelektual adalah membebaskan manusia dan merekonstruksi realitas sosial secara adil dan bermakna (Hanafi, 1981). Dalam konteks ini, Kurikulum Berbasis Cinta muncul sebagai bentuk artikulasi baru yang mengharmonikan rasionalitas dan spiritualitas, menjadikan cinta sebagai pusat dari proses transformasi manusia dalam pendidikan.

Sebagai akhir dari tulisan ini, kehadiran Menteri Agama Republik Indonesia, Anregurutta Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, dalam peresmian Laboratorium Terpadu IAIN Parepare pada Jumat, 25 Agustus 2025, menjadi momentum simbolik yang sangat bermakna dalam kontekstualisasi gagasan Kurikulum Cinta. Laboratorium ini bukan sekadar fasilitas fisik, melainkan cerminan dari ikhtiar konkret untuk membumikan nilai-nilai spiritual dan etis dalam dunia akademik. Di tengah derasnya arus modernisasi pendidikan yang kerap terjebak pada aspek teknis dan instrumentalis, kehadiran beliau menjadi penanda bahwa pendidikan berbasis cinta, kasih sayang, dan integritas spiritual bukanlah utopia, melainkan suatu visi yang dapat diwujudkan melalui sinergi antara kebijakan, tradisi keilmuan Islam, dan inovasi akademik. Peresmian ini sekaligus menjadi titik tolak untuk mengembangkan Kurikulum Cinta sebagai paradigma baru pendidikan tinggi keislaman di Indonesia, sebuah pendidikan yang tidak hanya mencetak lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi juga arif dalam spiritualitas, tangguh dalam moralitas, dan lembut dalam cinta kasih terhadap sesama serta lingkungan.

Kurikulum Cinta: Rasionalisasi Pendidikan Spiritual dalam Bingkai Turats dan Konteks Kontemporer
Suhartina 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip