Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar menghadapi tantangan besar: radikalisme berbasis agama yang menjangkiti ruang pendidikan. Radikalisme bukan semata masalah ideologi keagamaan, tetapi juga merupakan konsekuensi dari absennya pendekatan kasih sayang dalam kurikulum yang diajarkan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan sebuah strategi pendidikan yang menempatkan kasih sayang sebagai prinsip dasar yang digali dari nilai-nilai luhur Al-Qur’an melalui pendekatan tafsir tematik. Strategi ini bukan hanya teologis, tapi juga politis dan kultural sebagai upaya membangun kontra-narasi terhadap radikalisme melalui pendidikan berbasis negara.
Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam adalah kitab cinta dan kasih sayang. Allah memperkenalkan diri dalam surah pembuka, Al-Fatihah, sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Penekanan terhadap dua sifat ini mengindikasikan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang berdiri di atas prinsip kasih sayang, bukan kekerasan. Namun, ketika tafsir Al-Qur’an dimonopoli oleh pendekatan tekstualistik tanpa konteks, maka ayat-ayat yang semestinya mengandung pesan moral dan rahmat, justru berubah menjadi senjata legitimasi kekerasan.
Dalam konteks keharmonisan dan perdamaian, tidak ada yang memungkiri peran perguruan tinggi dalam mewujudkannya. Namun cita-cita untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni dan damai akan terasa jauh panggang dari api jika suasana akademik dalam suatu perguruan tinggi tidak kondusif. Salah satu faktor pemicu ketidak stabilan ini adalah tumbuhnya potensi radikalisme, ekstrimisme atau etnosentrisme di perguruan tinggi. Fenomena radikalisme dan etnosentrisme pada perguruan tinggi dapat saja terjadi mengingat bahwa perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya berbagai elemen, agama, etnis, budaya, dan adat istiadat. Keanekaragaman yang terdapat di perguruan tinggi dapat menjadi potensi kemajuan jika dikelola dengan baik, namun dapat pula berakibat kemunduran jika tidak dikelola dengan baik.
Salah satu aspek penting yang menunjang ketercapaian visi misi perguruan tinggi adalah kurikulumnya. Kurikulum merupakan seperangkat materi pembelajaran dan strategi mengajar, seharusnya dapat mengarahkan mahasiswa untuk menjadi warga negara yang dapat membimbing orang-orang sekitarnya menjadi moderat dan harmonis. Namun terkadang materi dan strategi itu malah dapat dimultitafsirkan mahasiswa dengan keliru, sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan tidak tercapai. Lebih jauh dari itu, mahasiswa sebagai anak muda pada usia labil dan masa-masa pencarian jati diri dapat saja terjerumus pada hal-hal yang melenceng dari nilai-nilai kebenaran jika tidak mendapatkan pembinaan yang semestinya, termasuk dalam hal ini adalah pembinaan dari paham keagamaan yang rentan disalahtafsirkan untuk membenarkan tindakan anarkis, radikal atau bahkan teroris. Karena itu, kurikulum pendidikan Islam perlu didekonstruksi dan dibangun ulang dengan menjadikan tafsir kasih sayang sebagai fondasi. Pendekatan ini dapat ditemukan dalam tafsir-tematik (maudhu’i), yang membaca Al-Qur’an secara utuh dalam konteks tema tertentu—seperti cinta kasih, toleransi, dan anti kekerasan. Tafsir seperti ini tidak hanya menonjolkan ayat-ayat hukum dan jihad, tetapi juga menggali ayat-ayat yang menekankan musyawarah (QS. Ash-Shura: 38), saling menghargai dan menghormati (QS. al-Hujurat: 13), respon nir kekerasan (QS. Fussilat: 34) keadilan (QS. Al-Maidah: 8), hingga kebebasan beragama (Qs. al-Baqarah: 256). Tafsir-tafsir seperti ini menjadi sangat relevan untuk diarusutamakan dalam kurikulum nasional.
Penting pula dicatat bahwa negara melalui Kementerian Agama memiliki tanggung jawab besar dalam membendung paham radikal di lingkungan sekolah dan kampus. Menteri Agama KH Nasaruddin Umar dalam beberapa kesempatan telah menyuarakan perlunya kurikulum yang berbasis cinta dan kasih sayang. Ia menyebut pentingnya pendidikan karakter Islami yang merujuk pada Al-Qur’an sebagai kitab moral dan cinta. Kurikulum cinta menekankan pada empat aspek salah satunya adalah cinta tanah air. Karenanya kurikulum ini relevan dengan semua agama karena semua agama mengajarkan kasih sayang. Seruan ini sejalan dengan program moderasi beragama yang menjadi pilar pembangunan nasional. Moderasi beragama bukan berarti melemahkan akidah, tetapi menyelamatkan umat dari ekstremisme—baik yang terlalu keras maupun yang terlalu longgar. Dalam konteks ini, menghadirkan tafsir berbasis kasih sayang dalam kurikulum bukan hanya solusi keilmuan, tetapi juga bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga harmoni sosial. Pendidikan berbasis kasih sayang menjadikan mahasiswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga empatik, toleran, dan sadar akan tanggung jawab sosial.
Sudah saatnya lembaga pendidikan dari madrasah hingga perguruan tinggi mengintegrasikan tafsir Al-Qur’an sebagai ilmu yang hidup dan membebaskan, bukan sebagai doktrin yang mengekang dan memecah belah. Dengan menjadikan kasih sayang sebagai inti kurikulum, kita bukan hanya mendidik generasi yang religius, tetapi juga generasi yang memanusiakan manusia. Karena pada akhirnya, radikalisme hanya bisa dikalahkan oleh cinta. Menteri Agama optimis dengan kurikulum cinta seluruh tanah air akan menjadi protector atas segala tantangan di masa mendatang.
Sudah saatnya tafsir Al-Qur’an hadir di ruang-ruang kelas bukan sebagai doktrin yang membatasi nalar, tetapi sebagai cahaya yang membebaskan dan menghidupkan. Lembaga pendidikan, dari madrasah hingga perguruan tinggi, harus menanamkan kasih sayang sebagai inti kurikulum, karena hanya dengan cinta, manusia bisa belajar menjadi manusia. Radikalisme tidak bisa dikalahkan dengan kebisingan seruan, tetapi dengan kelembutan yang merawat luka.
Seperti harapan Menteri Agama: kurikulum cinta bukan hanya harapan, melainkan tameng yang akan melindungi Indonesia dari badai zaman.
Dan cinta, sekali lagi, adalah jalan pulang.