Pendidikan Islam sejatinya memiliki tujuan menyeluruh, yang meliputi dimensi spiritual, moral, sosial, dan intelektual,( Q.S.al-Alaq:1-5, Ali-Imran:133-135,dan Ar-Raad:18). Sejalan dengan rekomendasi UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Namun, dalam praktiknya kurikulum Pendidikan Agama Islam saat ini, belum sepenuhnya menyentuh keempat ranah tersebut secara seimbang. Kurikulum cenderung lebih dominan normative dan teoretis. Transfer pengetahuan teoretis tentang aqidah, fiqh, tafsir dll. tanpa mengintegrasikan praktik spiritual dan dimensi batin dalam pembelajaran sehari-hari. Akibatnya, hasil pembelajaran lebih kognitif daripada membentuk jiwa dan karakter spiritual siswa, termasuk kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler belum menyerap nilai-nilai spiritual dan moral secara terpadu.
Di sisi lain kurikulum Merdeka, belum sepenuhnya konsisten menyediakan format ranah rohani dan sosial emosional siswa, sementara Era Global dan Society 5.0 saat ini, siswa membutuhkan pendidikan yang tidak hanya mengasah ilmu, tetapi juga spiritualitas dan kesadaran sosial. sehingga banyak siswa memiliki kecerdasan akademik, namun kekurangan integritas moral dan empati. Padahal pendidikan Islam transformatif menghendaki siswa menjadi khalifah di bumi: manusia religius, moral, kreatif, dan peduli terhadap sesama dan lingkungan. Misalnya, banyaknya bullying di sekolah, mengakibatkan korban tewas (Siswa SD usia 8 tahun di Riau) dipicu oleh perbedaan agama dan suku, pelecehan seksual. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lain, yang terjadi di sekolah dan dalam lingkungan masyarakat.
Inilah alasan utama kemunculan gagasan Kurikulum Berbasis Cinta, yang bertujuan mengintegrasikan secara sistemik empat ranah penting tersebut (Tuhan, manusia, alam, dan bangsa) ke dalam semua aspek pendidikan. Kasus kasus nyata ini mencerminkan bahwa selama nilai-nilai cinta, empati, dan pluralitas belum tertanam dalam sistem pendidikan, ruang sekolah bisa menjadi tempat berkembangnya kebencian. Harapannya, Kurikulum Berbasis Cinta ini sebagai solusi kebijakan strategis untuk meregenerasi ekosistem pendidikan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga beradab, inklusif, dan menyembuhkan. KBC adalah gerakan pendidikan transformatif yang bertujuan membangkitkan kemanusiaan sejati dalam setiap ruang kelas, merupakan roh bagi sistem pendidikan yang telah ada, yang menyuntikkan nilai cinta terhadap Tuhan, sesama, lingkungan, dan bangsa ke dalam seluruh proses pembelajaran. Karena itu perlu sosialisasi dan pelatihan terhadap guru-guru, dan terus mengevaluasi untuk memastikan efektivitas dan kesiapan penerapannya dalam skala luas.
Hablum minallah sebagai inti kehidupan, bukan hanya ritual formal. Hablum minannaas, sekolah menjadi ruang harmonis di mana keberagaman bukan ancaman, tetapi kekayaan identitas yang dipupuk lewat kasih sayang, penghormatan, dan saling menghargai serta kepedulian ekologis, menanam cinta kepada alam sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral umat. Pada ahirnya, tumbuh Cinta Tanah Air, rasa nasionalisme, sekaligus memastikan agama berfungsi sebagai perekat bangsa dalam keberagaman. KBC hadir sebagai pendekatan preventif melalui pendidikan cinta dan persaudaraan terhadap kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi. Sekolah sebagai rumah kedua yang menyejukkan jiwa, menjadi ruang aman, inklusif, dan penuh kasih, tempat di mana interaksi guru dan siswa berlandaskan keteladanan humanis. Dialog budaya dan sosial yang hidup, mendorong keterlibatan orang tua dan komunitas dalam membangun nilai Bersama, bukan sekadar sistem kurikulum, tapi gerakan sosial berbasis nilai pluralitas.
Merangkul Jiwa: Transformasi Kurikulum Cinta untuk Pendidikan yang Menyembuhkan” bukan sekadar gagasan idealis. Ini panggilan untuk menyuntikkan nilai cinta sebagai ruh sejati pendidikan, yang mampu menyembuhkan luka sosial, membangun peradaban luhur, dan menyiapkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas, tetapi penuh kasih sayang, integritas moral, serta sadar terhadap kemanusiaan, lingkungan, dan kebangsaannya.
Parepare, 25 Juli 2025
Nurhayati (Pondok Nun)