Skip ke Konten

Universalitas Cinta: Fondasi Etis Pendidikan Profetik Era Digital

Abdul Halik (Ketua Prodi Manajemen Pendidikan)
24 Juli 2025 oleh
Universalitas Cinta: Fondasi Etis Pendidikan Profetik Era Digital
Suhartina

Pendidikan adalah ikhtiar memanusiakan manusia (Langeveld), menembus sekat dan teritori kemanusiaan dalam dimensi ras, ideologi, dan demograpi. Pendidikan membebaskan (liberty) manusia dari jeratan ‘perbudakan’(Faule Preire), mendedikasikan kesetaraan (egaliter) dalam dimensi sosial (J.J. Rousseau), mengontrol hegemoni dari dominasi budaya, ekonomi, politik, dan ideology (Antonio Gramsci), membangun sikap percaya diri dengan kearifan dan kesadaran moral (Immanuel Kant). Pendidikan sebagai wahana dalam transmisi sosial (Emil Durkheim), mengangkat derajat stratifikasi sosio-kultural (Bourdieau), memantik inteligensi komunal yang dialektis (meminjam istilah J. Habermas, sebagai deliberative democracy). Pendidikan mencitrakan harmonisasi hidup dalam peradaban yang seimbang dan berkelanjutan (Niels Bohr & F. Schumacher), dengan integrasi akal, hati, dan wahyu yang berimplikasi pada keselarasan dengan dirinya, sesama, alam, dan Tuhan (Sayyed Hossein Nasr).

Fenomena mutakhir, relasi kuasa dan pendidikan menciptakan trend kasta sosial yang feodal (P. Bourdieu). Pendidikan menciptakan entitas eksklusif sebagai alat reproduksi modal dan simbolik kelas dominan (P. Bourdieu). Orientasi pendidikan tereduksi oleh tuntunan pragmatism (mencari kerja, status social, dan atau citra diri) yang cenderung ‘eksploitis’ nilai ethos humanistis dan spiritual (Bloom). Pendidikan dipersepsikan sebagai logika efisiensi, kuantifikasi, dan performa secara ekonomis yang mengorbankan nilai etis dan estetis (Herbert Marcuse). Digitalisasi berimplikasi pada disrupsi personal yang terpragmentasi secara moral dan terjadi split personality yang mendeskripsikan kegamangan identitas (Z. Bauman). Ketimpangan hidup dalam dominan standar materialisme dan rasionalisme, ‘mengaburkan’ nalar spiritualisme sebagai penuntun kearifan dan kebijaksanaan dalam hidup. Pendidikan menjadi kehilangan ‘elan vital’ pembentuk manusia seutuhnya dalam mengemban risalah profetik yang berkeadaban.

Dimensi empirik dalam dunia pendidikan, melahirkan berbagai prilaku amoral, seperti bullying, hate speecb, cyber-crime, radikalisme-terorisme, imperialism, korupsi, kolusi, dispotis, dan lainnya. Efek domino teknologi digital, membentuk kultur ‘instan’ pada generasi muda, sikap hedon sebagai pavorit, cenderung jalan pintas, dan jiwa berontak meluap bagi penghalang langkahnya. Berbagai prilaku nir-adab tersebut dengan sesumbar dipertontonkan tanpa rasa malu (siri’ na pacce) akibat dari kehampaan spirit cinta dalam jiwanya. Pendidikan tanpa basis cinta, melahirkan generasi yang gamang, lemah, rigid, hipokrit, dan penuh skeptic, bertindak tanpa nalar sehat, ambisi penuh syahwat, bahkan menghalalkan segala cara untuk pemenuhan ekspektasi dirinya (Machiavelli).  

Pendidikan urgen dilakukan reviu atas dinamika sosial yang penuh ketidakpastian akibat dari akselerasi teknologi digital dengan daya disrupsi yang kuat. Holistika pendidikan penting direkonstruksi dengan fondamen nilai universalitas cinta. Cinta bukan hanya sebagai pancaran eskatologis abadi, tetapi menjadi inspiring dalam menformulasi teori pendidikan yang humanistik dan profetik. Cinta sebagai eksistensi universal menjadi spirit ontologis, relasional, dan transcendental dalam mengkonstruksi relasi holistic (tuhan, manusia, dan alam) yang sinegis dan harmonis. Cinta menghadirkan relasi yang otentik antara aku dan engkau, bukan relasi fungsional yang subjektif (Martin Buber). Jalaluddin Rumi mengungkapkan “Cinta adalah guru kita. Cinta adalah jalan. Tanpa cinta, hidup hanyalah beban jasad”. Oleh sebab itu, pendidikan berbasis cinta, dapat meluruskan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, aksi penuh kasih, interaksi yang harmoni, serta romantisme kemanusiaan menyatu dalam bingkai ‘ethos’ cinta.   

Rekonstruksi pendidikan secara sistemik, dimulai dari visi membangun peradaban cinta outentik (universal) yang selaras misi profetik. Dimensi konsep-operasional pendidikan, di-derivasi-kan ke dalam struktur kurikulum. Muatan kurikulum (Ornstein & Hunkins) meliputi dimensi akademik (ilmu), kompetensi, karakter (value), kontekstual (proximity), dan pengalaman belajar. Desain konsep kurikulum urgen direkontruksi dengan berbasis cinta sebagai wahana par excellence pendidikan profetik. Pendidikan profetik sebagaimana yang diikhtiarkan Nabi Muhammad Saw., dibangun atas dasar akhlak (إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ). Relasi cinta dan akhlak menjadi nilai fundamen dalam pendidikan profetik. Al-Gazali menegaskan akhlak yang luhur sebagai manifestasi cinta yang autentik, dan akhlak yang baik muncul dari hati yang diliputi oleh cinta (Ibnu Qayyim Al-Jawsiyah). Manifestasi cinta melahirkan motivasi intrinsik untuk belajar dan berinteraksi yang membentuk prilaku (akhlak).

Cinta outentik yang bersemayam dalam singgasana jiwa, memberikan kebebasan dan kemerdekaan dalam mengasah potensi dan merawat alam jagad. Aktualisasi cinta melalu pembelajaran menuntun pemahaman mendalam tentang alam semesta (QS. Ar-Rahman (55): 33), optimalisasi nalar sehat tentang ciptaan-Nya, akan membentuk kesadaran spiritual dalam jiwa (QS. Ali Imran (3): 190). Proses pembelajaran dibangun dalam dialektika cinta yang bermakna, dengan cara hikmah dan proses debat yang beradab (QS. An-Nahl (16): 125). Prototype pendidik utama adalah Nabi Muhammad Saw., sebagai role model pendidik penuh kasih, yang mengikhtiarkan misi profetik rahmatan lil ‘alamin (QS. Al-Anbiya (21): 107). Pendidikan profetik tetap eksis dan adaptif dengan survive value cinta sebagai fundamen utama di era digitalisasi. Reaktualisasi romantisme kehidupan yang harmoni menjadi pilar utama dalam pendidikan berbasis cinta. Kurikulum cinta memberi isyarat bahwa semua desain dan aksi pembelajaran selalu dalam nuansa dan suasana kasih dan sayang. Generasi muda yang terlahir dari kurikulum cinta, akan memiliki karakter mulia, berbudi pekerti yang baik, penuh dedikasi, inovatif dan kreatif, serta menjaga keseimbangan dalam jagad raya.

Quote: “Bila cinta meluluhlantakkan hatimu, ikutilah ia, dekaplah. Meski jalannya senantiasa terjal dan berliku” (Kahlil Gibran)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.|

 

Universalitas Cinta: Fondasi Etis Pendidikan Profetik Era Digital
Suhartina 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip